[caption id="" align="aligncenter" width="459" caption="Tambelo images.detik.com"][/caption] Nomor 73, Fitri Haryanti HSA “Bapak, tolonglah hentikan (buang) limbah ke arah hutan kami. Kalian hancurkan tambelo. Matilah (hidup) kami nanti!” teriak Mama Ulao mengacungkan jari telunjuknya. Matanya geram, urat di leher mengular jelas. Tubuhnya yang gemuk siap menembus pertahanan petugas keamanan di depannya.
Ia memimpin puluhan perempuan suku Kamoro di tengah teriknya matahari. Aksi protes terhadap industri tambang tanpa diwarnai spanduk atau tulisan-tulisan di kertas.
“Kami tidak lancar menulis. Modal protes langsung bawa tambelo. Kami sorongkan (tambelo) biar mereka tahu,” kata Mama Ulao.
Aku ditugaskan meliput protes penambangan di daerah Mimika, Papua yang sebagian besar dilakukan para ibu Kamoro. Lembaran daun berisi moluska mirip cacing putih berbintik-bintik hitam itu menggeliat ria.
“Apa yang terjadi pada tambelo ini, Mama?” tanyaku polos.
“Ini (tambelo) sudah tak enak. Bukan begini warna aslinya. Mestinya berwarna putih bersih. Mau coba dimakan?” tawar Mama Ulao. Ia mengulurkan setangkup tambelo. Ditolak tak sopan. Kali pertama aku menggigit tambelo hidup-hidup. Geli.
“Bagaimana rasanya? Cukup getir ‘kan. Dulu rasanya segar sekali,” lanjutnya. Lidahku terasa lengket. Hmm… Rasanya mirip kerang.
“Benar, Mama. Lalu di mana tambelo berwarna putih bersih? Apa sudah tidak bisa ditemukan lagi?” mataku mencari tambelo putih bersih
“Ada. Tapi susah dicari sekarang. Kami biasa mendapatkan tambelo dekat pesisir pantai. Sekarang mencarinya harus menembus hutan hingga ke dalam,” jawab Mama Ulao.
Hampir dua jam aksi protes berlangsung, Mama Ulao memberikan komando untuk membubarkan diri secara damai. Ia mengajakku mencari tambelo. Mama Maria dan Mama Uti ikut diajak.
“Pakailah sepatu boots ini. Akar-akar pohon bakau sangat mudah merusak sepatu biasa. Daerah pencarian tambelo juga berlumpur,” ujar Mama Ulao. Aku segera memakai sepatu boots hasil pinjaman Mama Ulao kepada salah seorang ibu yang tidak ikut mencari tambelo.
***
VEGETASI hutan bakau yang rapat dan berlumpur membuat langkahku pelan. Aku merasa tak enak pada Mama Ulao karena harus menungguku. Duh, berjalan di lumpur, kaki jadi berat sekali, batinku.
“Lihat, batang pohon di sebelah sana!” seru Mama Maria. Kami bergegas menuju arah yang dimaksud. Mama Ulao membelah batang pohon dengan kampak.
Mama Maria dan Mama Uti bersiap mengambil tambelo. Gumpalan-gumpalan putih bersih tersembur ke luar. Aku mengambil kuda-kuda. Pasti mereka akan menawariku makan tambelo lagi.
“Sedikit sekali tambelo di sini. Mari kita mencari lebih ke dalam lagi,” ajak Mama Ulao.
Baru saja aku bernapas lega, perjalanan mencari tambelo ternyata masih cukup panjang. Satu jam lebih kami berada di dalam hutan. Mama Uti menemukan batang pohon besar di dalam lumpur. Kami mengangkatnya agar batang tengah pohon dapat dicapai dengan mudah.
Brakkk… Dentuman keras memekakkan telinga. Pertanda batang pohon begitu keras, meskipun telah terendam lumpur. Jumlah tambelo sangat banyak. Setelah berhasil mendapatkan tambelo yang cukup, Mama Ulao memberi aba-aba untuk pulang. Sore menjelang, sinar matahari yang masuk mulai berkurang.
“Apa tiap hari para Mama mencari tambelo?” aku berupaya memerangi kelelahan diri sendiri untuk mengobrol sepanjang perjalanan pulang.
“Ya, hampir tiap hari. Kamilah yang bertugas mencari tambelo untuk suami. Tambelo menjaga gairah para lelaki. Jadi, para istri yang wajib mencarinya,” kata Mama Uti.
“Jika seluruh tambelo di hutan ini berbintik-bintik hitam, bagaimana para Mama mencari tambelo?” tanyaku.
“Itulah yang kami takutkan. Limbah dari industri tambang akan meluas dan mengendap ke seluruh area hutan bakau. Tambelo tidak layak dimakan lagi. Jika hal itu terjadi, kami (para ibu) selamanya bisa berhenti mencari tambelo,” ekspresi Mama Ulao berubah pilu.
“Sayangnya, pihak industri tambang belum menindaklanjuti permintaan kami. Kami ingin bertemu langsung pimpinan atau pemilik tambang, tapi selalu dihadang oleh pekerja lainnya,” gerutu Mama Maria.
“Lantas kapan protes akan berhenti, Mama?” aku ingin memastikan kapan aksi protes selesai. Dari berita terkait yang kubaca, aksi protes telah dilancarkan sejak tiga tahun lalu.
“Kami tak akan berhenti sampai mereka (pihak industri tambang) mendengarkan suara kami. Kami hanya ingin keadilan. Keadilan bagi kehidupan kami. Keadilan bagi lingkungan dan tempat tinggal kami,” ucap Mama Ulao lantang.
Aku tercekat. Betapa tangguh pendirian Mama Ulao. Ia pantas menjadi panutan bagi perempuan Kamoro. Gelora api membakar hatiku. Mengalirkan dua rasa; semangat dan haru. Tekad kuat memperjuangkan sesuatu yang berharga. Aku tak ingin Mama Ulao dan para ibu Kamoro kehilangan satu akar tradisi.
: Tradisi peran perempuan Kamoro mencari tambelo.***
Tambelo: moluska mirip cacing putih terdapat di dalam batang pohon kayu yang sudah tumbang.
Depok, 20 April 2015
[caption id="attachment_379292" align="aligncenter" width="616" caption="Rumpies The Club@dok"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H