Mohon tunggu...
Fitri Ciptosari
Fitri Ciptosari Mohon Tunggu... Dosen - Proud to be NTT

Berkonsentrasi pada isu pembangunan pariwisata (Human-Centric)

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BUMDes: Membumikan Konsep Pariwisata Estate

10 November 2019   06:49 Diperbarui: 12 November 2019   12:05 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 4 November 2019 penulis berkesempatan mengikuti Dialog Publik antara Pemerintah dan Swasta tentang "Persiapan BUMDes Dalam Pengelolaan Destinasi Pariwisata Estate" yang difasilitasi oleh Bapelitbang Provinsi NTT. Pembicara yang dihadirkan diantaranya adalah Dr. David Pandie, staf khusus Gubernur yang juga Dosen FISIP dan Pascasarjana UNDANA; Ondy Ch. Siagian, seorang praktisi dan pemerhati BUMDes; dan Drs. Sinun Petrus Manuk, Kepala Dinas PMD Provinsi.

Penulis hadir sebagai anggota Kompasioner Kupang, yang mencoba memberikan catatan-catatan penting pada beberapa poin yang dipaparkan oleh pembicara. Kiranya tulisan ini bisa memberikan pemahaman bagi pembaca tentang konsep Pariwisata Estate yang digaungkan oleh Pemerintah Provinsi NTT, dan menyampaikan pandangan mengenai BUMDes sebagai gagasan dalam membumikan konsep Pariwisata Estate di tengah masyarakat NTT.

Pasca terpilihnya VBL, gubernur visioner ini kemudian bersama jajaran tim kerjanya menyusun grand design pembangunan pariwisata NTT yang diyakini menjadi prime mover perekonomian provinsi ini. Tercetuslah konsep pembangunan Pariwisata Estate yang pengembangannya akan difokuskan pada 7 (tujuh) destinasi wisata prioritas, diantaranya adalah Fatumnasi di Kab. TTS, Lamalera di Lembata, Mulut Seribu di Kab. Rote Ndao, Pantai Liman di Pulau Semau Kab. Kupang, Desa Koanara di Kab. Ende, Wolwal di Kab. Alor, dan Praimadita di Kab. Sumba Timur.

Konsep Pariwisata Estate dijelaskan oleh Dr. David Pandie, sebagai konsep pembangunan kawasan pariwisata dimana semua jasa dan kelengkapannya ada disana. Kelengkapan pariwisata yang dimaksud adalah Atraksi, Akses, Akomodasi, Amenitis, dan Awareness. Kelengkapan 5A tersebut menjadi kunci dalam mendeskripsikan konsep Pariwisata Estate. 5A juga menunjukkan kesiapan destinasi pariwisata dalam memenuhi kebutuhan wisatawan. Jika salah satunya tidak ada, maka pembangunan pariwisata disebutkan tidak akan berhasil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Terdapat keunikan dari pemilihan nama Pariwisata Estate. Istilah Pariwisata Estate ini belum pernah dicetuskan oleh daerah atau negara lain dalam merumuskan konsep pembangunan pariwisata. Istilah ini lebih banyak digunakan dalam cakupan kecil seperti resort atau kawasan objek wisata yang menawarkan kelengkapan pelayanan seperti penginapan, restoran, berbagai aktivitas wisata, dan hiburan. Semua fasilitas yang dibutuhkan wisatawan ada dan secara terintegrasi dikelola dalam satu manajemen.

Namun, perlu diketahui bahwa istilah estate ini rentan untuk di salah tafsirkan. Seperti real estate, konsep pembangunan pariwisata ini justru terdengar seperti pembangunan pariwisata yang berbasis investasi atau pembangunan properti. Apalagi istilah ini banyak digunakan oleh resort-resort yang menawarkan kemewahan seperti Lio in El Nido di Palawan Filipina, dan kawasan objek wisata Makaibari Tea Estate di Bengal Barat India yang justru memarjinalkan para petani lokal.

Berdasarkan dari pemilihan istilah yang terkesan megah, kemudian muncul pertanyaan bagaimana Pariwisata Estate dapat mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan yang mengentaskan kemiskinan? Asumsi-asumsi negatif bisa muncul jika konsep pembangunan pariwisata ini tidak bisa mendesain rancangan kinerja yang mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Dampak negatif pariwisata seperti penggunaan lahan dan pembangunan yang massive atas nama pariwisata justru ditakutkan akan memperparah kondisi kemiskinan dan ketimpangan.

Oleh karena itu, konsep pembangunan pariwisata estate sangat perlu dinarasikan dengan baik dan mekanisme dalam membangun ekonomi kerakyatan di NTT juga perlu digambarkan. Hal ini sangat diperlukan dalam membangun keyakinan masyarakat yang partisipasi aktifnya sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan.

Melalui Dialog Publik ini, Pemerintah Provinsi NTT menyampaikan inisiatifnya melibatkan BUMDes dalam pengelolaan kawasan Pariwisata Estate secara terpadu dengan maksud agar masyarakat ikut terlibat dan turut serta dalam pengembangannya. Ondy Siagian, praktisi dan pemerhati BUMDes, adalah pria dibalik gagasan ini.

Perlu diakui bahwa melibatkan BUMDes dalam pengelolaan destinasi pariwisata adalah gagasan brilian. Mengapa? Pertama, pengelolaan pariwisata melalui BUMDes adalah bentuk aplikatif dari Community-based Tourism yang berfokus pada pengelolaan rakyat. Kedua, aspek kelembagaan diperlukan dalam mengatur dan mensinergikan setiap komponen pariwisata, serta menyambungkan setiap rantai nilai dari pariwisata. Hal ini sesuai dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang mana kelembagaan menjadi salah satu pilar yang ditambahkan dalam mensinergikan ketiga aspek pembangunan (ekonomi, sosial dan lingkungan).

Ondy selanjutnya menerangkan bahwa untuk mengintervensi pergerakan BUMDes dalam mendukung 7 destinasi Pariwisata Estate maka diperlukan BUMDes Hub. BUMDes HUB adalah Pusat Pengembangan BUMDes yang akan memfasilitasi beberapa BUMDes sebagai BUMDes Pilot atau Percontohan bagi BUMDes lainnya. HUB merupakan istilah dari sistem komputer dimana sebuah jaringan komputer bisa berjalan apabila terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan.

Istilah HUB mendasari sistem BUMDes dimana keberadaan BUMDes ditiap desa akan mengalami kemajuan yang lebih efektif apabila setiap BUMDes dapat saling tehubung satu dengan lainya melalui sentral BUMDes. Sebagai organisasi, BUMDes HUB dapat berbentuk sebagai unit kerja khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur. Pasal 32 dari Permendesa No: 4/2015 menjadi landasan hukum yang digunakan untuk mendukung BUMDes HUB ini menjadi salah satu akselerasi program pembinaan BUMDes oleh Gubernur.

Banyak desa-desa di NTT yang baru merintis dalam menjalankan BUMDes. Tentunya berbagai kesulitan mereka temui seperti dalam memetakan potensinya, menentukan unit usahanya, dll. Maka dengan kehadiran BUMDes HUB sebagai badan fasilitator dan pendampingan, BUMDes di desa-desa tidak akan merasa berjalan dan menemui kesulitan sendirian.

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa pertemuan antara BUMDes di desa-desa dan BUMDes HUB adalah pertemuan arus dari dua aras yang berbeda. Disatu sisi, BUMDes sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat desa bergerak secara bottom up bekerja menyesuaikan kebutuhan, permasalahan dan potensi desa yang dimusyawarahkan dalam internal desa. Sementara, BUMDes HUB adalah kepanjangan tangan dari Pemprov yang bergerak secara top down.

Dengan demikian, skenario yang matang perlu disiapkan dalam mengaplikasikan kinerja BUMDes HUB. Dengan memastikan bahwa pemerintah tetap menduduki posisinya sebagai fasilitator dan regulator, dan tetap memberikan ruang partisipasi masyarakat sebagai aktor utama pembangunan.

Sementara itu, Drs. Sinun P. Manuk menambahkan bahwa BUMDes HUB dilihat sebagai salah satu terobosan dalam program pendampingan BUMDes di desa-desa supaya dana desa dapat dikelola semaksimal dan seoptimal mungkin dalam membangun desa dan mensukseskan Pariwisata Estate. Terdapat ketidakseimbangan melihat tingginya angka kemiskinan di NTT dengan besarnya anggaran pembangunan yang masuk ke provinsi ini.

Oleh karena itu, penggunaan dana desa perlu mendapat dukungan dari banyak pihak dan aksi kolaboraktif diperlukan dalam mendukung keberhasilan BUMDes di desa-desa.

Dalam rangka mengejawantahkan Pariwisata Estate yang mampu mensejahterakan dan meningkatkan harkat martabat masyarakat NTT, BUMDes adalah solusi paling tepat dalam memberikan ruang masyarakat untuk berperan dan terlibat aktif dalam pengelolaan destinasi Pariwisata Estate.

BUMDes adalah jawaban bagaimana membumikan konsep Pariwisata Estate di tengah-tengah masyarakat NTT. Inisiatif baik dari Pemprov ini jika benar-benar direalisasikan akan menjadi langkah good governance dalam mengaplikasikan pembangunan pariwisata melalui pariwisata ekonomi kerakyatan. Khususnya, ketika tantangan pembangunan pariwisata di NTT adalah mengentaskan permasalahan kemiskinan.

Jika pariwisata dilihat sebagai nilai ekonomi maka perlu dilihat sejauh mana nilainya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat NTT. Pariwisata adalah hulu dan hilirnya adalah pemberdayaan masyarakat. Membangun destinasi pariwisata bukanlah tujuan, melainkan sebagai alat dalam memberdayakan masyarakat dan membuka ruang partisipasi bagi mereka dalam mengisi pembangunan. Semoga, Pariwisata Estate kedepannya mampu menjawab tantangan-tantangan itu. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun