Ibnu Qudamah menyatakan:
 Â
"Sedangkan hari arafah adalah hari kesembilan dari Dzulhijjah".
Zakaria Al-Anshari menyatakan:
Â
"Disunnahkan puasa hari arafah, yakni hari ke sembilan Dzulhijjah".
Badruddin al-Aini menyatakan:
Â
"Adapun Arafah, maka ia dikatakan untuk menamai waktu, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah, dan juga bisa dikatakan untuk menamai tempat, yaitu tempat yang dikenal yang mana jamaah haji melakukan wukuf pada hari Arafah di tempat itu".
Mengenai hal ini dapat disimpulkan bahwa puasa Arafah merupakan ibadah yang dianjurkan dan bernilai sunnah. Adapun mengenai problematika dalam penetapan hari Arafah, kedua pendapat yang dipaparkan memiliki dalil hukum masing-masing yang cukup signifikan. Jika melihat dalil yang ditampilkan, penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang mengatakan bahwa hari Arafah lebih kepada tanggal 9 Dzulhijjahnya, karena tentunya hasil rukyatul hilal di tiap daerah sangat mungkin terjadi perbedaan dan penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla'nya (tempat terbitnya hilal). Namun hendaknya kita sebagai akademisi bersikap bijak karena menyadari ikhtilaf/perbedaan dalam fikih tentu ada dan merupakan Rahmat Allah SWT. Tidak ada yang salah dari kedua kelompok tersebut, karena keduanya menyampaikan argumen dengan dalil pendukung yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H