Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin. WHO Certificate of Achievement on Zoonotic disease-One Health, Antimicrobial resistance, Infodemic Management, Artificial Intelligence for Health, Health Emergency Response, etc. Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Bidang peminatan kebijakan kesehatan mencakup Infectious disease, Health system, One Health dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pameran Foto "Kompas" Ekspedisi Sabang-Merauke, Kota dan Jejak Peradaban

6 Januari 2014   13:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_304329" align="aligncenter" width="480" caption="Pameran Foto "][/caption] “Seragam sekolah yang kucel dan tak beralas kaki. Ada yang membawa tas dan alat tulis, namun ada yang tidak membawa apapun, hanya seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. Bahkan ada yang mengenakan kaos biasa.”

Sebuah potret keadaan anak-anak sekolah di Papua yang serba kekurangan. Padahal pendidikan bertujuan mencerdaskan anak-anak bangsa. Sarana dan prasarana yang tak memadai ternyata tidak mematahkan semangat mereka untuk belajar. seulas senyum terkembang manis di bibir mereka.

[caption id="attachment_304332" align="aligncenter" width="640" caption="Potret diri anak-anak sekolah di Papua. (Dok: Pribadi)"]

13889847781421651478
13889847781421651478
[/caption] Foto di atas termasuk salah satu hasil dokumentasi harian Kompas dalam Ekspedisi Sabang-Merauke, Kota dan Jejak Peradaban yang berlangsung bulan September-Oktober 2013.

Perjalanan menginjakkan kaki di kota-kota yang sarat akan jejak sejarah, budaya, peradaban, serta segala perubahan kehidupan masyarakatnya di angkat dalam pameran foto Kompas Ekspedisi Sabang-Merauke yang digelar pada 30 Desember 2013-5 Januari 2014 di Food Society, Kota Kasablanka, Jakarta.

Potret akses transportasi yang sulit dilalui menghambat lalu lintas, seperti puluhan kendaraan, terutama truk-truk harus mengantri di jalan Trans Papua dengan kondisi jalan berupa tanah. Jalan Trans Papua dari Merauke menuju Boven Digoel belum sepenuhnya lancar sebab ada pengerjaan jembatan yang belum tuntas.

[caption id="attachment_304333" align="aligncenter" width="640" caption="Jalan Trans Papua yang sulit dilalui. (Dok: Pribadi)"]

13889849122146729017
13889849122146729017
[/caption] Budaya dan masyarakat

Kehidupan masyarakat pesisir yang penuh lika-liku harus bersaing dengan kapal-kapal penangkap ikan modern di sekitar Selat Malaka. Foto para nelayan sedang menarik jala di Pantai Ujung Blang, Kabupaten Lhokseumawe menjadi gambaran atas usaha kerja keras para nelayan tradisional. Hasil tangkapan para nelayan tradisional mungkin masih kalah jauh dengan kapal-kapal penangkap ikan modern.

[caption id="attachment_304336" align="aligncenter" width="640" caption="Foto kiri, nelayan menarik jala. (Dok: Pribadi)"]

1388985032521539380
1388985032521539380
[/caption] Kearifan budaya yang menjadi potensi suatu daerah tertuang, salah satunya dalam kain tenun. Pembuatan kain tenun yang memerlukan kesabaran dan ketekunan masih ditekuni Veronica (59) di Kampung Bena,  Nusa Tenggara Timur. Kain tenun dijual dengan harga berkisar Rp 100.000-Rp 150.000 per helai kepada pengunjung kampung tradisional Flores. Harga yang dirasa cukup terjangkau, sementara proses pembuatannya tidaklah mudah.

[caption id="attachment_304338" align="aligncenter" width="640" caption="Veronica (59) tengah membuat kain tenun di Kampung Bena, Nusa Tenggara Timur. (Dok: Pribadi)"]

13889851301750731185
13889851301750731185
[/caption] Seorang warga terlihat memberikan makan kepada anjingnya. Di hadapannya terpapar kelapa dan batoknya. Hidup bersama tumbuhan dan binatang menjadi totem, lambang jati diri masyarakat Maling Anim yang tinggal di Merauke. Totem sebagai nama marga, seperti Mahuze yang berarti sagu dan Gebze yang berarti kelapa.

[caption id="attachment_304339" align="aligncenter" width="640" caption="Warga Maling Anim yang tinggal di Merauke. (Dok: Pribadi)"]

13889852691944057817
13889852691944057817
[/caption] Foto joki-joki cilik menantang adrenalin terlihat dalam acara tradisi pacoa jara di Lembah Kara Desa Lepadi, Nusa Tenggara Barat. Usia para joki cilik masih terbilang belia, rata-rata mereka duduk di bangku taman kanak-kanak dan kelas satu SD.  Mereka menari di atas kuda pacu tanpa pelana.

