Politisasi
Adanya politisasi mencuat di berbagai pemberitaan media massa. Lukas Hutagalung (Konsultan Bidang Infrastruktur) dari Bappenas bertindak sebagai penengah yang diminta untuk membantu Pemprov DKI Jakarta dengan PT Jakarta Monorail, dalam arti lingkup Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
“Dipolitisasikan, iya. Sikap pemerintah pusat (Pemprov DKI Jakarta) begitu berlarut-larutnya terkait monorel. Melihat berlarut-larut akan monorel sangat disayangkan. Memilih mana yang bisa bekerja sama di KPS-kan, ada swasta yang mau harus bersyukur,” kata Lukas.
“Kesulitan proyek cukup tinggi. (Dulu) Proyek ini hampir setengah triliun, sekarang mencapai sembilan triliun. Semakin tertunda (pelaksanaan pembangunannya), biaya semakin mahal. Dipolitisasi jadi beban rakyat,” lanjutnya.
Politisasi tersebut sebenarnya bisa dihindari. Jika pelaksanaan di lapangan ada yang tidak sesuai atas apa yang disepakati, maka bisa dilakukan revisi dengan membuat aturan baru. Infrastruktur adalah kewajiban pemerintah yang sudah tertera dalam Undang-Undang.
Kondisi yang tengah terjadi, dalam UU sektoral transportasi dan lain-lain, tatkala pemerintah tidak mampu memegang penuh, apabila dimungkinkan dalam pengelolaannya boleh bekerjasama dengan pihak swasta. Misal, proyek dua belas triliun tentu besar sekali, ibarat kata kenapa harus ditanggung seluruhnya oleh Pemprov DKI Jakarta bila ada pihak swasta yang tertarik mengelolanya.
Faktor penghambat
Bukan hanya politisasi saja, faktor-faktor penghambat ikut menjadi permasalahan yang tak berujung. Pertama, tidak ada kepercayaan (trust). Tjipta Lesmana (Pakar Komunikasi Politik UPH) mengemukakan Pemprov DKI Jakarta, khususnya Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta—sekarang Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta—tidak trust kepada pihak PT Jakarta Monorail yang dipandang ingin mengeruk untung.
“Mau tidak mau Pemprov DKI Jakarta harus bantu dalam bentuk fasilitas, seperti cari tanah dan lahan. (Pihak) Swasta harus untung besar ya tidak bisa. Boleh untung, tapi jangan gila-gilaan. (Solusinya) bisa diberikan konsesi (membangun) minimarket atau toko, sah-sah saja,” jelas Tjipta.
Senada dengan Tjipta, Lukas pun mengungkapkan konsep munculnya pemahaman (understanding) dan kepercayaan (trust), tidak bisa dipaksakan. Misal, Pemprov DKI Jakarta sudah lama mengerjakan (proyek) sendiri, pihak PT Jakarta Monorail harus pandai-pandai meyakinkan Pemprov DKI Jakarta.
“Perlu waktu memberikan pengertian beda, sudah menjadi tanggungjawab KPS. Di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta sendiri belajar memercayai pihak lain, saling percaya tidak bisa seratus persen diperoleh. Keduanya harus seratus persen tergambar, baru perjanjian kerjasama tercapai…,” tambah Lukas.
Kedua, birokrasi yang sulit. John mengakui keputusan pembangunan monorel yang berlarut-larut juga terganjal di bagian birokrasi. Kini pihak PT Jakarta Monorail hanya bisa menunggu, maksudnya harus membuat keputusan monorel dibutuhkan atau tidak, Pemprov DKI Jakarta mau bekerja sama dengan pihak swasta atau tidak.
“Kesulitan besar itu birokrasinya yang sulit dan susah, terutamadalam diskusi dan negosiasi, ternyata banyak peraturan Pemerintah Daerah maupun pusat yang terbentur juga tidak sejalan. Birokrasi harus dibenahi sekaligus ada terobosan baru,” ungkap John.
Tetap terealisasikan
Perlunya jalur dan moda transportasi publik yang saling terhubung, apalagi dengan daya sekali angkut penumpang lebih besar menjadi pilihan sendiri. Kita bebas mempunyai pilihan menggunakan transportasi mana yang cepat, praktis, aman, dan nyaman menuju lokasi yang dituju.
Di balik dilematis akan kelanjutan kesepahaman pembangunan monorel bisa terlaksana atau tidak ataupun ditunda (lagi) atau tidak. Publik tetap berharap monorel terealisasikan dengan baik sehingga menikmati kenyamanan monorel bukan sekadar khayalan dan impian belaka yang tak kunjung menjadi nyata.
“Monorel harus jalan. Jangan buat konsep baru, laksanakan yang sudah ada. Jangan sampai koridor hanya jadi museum atau monumen. Tidak boleh saling memakan dan teriak-teriak, siapa yang akan menyelesaikan ini, pemerintah dan swasta mesti bekerja sama,” kata Dharmaningtyas (Pengamat Transportasi).
Dampak positif pembangunan transportasi massal, khususnya monorel bisa menciptakan peluang dalam bidang properti. Jalur yang dilewati monorel membuat harga properti di sekitarnya naik. Selain itu, akan berpengaruh pada sinyal positif investasi di Indonesia. Jika proyek ini tidak direalisasikan, maka sinyal kurang baik ke dunia investor (lingkup geopolitik negara).