Kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga gas elpiji 12kg secara bertahap membuat banyak masyarakat mengeluh, terutama pelaku bisnis kecil dan menengah yang menggunakan gas elpiji untuk proses produksinya. Begitu juga ibu rumah tangga yang harus bersusah payah mengatur siasat supaya dapur tetap mengepul disaat gaji suami mereka tetap stabil, apalagi ditambah dengan beban kenaikan tarif dasar listrik dan BBM.
Rencananya kenaikan gas elpiji nonsubsidi ini akan dinaikkan secara berkala setiap enam bulan sekali, mulai dari tahun 2014 hingga 2016. Dimana tahap pertama kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12kg sudah dilakukan pada bulan September 2014
Alasan utama pemerintah menaikkan harga gas elpiji 12 kg secara berkala ialah sebagai respon terhadap kerugian yang diderita Pertamina sebesar Rp 2,81 trilliun yang diderita selama semester pertama tahun 2014 dan jika diestimasi, negara dapat rugi hingga mencapai 5 trilliun pertahun apabila kenaikan harga gas elpiji 12kg tidak diberlakukan.
Berbagai pro dan kontra datang dari berbagai kalangan masyarakat terhadap kebijakan ini, mayoritas yang kontra justru berasal dari kalangan menengah yang menjadi konsumen utama gas elpiji 12kg serta berbagai pelaku usaha sedangkan dari kalangan mayarakat bawah atau miskin, mereka masih bisa menggatungkan kebutuhannya melalui gas elpiji 3kg yang bersubsidi. Dan untuk masyarakat yang pro, mereka berharap supaya kenaikan harga elpiji nonsubsidi ini juga dibarengi dengan peningkatan kualitas gas elpiji.
Lalu pertanyaannya adalah seberapa efektifkah kebijakan pemerintah ini dapat mengurangi beban atau kerugian Pertamina yang diestimasi mencapai 5 trilliun pertahun apabila kenaikan harga gas elpiji nonsubsidi tetap berlanjut?
Elastisitas Permintaan Masyarakat dan Rasionalitas Pembeli
Konsumen gas elpiji 12kg mencapai 15% dari keseluruhan total konsumen gas elpiji di Indonesia yang merupakan masyarakat kelas menengah. Jika dilihat secara umum, mereka yang disebut kalangan menengah di Indonesia adalah yang bekerja sebagai pegawai kantor dengan dengan rentang penghasilan antara Rp 2,6 juta sampai Rp 6 juta. Berdasarkan data Boston Consulting Group (BCG), jumlah masyarakat Indonesia pada kelas ini mencapai 74 juta orang di tahun 2014 atau sekitar 28% dari keseluruhan total penduduk Indonesia. Jumlah gaji yang tetap seiring semakin meningkatnya biaya hidup untuk makan, pendidikan dan kesehatan yang ditambah dengan kenaikan BBM dan tarif listrik membuat masyarakat pada kelas ini semakin dituntut untuk lebih berhemat dalam melalukan pengeluaran mereka. Fakta kenaikan harga tersebut dibuktikan dengan semakin meningkatnya angka inflasi di Indonesai. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Bapan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, angka inflasi dari tahun 2011 sampai 2013 terus melonjak naik. Seperti yang ditunjukkan pada table berikut:
Hal inilah yang kemudian membuat masyarakat pada kelas menengah semakin rasional dalam menentukan pilihan mereka dan peka (elastis) terhadap kenaikan harga terutama pada barang komoditi seperti gas. Sehingga apabila suatu produk dapat menawarkan benefit (keunggulan) dengan kualitas serta kuantitas yang sama dengan dengan cost (biaya/harga) yang lebih rendah tentu akan sangat diminat. Hal inilah yang kemudian terjadi pada kasus kenaikan harga gas elpiji 12kg. Masyarakat yang sebelumnya merupakan konsumen setia produk gas elpiji 12kg segera beramai-ramai pindah ke gas elpiji 3kg yang mendapat subsidi karena dengan harga yang lebih murah mereka dapat memperoleh gas elpiji dengan kualitas dan kuantitas yang sama pula. Hal itupun diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh Direktur Pemasaran dan Niaga ESDM, Hanung Budya ,bahwa migrasi pengguna Elpiji 12kg ke elpiji 3kg hanya mencapa 2 persen.
Lebih jauh lagi, kebijakan kenaikan harga secara berkala justru akan membuat masyarakat kelas menengah  semakin responsive terhadap harga gas tersebut. Hal itu dikarenakan oleh meningkatnya harga pada keseimbangan pasar yang menyebabkan surplus produsen, dimana jumlah gas elpiji 12kg yang ditawarkan lebih besar daripada jumlah yang diminta. Sehingga tidaklah menutup kemungkinan apabila jumlah 2 persen pengguna yang bermigrasi ke gas elpiji 12kg akan semakin berkurang sejalan dengan menurunnya kemampuan mereka dalam melakukan penyesuaian harga pasar dengan pendapatan yang ada.
Efek Domino
Kebijakan kenaikan harga gas elpiji 12kg justru lebih memperparah kondisi perekonomian di Indonesia. Dimana terjadi pula inflasi pada gas elpiji 3kg yang bersubsidi. Hal itu dikarenakan adanya tarikan permintaan (pull demand) dari masyarakat terhadap gas tersebut sedangkan kuantitas atau jumlah pasokan gas tetap. Contoh dari kenaikan harga gas elpiji 3kg ini sudah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Bandung yang mengalami kenaikan mencapai enam ribu rupiah menjadi Rp 21 ribu dari sebelumnya Rp 15ribu.
Hal inilah yang dipandang menjadi efek domino kerugian akibat kenaikan harga gas elpiji 12kg. Kalangan masyarakat kelas bawah (miskin) yang seharusnya terbantu dengan subsidi gas elpiji 3kg kini malah harus menanggung kerugian akibat naiknya harga gas tersebut di pasar. Walaupun pemerintah berdalih akan melakukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan gas bersubsidi, dengan menggunakan system aplikasi computer program Simolek, nyatanya penggunaan gas elpiji bersubsidi tersebut masih saja salah sasaran.
Kedua, kenaikan harga gas elpiji 3kg juga dapat memicu terjadinya inflasi terhadap harga barang atau jasa karena banyak dari pelaku bisnis yang menggunakan gas elpiji untuk proses produksinya terpaksa menaikkan harga produk mereka. Sebagai contohnya ialah kenaikan harga pada makanan jadi di warung makanan seperti warteg. Akibatnya, omset pengusaha warteg tersebut cenderung menurun karena banyak dari pelanggan mereka yang mayoritas berasal dari kalangan bawah (masyarakat miskin) yang merasa keberatan. Lagi-lagi dalam kasus ini masyarakat miskinlah yang paling merasakan akibat dari kenaikan harga gas elpiji 12kg.