Menenun sebagai Pendidikan Muatan Lokal NTT
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler yang berbasis potensi lokal yang memiliki kedudukan yang sama dengan mata pelajaran inti di sekolah. Karena berbasis pada potensi lokal, maka pendidikan muatan lokal yang diterapkan di setiap daerah bisa saja berbeda.Â
Berdasarkan Innovation and Creativity in Curriculum Development (1995) mata pelajaran Mulok meliputi cakupan diantaranya: budaya lokal, keterampilan wirausaha/keterampilan pra-vokasional, pendidikan lingkungan dan kekhususan lokal lainnya. Ketiga cakupan tersebut diharapkan dapat bersinergi yang pada akhirnya membentuk kecakapan hidup (life skill) yang dapat dikuasai oleh generasi milenial.
Melalui Mulok, sistem pendidikan di NTT dapat mendorong upaya regenerasi budaya menenun dan perlindungan warisan leluhur yang tinggi mutu itu. Target pendidikan muatan lokal tidak hanya sekedar memberikan keterampilan menenun, namun juga memberikan pemahaman dan menumbuhkan kepedulian. Â Rasa peduli yang tumbuh inilah yang nantinya melahirkan komitmen untuk terus menjaga dan melestarikan.
Melalui Mulok, upaya mewajibkan belajar menenun bagi generasi milenial akan lebih efektif. Pertama, hanya dengan melalui koordinasi dinas/direktorat pendidikan di setiap daerah, maka peraturan ini dapat di terapkan di semua sekolah di setiap daerah di NTT. Hal ini juga sesuai dengan prinsip otonomi daerah, dimana Pemerintah Daerah berkewajiban melestarikan dan mengembangkan potensi daerah masing-masing.Â
Kedua, jika semua sekolah menerapkan mulok, dari SD hingga SMA, baik sekolah negeri dan swasta, maka upaya warisan intelelektual ini dapat ditransfer secara menyeluruh ke semua generasi milenial di negeri flobamorata ini.
Harus diakui, untuk mengimplementasi Mulok ini tidak akan semudah seperti membalikan telapak tangan. Berbagai masalah mungkin akan ditemukan.Â
Permasalahan yang pasti dihadapi adalah keterbatasan guru Mulok. Berkurangnya pengrajin tenun saja sudah banyak dikhawatirkan, ditambah lagi harus mencari tenaga pengajar yang memiliki keterampilan menenun.
Hal ini mungkin menjadi kendala yang jika dikelola dengan serius justru akan menjadikan peluang baru bagi pemerintah dalam mendorong upaya pemberdayaan perempuan. Dengan terciptanya profesi baru 'guru menenun' maka akan ada banyak perempuan NTT yang akan diberdayakan sebagai perempuan penjaga budaya.
Selain kurangnya tenaga pengajar, permasalahan yang mungkin juga ditemui adalah keterbatasan materi dalam penyusunan desain pembelajaran mulok. Hal ini mungkin disebabkan karena minimnya literasi kekayaan budaya di NTT yang belum terdokumentasikan secarang lengkap dan utuh. Justru berangkat dari keterbatasan ini, adalah momentum bagi pemerintah NTT untuk menyusun literasi tertulis tentang kekayaan tenun NTT.Â
Kekayaan NTT perlu didokumentasikan supaya mahakarya ini terus ada, tidak terlindas oleh roda jaman dan tidak hilang tertelan bumi. Seperti jargon 'aku menulis maka aku ada' begitu pula dengan 'jika tenun ditulis maka tenun akan terus ada'. Kekayaan tenun NTT tidak akan menjadi kenangan, namun akan rapi tersimpan untuk mereka sang pembangun masa depan.