"Jejak yang Menemukan Kembali" (Bagian 1)
Hidup memang selalu penuh kejutan. Kadang, kita dipertemukan dengan seseorang di saat yang tak terduga, dan kemudian dipisahkan oleh keadaan yang bahkan tak pernah kita bayangkan. Begitulah yang aku rasakan terhadap dia, seseorang yang pernah hadir begitu dekat di masa lalu, namun terpaksa harus kulepaskan karena banyaknya suara di sekitarku yang mengatakan bahwa dia bukanlah yang terbaik untukku.
Dulu, kami bertemu secara kebetulan. Perbincangan kecil, perhatian sederhana, hingga akhirnya kami mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Namun, seiring dengan kedekatan kami, muncul keraguan. Banyak orang di sekitarku berkata bahwa dia bukan orang yang tepat. Suara-suara itu begitu kuat, hingga aku mulai mempertanyakan pilihanku. Pada saat itu, aku juga sedang dalam penantian seseorang yang pernah menjanjikan masa depan. Jadi, aku memutuskan untuk menjauh, meski hatiku berat. Aku meninggalkannya tanpa penjelasan, berharap ini adalah keputusan terbaik untuk kami berdua.
Bertahun-tahun berlalu, dan aku menjalani kehidupanku sendiri, mencoba melupakan setiap momen yang pernah kami bagi. Namun takdir, seperti halnya hidup, selalu memiliki cara yang tak terduga untuk menghubungkan kembali dua jiwa.
Suatu hari, aku tanpa sengaja mampir ke sebuah restoran kecil yang baru dibuka di dekat kantorku. Saat aku masuk, sosok familiar berdiri di sana, tersenyum dengan cara yang sama seperti dulu. Itu dia---pria yang dulu pernah kutinggalkan tanpa penjelasan. Dan yang mengejutkan, dia tidak hanya mengenaliku, tapi menyapaku dengan ramah, seolah waktu tak pernah memisahkan kami.
"Apa kabar?" tanyanya, senyum yang tak pernah kulupakan menghiasi wajahnya.
Aku gugup, tapi tersenyum. "Baik, kamu sendiri?"
Kami berbincang seolah tak ada yang berubah. Namun beberapa hari setelah pertemuan itu, dia menghubungiku dan akhirnya mengungkapkan perasaannya.
"Kamu tahu, aku bingung saat kamu meninggalkanku. Aku merasa ada yang tidak beres, tapi tidak pernah tahu kenapa."
Hatiku tertikam. Aku akhirnya memberanikan diri untuk menjelaskan semuanya. Bahwa aku takut, bingung, dan mendengar terlalu banyak suara yang meragukan dirinya. Bahwa aku saat itu tidak bisa memilihnya karena menunggu seseorang yang kutunggu dengan harapan kosong.
Dia terdiam, lalu menghela napas panjang. "Aku mengerti. Tapi aku berharap kamu tahu, aku bukan orang yang mereka katakan. Mungkin aku punya masa lalu yang rumit, tapi aku sudah berusaha berubah."
Sejak saat itu, kami mulai kembali dekat. Namun keraguanku tak sepenuhnya hilang. Awalnya, aku berpikir mungkin dia hanya mendekatiku karena butuh bantuanku dalam beberapa hal. Dia menghadapi kesulitan dengan bisnis restorannya, dan aku sering merasa bahwa mungkin itu alasannya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa perasaannya lebih dari sekadar itu.
Suatu malam, setelah berbincang panjang, dia tiba-tiba bertanya, "Kamu mau menikah sama aku?"
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Di tengah kebingunganku, aku balas bertanya, "Dalam waktu dekat atau...?"
Dia tertawa kecil, lalu memotong ucapanku. "Dijawab dengan pertanyaan lagi."
Kami tertawa bersama, tapi hatiku tahu dia serius. Meski saat itu aku tidak langsung memberikan jawaban pasti, aku merasakan bahwa hubungan kami telah sampai pada titik di mana aku benar-benar yakin.
Namun, semua kebahagiaan itu tiba-tiba terhenti. Beberapa hari setelah pertemuan itu, dia hilang tanpa kabar. Seminggu penuh aku diliputi kecemasan, hingga akhirnya aku memberanikan diri menghubungi ayahnya. Dari sana, aku mengetahui bahwa dia telah terkena hipnotis dan tersesat jauh, dalam kondisi bingung dan trauma. Sejak itu, dia tidak membalas pesanku. Dia hanya membuat status bahwa dia butuh waktu untuk pulih.
Aku menunggu. Setiap hari. Merindukannya. Ingin tahu keadaannya. Aku ingin menemaninya, mendukungnya melewati masa pemulihannya, tapi tidak tahu harus berbuat apa. Rasa khawatir dan rindu ini hampir tak tertahankan, tapi aku juga tak ingin mendesaknya di saat dia sedang berjuang untuk dirinya sendiri.
Dan di sinilah aku, menunggu di tengah ketidakpastian. Meski pesan-pesanku tak berbalas, aku tidak akan meninggalkannya. Aku akan tetap ada di sini, menunggu kabar darinya, apapun itu. Aku tahu, dia membutuhkan waktu, dan aku akan memberinya ruang. Tapi satu hal yang pasti---aku tidak akan pergi, karena cintaku padanya telah melewati banyak rintangan. Dan sekarang, aku hanya bisa berharap bahwa dia tahu, aku di sini menunggunya, dan akan selalu mendukungnya, sampai dia siap kembali.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H