Mohon tunggu...
Fitri Haryanti Harsono
Fitri Haryanti Harsono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis di Kementerian Kesehatan RI

Akrab disapa Fitri Oshin. WHO Certificate of Achievement on Zoonotic disease-One Health, Antimicrobial resistance, Infodemic Management, Artificial Intelligence for Health, Health Emergency Response, etc. Jurnalis Kesehatan Liputan6.com 2016-2024. Bidang peminatan kebijakan kesehatan mencakup Infectious disease, Health system, One Health dan Global Health Security.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media dan Demokrasi: Independensi Terhadap Pemberitaan Media

4 Mei 2012   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:45 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_179171" align="aligncenter" width="640" caption="Pembicara dari kiri ke kanan: Suryo Pratomo,Arief Suditomo,Rosiana Sialalahi,dan Sudjiwo Tedjo"][/caption] Atmakusumah Astraatmadjaya (Mantan Ketua Dewan Pers) Dinamika kebebasan pers di Indonesia muncul kembali setelah perjalanan panjang, setelah menghilang selama 40 tahun atau kurang lebih dua generasi antara tahun 1950-an dan 1990-an. Lebih dari satu dasawarsa, kita berupaya membangun kembali kebebasan pers ini. Masa reformasi sekarang, masyarakat Indonesia harus belajar banyak tentang cara menyampaikan pandangan dan sikap secara damai melalui dialog. Kenyataannya dalam waktu lebih dari 10 tahun, kita belum dapat sepenuhnya meninggalkan cara berekspresi dalam bentuk kemarahan dan kekerasan. Pers terus tumbuh dan berkembang selama masa reformasi sebagai pendamping pemerintah dan ikut mengawal perjalanan bangsa dari satu masa pemerintahan ke masa pemerintahan lain. Pers tidak terbelenggu, tetapi tidak terlindungi Kebebasan pers masa reformasi belum sepenuhnya terlindungi dan terjamin. Masih ada tekanan-tekanan yang menggelisahkan para pengelola media pers. Tekanan utama berasal dari yang disebut kriminalisasi pers, yaitu penggunaan hukum pidana yang represif , seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dapat memenjarakan wartawan karena karya jurnalistiknya sampai maksimal tujuh tahun.

Tekanan selanjutnya berasal dari para pengusaha yang lebih memilih penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dengan media pers akibat pemberitaan yang dianggap merugikan baik secara komersil maupun pribadi. Jalur hukum pidana memungkinkan wartawan menghadapi sanksi penjara dan denda tinggi, sedangkan jalur hukum perdata dapat menyebabkan perusahaan pers terkena sanksi ganti rugi yang tinggi pula. Jika kedua hukum ini sedemikian tinggi, maka akibat yang dialami media pers tidak ubahnya seperti pemberedelan melalui jalur hukum.

Tekanan lain yang agak sering terjadi, terutama tahun-tahun awal reformasi berasal dari publik yang melakukan kekerasan di kantor media pers. Tekanan-tekanan yang dialami media pers diharapkan lambat laun akan berakhir sejalan dengan kesadaran pemahaman kita terhadap makna pers yang kritis dan independen di sebuah negara demokrasi. Budiarto Shambazy (Wartawan Senior Harian Kompas) Dalam sistem pengadilan secara yurispudensi, media dimenangkan secara konstitusional. Media bisa kalah karena pencemaran nama baik. Media seringkali menjadi kambing hitam yang dipersalahkan tanpa mau mengamati Undang-Undang sehingga bisa dituntut. Realitanya, masyarakat Indonesia kurang memahami hal tersebut.

Kebanyakan pengaduan mengungkapkan bahwa pers wartawan melanggar kode etik, banyak terlibat amplop, dan lain-lain. Hal ini terjadi hampir setiap hari. Misalnya saja kasus di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang pemberitaan Metro TV versus TVONE juga hampir terjadi setiap hari. Sekarang patokannya hukum, ada acara tertentu yang kurang ya dikritik. Televisi punya publik, sementara koran susah diutak-utik. Intinya tidak perlu banyak mengeluh mengenai kondisi pers kita. Humor sama dengan politik, tetapiharus ada batasnya juga.

Kepemilikan media oleh partai politik ya susah mengukurnya. Semua pemilik media akan memanfaatkan medianya masing-masing, seperti masa Orde Baru yang partai politik punya media. Amerika Serikat yang terbagi atas Liberal dan Konservatif memiliki media, tetapi bukan dari partai politiknya. Rasanya tidak ada media yang netral, ibarat kata sudah kadaluarsa. Media bukan berpihak pada partai politik, tetapi kepada demokrasi dan publik. Bagaimana pergerakan pers terhadap independensi pemberitaan media? Suryo Pratomo (Direktur Pemberitaan Metro TV) Ada 3 kelompok media. Media yang berbasis kepada Pemilu tidak kepada masyarakat, maka tidak bisa berkembang. Media yang diangkat dari idealisme sehingga bisa berkembang menjadi bisnis amat menjanjikan. Bila Metro TV masuk dalam arus politik, maka akan hancur. Setiap media harus ada Rule of The Game agar independensi media bisa dipertahankan, maka jika tidak, konsekuensi dapat ditinggalkan para pemirsanya. Media bukan semaunya saja menyampaikan informasi, tetapi juga harus ada keberkaitan saling informasi kepada masyarakat.

Metro TV dalam konteks adalah bagaimana agenda dikuasai oleh pemilik. Hal itu dibuktikan dengan pengembangan citizen journalism dari masyarakat yang ke depan akan berkembang secara luar biasa. Adanya aturan-aturan yang jelas, yakni berita disiarkan dengan informasi yang berwarna. Televisi dan media dalam menyampaikan informasi harus mempunyai makna. Setiap berita bukan hanya berita, tetapi penyampaian pesan yang terkandung dalam berita juga penting.

Sifat pemberitaan harus obyektif, tidak partisan, dan mempunyai kredibel. Media harus berkembang, independensi punya kredibel. Kepentingan harus ditempatkan pada tujuan media, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Arief Suditomo (Pemimpin Redaksi Seputar Indonesia RCTI) Adanya konglomerasi atau media group sehingga muncul opini publik mengenai hal ini tidak bisa dihindarkan lagi. Media yang punya afiliasi ke partai politik tertentu tidak perlu dikhawatirkan. Namun, di balik semua itu ada hal-hal penting yang wajib digarisbawahi, yaitu kita masih memiliki orang-orang yang punya integritas, adanya editorial-editorial yang segala sesuatu untuk kepentingan publik, dan semangat.

Banyak hal yang dipertaruhkan, seperti pertaruhan gaji demi kepentingan publik yang harus diemban. Media sebagai garda terdepan, tanpa adanya itu, situasi tidak lebih baik. Instrumen-instrumen yang digunakan, seperti KPI, Dewan Pers maupun Undang-Undang Penyiaran bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik atas opini publik. Jadi, tidak perlu khawatir terhadap media yang berafiliasi dengan partai politik.

Yang paling penting adalah dari pihak swasta. Kekuatan ini termasuk kekuatan pasar. Rating jadi tekanan yang ditentukan dari kinerja, editorial terima kinerja rating secara real time. Pressure dari pemirsa dan dari market. Bila audiens tidak mencapai 17% atau hanya 10% saja, maka program acara itu dapat diganti dengan program acara lain atau ditarik dari film.

Sebenarnya masih ada kekuatan besar lain daripada kepemilikan saham. Apabila ada rating rendah, maka tidak ada future untuk acara tersebut, berarti acara itu jelek. Acara bagus tidak juga bagus kualitasnya. Kita turut berpartisipasi dalam mendukung program acara yang bagus. TVRI harusnya kuat dan besar. Segala sesuatu yang bertumpu pada swasta harus dikurangi.