[caption id="attachment_304340" align="aligncenter" width="640" caption="Potret diri para joki cilik dalam acara tradisi pacoa jara. (Dok: Pribadi)"]

13889855411084277668
13889855411084277668
[/caption] Helm di kepala dan penutup wajah menjadi pelindung. Sementara itu, di luar arena ribuan penonton berteriak menyemangati para joki cilik sampai tuntas mencapai garis finish.

Jejak peradaban tokoh nasional

Foto pun tak lepas dari kharisma tokoh-tokoh nasional negeri ini. Salah satu kamar yang disewakan di Hotel Tugu, Blitar, Jawa Timur menyajikan berbagai koleksi Soekarno, Presiden Pertama RI. Lambang burung Garuda tampak gagah pada tembok di atas tempat tidur.

Kondisi bekas Penjara Boven Digoel di Tanah Merah, Papua, yang pernah membelenggu Sutan Syahrir kini tak terawat. Dinding berwarna kuning yang kotor juga papan dan genting yang berserakan. Sutan Syahrir ditangkap Belanda sebab menjadi penggerak perjuangan. Jejak bekas penjara tersebut semakin tak berbekas.

[caption id="attachment_304341" align="aligncenter" width="640" caption="Bekas penjara Boven Digoel di Tanah Merah, Papua. (Dok: Pribadi)"]

1388985715349003389
1388985715349003389
[/caption] Lukisan dan sebagian foto hitam putih para tokoh pergerakan nasional terpampang di dinding. Foto-foto itu berada di rumah pengasingan tokoh pergerakan Syahrir di Pulau Neira, Maluku Tengah. Melihat foto-foto tokoh pergerakan nasional di tempat pengasingan menunjukkan semangat perjuangan mereka terus menyala meski di tempat pengasingan.

[caption id="attachment_304342" align="aligncenter" width="640" caption="Rumah pengasingan tokoh pergerakan Syahrir di Pulau Neira, Maluku Tengah. (Dok: Pribadi)"]

13889858591669005859
13889858591669005859
[/caption] Merajut keindonesiaan

Melalui pameran foto Kompas Ekspedisi Sabang-Merauke, Kota dan Jejak Peradaban, kita disajikan kekayaan budaya dan peradaban masyarakat di dalamnya. Perjalanan ekspedisi Kompas sepanjang Sabuk Selatan mulai dari Sabang, Aceh, lalu menyeberang ke selatan Jawa, Bali sampai Flores, serta berakhir di Merauke, ujung timur Indonesia.

Dokumentasi perjalanan melalui akses darat dan laut tidaklah mudah. Jangkauan kota yang ditelusuri tim ekspedisi Kompas ternyata melalui proses seleksi atas kota dan pulau yang mempunyai nilai sejarah dan peradaban besar. Warisan, potensi alam, dan geliat pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh perkembangan yang besar bagi kota dan masyarakatnya.

[caption id="attachment_304343" align="aligncenter" width="640" caption="Pengunjung melihat pameran. (Dok: Pribadi)"]

1388986114417683517
1388986114417683517
[/caption] Kearifan budaya masyarakat masih bertahan di tengah arus modernisasi. Suatu pembelajaran akan memahami suku setempat yang berupaya mempertahankan tradisi budaya sebagai warisan budaya unggul. Cerminan jati diri akan kebinekaan bangsa Indonesia.

Foto-foto yang dipamerkan juga menimbulkan sisi humanitis, menyentuh, dan kekritisan. Begitu banyak sudut-sudut kota yang mempunyai potensi unggul dan sejarah peradaban di baliknya tak terawat, seakan “terlupakan” dari tangan manusia. Akses transportasi masih terbilang sulit, padahal geliat ekonomi harus melalui jalur akses yang baik dan lancar.

Betapa sarana dan prasarana akan pendidikan sulit. Patutlah ditiru semangat anak-anak bangsa di timur Indonesia tetap belajar di tengah keterbatasan alat tulis dan buku sekolah.

Potret Ekspedisi Sabang-Merauke ibarat merajut keindonesiaan bahwa Indonesia itu luas. Perairan dan daratan menyatukan anak-anak Ibu Pertiwi. Suatu pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah dan segenap masyarakat Indonesia untuk memperbaiki wajah Indonesia lebih baik.

[caption id="attachment_304344" align="aligncenter" width="640" caption="Perkenalkan melihat Indonesia lebih dekat pada anak. (Dok: Pribadi)"]

13889861891894934264
13889861891894934264
[/caption] Oleh karena itu, lagu wajib “Dari Sabang sampai Merauke” bukan hanya dilantunkan dan dihafal saja. Nilai utama yakni melihat dan memahami Indonesia lebih dekat. Inilah Indonesia, kota dan pulau dari Sabang sampai Merauke menyimpan sejarah peradaban yang tak terkira.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun