Waktu itu saya masih duduk di bangku SD. Pak Sukiman adalah seorang penjual pentol, namun ada yang membuat beliau menjadi mudah diingat dan cukup menonjol daripada penjual lainnya, yaitu pembawaan beliau yang ceria dan guyonan. Ya, pak Kiman sering mengajak saya dan teman-teman bercanda, bahkan saya tidak pernah melihat beliau berjualan dengan muka murung, selalu saja tertawa. Ia sering menggoda dengan guyonan khasnya, bahkan tidak jarang anak-anak sering menggoda balik pak Kiman, bahkan mungkin terkesan agak kurang ajar. Ya, saking jahil dan cerianya beliau (hampir seperti pelawak), anak-anak juga sering mengejek beliau, ya namanya juga anak-anak kadang memang sedikit kurang ajar dan belum bisa menjaga omongannya. Salah seorang teman saya misalnya pernah mengejek pak Kiman dengan sebutan gila.
Suatu hari, pak Kiman absen berjualan, hingga sampai dua minggu pak Kiman masih tidak kelihatan batang hidungnya. Beberapa orang mengira beliau sedang sakit, saat itu kami cukup kehilangan. Akhirnya kabar dari pak Kiman sampai ke desa saya. Pak Kiman telah tiada. Ya, beliau meninggal dunia karena kecelakaan. Kejadian itu terjadi saat pak Kiman pergi ke pasar usai berbelanja bahan untuk membuat pentol, beliau tertabrak mobil saat sedang menyeberang jalan. Berita ini datang langsung dari tetangga pak Kiman. Kami hampir tidak percaya bahwa seorang pak Kiman yang sudah seperti seorang teman bagi kami, telah tiada.
Semasa hidupnya ternyata pak Kiman adalah tulang punggung keluarga yang menghidupi 3 anaknya dan istrinya yang sedang sakit, bahkan anaknya masih kecil-kecil, dan penyakit yang diderita istrinya juga cukup parah. Belum lagi hutang di sana sini. Setelah pak Kiman tiada, mungkin saya memang cukup kehilangan sosok beliau, namun tidak sampai terbayangkan kerasnya kehidupan yang beliau jalani. Tentu saja, tidak ada yang mengira sama sekali background kehidupan beliau seperti itu, bahkan orang-orang sempat mengira pak Kiman agak kurang waras sehingga sering tersenyum-senyum sendiri.
Ternyata dugaan saya sangat salah. Di balik tawanya, beliau menyimpang bermacam beban kehidupan, dan ternyata penjual pentol bukan satu-satunya pekerjaan beliau. Ya, malamnya beliau berburu katak di sawah untuk dijual. Sungguh tak terbayangkan, lalu kapan beliau istirahat?
Lama saya merenung dan berpikir, lalu membandingkan cara saya menghadapi masalah hidup dengan ketegaran pak Kiman. Ya, mungkin pak Kiman memang tidak seberuntung saya, tapi dari sisi cara dan respon menghadapi masalah, saya sungguh sangat kalah dengan pak Kiman. Dalam hidup, terkadang, saya sering terpancing emosi dan mudah putus asa saat sedikit saja masalah terjadi, menghadapinya dengan uring-uringan dan sebagainya, tapi pak Kiman, beliau sungguh seperti malaikat. Di balik tawa riang dan pembawaan cerianya, tersimpan banyak beban yang ia tanggung. Pak Kiman sepertinya sangat paham bagaimana caranya bersyukur, bagaimana cara menikmati dan meghargai hidup yang ia jalani.
Ya, pak Kiman memang telah tiada, cerita hidupnya telah menjadi kenangan, khususnya di mata saya sebagai yang pernah mengenal beliau. Lama saya dapat mencerna ini semua, dan mengambil hikmah serta menjadikan pak Kiman sebagai sosok yang patut dicontoh. Masalah setiap orang memang berbeda-beda, kadar berat atau tidaknya suatu masalah tergantung dari cara kita menyikapinya, sebab orang-orang sering lupa bahwa di balik masalah dan beban yang bertumpuk, ada rasa syukur yang harusnya kita hela sebagai cara menyikapi masalah selain usaha. Bahagia, adalah salah satu kuncinya, kebahagiaan diciptakan oleh kita sendiri. Setelah kita bisa menerapkan itu semua, maka hidup akan terasa seperti sewa menyewa, dan pak Kiman hanyalah 1 dari orang baik yang masa sewa di buminya habis, namun apa yang ia tanam tetap tumbuh sebagai teladan yang sangat berharga untuk ditiru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H