Selain itu, kekuatan publik sangat diperhitungkan. Televisi lokal akan sangat diminati yang disesuaikan dengan kultur setempat sehingga potensinya ada. Kerjasama antara televisi lokal dengan televisi nasional bisa meningkatkan televisi lokal itu hingga mencapai 20 kali lipat.Yang kita lihat seperti TVRI termasuk paling luas yang mendapat dana dari pemerintah, tetapi belum mampu bersaing dengan televisi-televisi swasta lainnya. Pertanyaannya,mengapa ini bisa terjadi? Something wrong... Rosiana Silalahi (Pemilik Rosi Inc.) Pemusatan kepemilikan media adalah ketika pemilik televisi media itu menguasai banyak media seperti surat kabar. Yang sekarang terlihat adalah MNC menguasai media dan tidak terkalahkan. TVONE dan Metro TV sebenarnya audiensnya kecil. Hal inilah yang menimbulkan kegelisahan, apakah ruang redaksi ikut terpengaruh? Ruang redaksi seperti televisi berita tidak ada apa-apanya dibandingkan media lain. Tidak ada satu pun entitas yang tidak bisa berdiri sendiri. Media harus bekerja dan berafiliasi dengan yang lain. Pengaturannya diatur sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak pada monopoli siaran yang konten siaran tentu diverifikasi siaran.

Bagaimana program siaran pada Jakarta? Tren Jakarta ini adalah Jakarta sentris. Ruang redaksi memiliki kredibilitas yang mampu bersaing dengan Metro TV dan TVONE. Khawatir terhadap homogenitas program berita tentu masih ada civil society yang harus mendorong televisi-televisi lain. Hal ini bisa masuk dalam sesi prime time.

Terkait perdebatan akan Metro TV dan TVONE ya tidak dipungkiri lagi. Itulah opini publik yang terbentuk dalam masyarakat Indonesia. Independensi harus tetap memiliki keteguhan iman. Kita semua harus mendorong kemajuan media. Tidak bisa 100% media bersih karena ada prefensi-prefensi politik. Berpolitik secara praktis dapat memengaruhi media.

Independensi media berarti pemusatan kepemilikan. Independensi tidak memberikan sesuatu di luar fakta. Memutuskan melakukan jurnalistik atau tidak demi kepentingan apapun. Tugas menyampaikan berita adalah seluruh awak redaksi, presenter berita sebagai 'wajah terdepan' yang langsung berhadapan dengan publik pemirsa.

Integritas versus Bisnis Kita punya idealisme sendiri yang mampu berinteraksi dengan orang lain. Tatkala masuk kotak integritas tentu ada kekuatan marketing. Marketing tidak berbohong dan tidak bisa terlalu jauh dari isinya. Sebagus-bagusnya marketing, kalau berbohong dalam menyampaikan informasi ya tidak bisa bertahan lama. Independensi harus sesuai dengan hati nurani. Sudjiwo Tedjo (Penulis dan Pengamat Media) Pemberitaan media sekarang semua bisa dikontrol oleh KPI, namun kenyataan tidak sederhana seperti itu. Televisi maupun radio dikontrol dengan rating. Tapi apakah hidup seperti itu harus dengan rating? Rating itu berarti ditentukan banyak jumlah pemirsa yang menonton acara itu. Pertanyaannya, apakah benar jumlahnya? Kebenaran tidak ditentukan banyak atau tidaknya jumlah pemirsa. Masyarakat Indonesia sangat beragam, apa yang ditonton oleh orang banyak belum tentu bagus.

Rating tinggi harus dipertahankan. Terkait rating yang pemirsanya amenyukai gaya 'banci', 'banci' itu given, ada banci yang ikut-ikutan atas nama rating itu sehingga dipertahankan saja. Untuk bukti rating itu sendiri, masyarakat modern percaya secara tertulis alias data. Tidak semata-mata mengungkapkan, rating tinggi atau rating rendah, tetapi buktinya justru tidak ada.

Terlepas dari semua itu, berita didekati dengan ketahanan nasional, bukan hanya kepada bisnis saja. Moral dan pesan pendidikan pada program acara harus masuk sehingga acara tidak hanya dikontrol oleh rating. Suka tidak suka, apa yang masyarakat lihat pada acara televisi membentuk opini publik. Untuk televisi nasional, minimal televisi itu 30% lokal konten. Mengapa tidak bisa seperti ini? Tentu harus ada keterlibatan government. Kalau tidak hanya untuk senang-senang, ya belum tentu yang senang-senang itu benar.

Seminar Jurnalistik dalam acara Journalist Days 2012

30 April 2012

Auditorium Fakultas Ekonomi UI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun