Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024

Akrab disapa dengan panggilan Fitri Oshin. Lebih banyak menulis isu kebijakan kesehatan. Bidang peminatan yang diampu meliputi Infectious disease, Health system, One Health, dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskusi Budaya Papua: Seni Cadas dan Bahasa-bahasa Papua di NTT

1 Oktober 2012   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Motif perahu pada situs Risatot, Pulau Arguni, Papua Barat

[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Seni cadas (rock art) di Papua Barat "][/caption]

Keberagaman budaya Papua memiliki nilai penting dalam catatan khazanah kebudayaan Indonesia. Situs-situs bersejarah peninggalan nenek moyang mampu mendeskripsikan kehidupan masyarakat pada zaman itu. Untuk itu dialog budaya berupa diskusi budaya dalam Pekan Ragam Budaya Papua: Kamoro, Tinggalan Budaya “Maramoe” yang diselenggarakan Papua Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) tanggal 10-14 September 2012 di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia begitu menarik. Topik yang dibahas tentang seni cadas dan bahasa-bahasa Papua di Nusa Tenggara Timur.

Keindahan Seni Cadas dibahas Karina Arifin, PhD (Dosen Arkeologi UI). Seni cadas merupakan salah satu peninggalan arkeologi Papua. Keindahan dan filosofi seni cadas (rock art) sebagai peninggalan nenek moyang memiliki filosofi. Lukisan ini tak hanya ditemukan di Indonesia saja, tapi di belahan dunia pun ditemukan dengan karakteristik masing-masing. Penelitian seni cadas termasuk kajian arkeologi dan sudah ada berbagai penelitian mengenai hal tersebut.

Seni cadas bisa ditemukan di pulau, pesisir, pegunungan, dan lain-lain. Hasil karya lukisan manusia yang sudah puluhan ribu tahun lalu biasanya ada di tebing-tebing karang dan dihiasi warna merah.

Di Indonesia, seni cadas banyak ditemukan di Kaimana, Papua Barat. Motif-motif yang ada di Kaimana berupa motif geometris, manusia, hingga hasil budaya manusia. Tak hanya di Kaimana saja, seni cadas juga ditemukan di Teluk Berau dan Teluk Bitsyari.

Seni cadas di Teluk Berau

Seni cadas di Teluk Berau ditemukan di situs-situs tebing setinggi antara 2 meter hingga 3 meter. Hasil karya manusia ini dilukis dan dipahat pada dinding-dinding tebing karang dan di gua-gua, dibuat oleh masyarakat yang masih sangat tradisional.

Warna lukisan pada dinding atas hitam dan merah, sementara putih pada dinding bawah. Tak dapat dipungkiri, dinding juga penuh warna merah. Ada banyak cap tangan.

Motif-motif yang ditemukan hampir sama seperti di Kaimana. Lukisan-lukisan di Teluk Berau menggambarkan cap tangan manusia, beragam benda-benda penopang kehidupan manusia, hingga lukisan binatang. Selain itu, terdapat pula gambar geometris.

Lukisan-lukisan binatang berupa biawak, ikan, buaya maupun kadal. Lukisan ikan dibuat secara naturalistis sehingga terlihat kerangka badan ikan maupun dilukis secara geometris. Hal ini sebagai pembelajaran manusia mengenai kerangka badan binatang.

Lukisan biawak memiliki filosofi bahwa binatang itu leluhur nenek moyang dan pelindung ikan. Uniknya, bermacam-macam cap tangan manusia dilukis berdekatan dengan binatang, termasuk lukisan biawak. Berbagai macam lukisan binatang, seperti biawak, kadal maupun ikan menandakan kehidupan manusia lebih banyak tinggal di daerah pesisir pantai.

Seni cadas di Teluk Bitsyari

Tak berbeda jauh dengan seni cadas di Kaimana dan Teluk Berau. Seni cadas yang ditemukan di Teluk Bitsyari juga penuh lukisan cap tangan. Kebanyakan ditemukan di tebing-tebing.

Jikalau dilihat dari jauh maka tebing-tebing penuh lukisan itu berwarna merah. Namun, setelah dilihat lebih dekat hanya gambar garis-garis linear saja. Garis-garis linear itu pun cukup sulit dibaca sehingga kita tidak terlalu mengetahui gambar apa yang dilukis. Gambar-gambar itu hampir serupa.

Untuk melihat hasil karya manusia berupa seni cadas, kita hanya bisa melihat dengan menggunakan perahu. Sebab sebagian besar seni cadas terletak di tebing-tebing dekat pulau. Ada juga situs seni cadas yang bisa dijangkau melalui darat. Sayangnya, akses mudah itu justru menimbulkan tangan-tangan iseng nan jail dan tak bertanggungjawab mencoret-coret lukisan tersebut.

Seni, lukisan, dan mitos

Awalnya, seni cadas dibuat oleh orang-orang yang sangat sederhana. Mereka sekadar menggambar tanpa makna dibaliknya. Sebagian besar gambar mendekripsikan inisiasi kesuburan dan perburuan. Gambar dibuat lagi agar objek gambar, seperti binatang buruan terus bertambang jumlahnya.

Lukisan tangan sebagai simbol menolak bala yang berasal dari mitos nenek moyang. Gambar umum binatang kadal yang kerap ditemukan dalam situs cadas juga penting. Perpaduan gambar kadal dengan manusia juga terlihat beragam.

[caption id="" align="alignright" width="400" caption="Motif perahu pada situs Risatot, Pulau Arguni, Papua Barat"]

[/caption] Gambar perahu ditemukan pula pada situs cadas. Hal ini menandakan bahwa wilayah tersebut banyak dilewati perahu dan strategis. Gambar perahu berumur sekitar 300 tahun lamanya. Bukan sekadar gambar perahu saja, tapi cara menggerakkan perahu pun terlukis.

Penggunaan bumerang ternyata sudah dikenal orang Papua zaman dulu. Senjata khas suku Aborigin yang berasal dari Australia tersebut dilukis pada situs cadas.

Bumerang yang kita lihat sekarang berbentuk melengkung mulus, sementara gambar bumerang yang terlukis berbentuk segitiga tajam di tengahnya. Hal itu digunakan untuk menangkap ikan dengan cara melemparkannya ke dalam air. Namun, orang Papua sekarang mungkin tidak mengenal bumerang.

Pembahasan bahasa-bahasa Papua di Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh Frans Asisi Datang, M.Hum (Dosen Sastra Indonesia UI) memberikan wawasan baru. Situasi kebahasaan di NTT begitu menarik. Rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa Papua (Trans-New Guinea) mampu hidup berdampingan dengan baik.

Daerah yang menggunakan bahasa Austronesia, antara lain bahasa-bahasa di Pulau Flores, Sumba, Solor, Adonara, Lembata, serta sebagian bahasa di Pulau Timor. Daerah mencakup bahasa Papua, yakni bahasa-bahasa di Kabupaten Alor dan sebagian bahasa di Pulau Timor.

Bahasa-bahasa Papua di Alor ditemukan begitu banyak dengan istilah berbeda-beda. Satu daerah memiliki penyebutan bahasa yang berbeda, padahal bahasa yang dimaksud sama. Mereka (para penutur) mengakui bahasa yang digunakan tentu berbeda dari bahasa lain.

Alor memiliki bahasa begitu banyak sehingga tingkat kepunahan bahasa cukup gawat. Bahasa yang dituturkan hanya sebatas pada sekelompok kecil orang saja. Generasi sekarang lebih menggunakan bahasa Indonesia. Lambat laun, bahasa daerah bisa dilupakan.

[caption id="attachment_209149" align="alignleft" width="300" caption="Dari kiri ke kanan: moderator, Frans Asisi Datang, M.Hum, Karina Arifin, PhD"]

1349088345232395209
1349088345232395209
[/caption] Perubahan fonologis bahasa-bahasa di Alor dipengaruhi kosakata yang identik, perubahan yang teratur, dan sporadis (perubahan yang tidak teratur). Ditilik dari segi ilmu bahasa, jumlah bahasa tidak sebanyak pengakuan masyarakat sehingga perlu penelitian linguistik historis-komparatif untuk memetakan situasi kebahasaan di suatu daerah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun