Dua perempuan muda mengenakan kebaya putih, bawahan jarik batik kuning dengan motif bunga-bunga kecil, menghampiri Paksi dan Dyah. Salah satunya membawa nampan berisi dua bungkus nasi dan air minum dalam gelas. Lainnya membawa air dalam kobokan dan satu sisir pisang ambon.
"Silakan," ujarnya setelah selesai menata makanan di meja.
Paksi terpaku menatap hidangan di depannya. Nasinya dibungkus daun jati, dikat dengan tali bambu. Tidak punya piring, atau bagian dari tradisi padepokan?Â
"Apakah kamu bisa menjelaskan mengapa kita disuguhi nasi bungkus seperti ini?" tanya Paksi dengan suara rendah setelah tidak mampu menjawab pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran.
Begitu tutur Retno Budiningsih membacakan nukilan cerita dari novel berjudul "Kelir" dengan penuh penghayatan. Untuk membedakan dua karakter yang berbeda, dialog tokoh Diah diucapkan dengan suara lembut, sedangkan Paksi dengan nada lantang maskulin. Disertai dengan gerak, mimik, dan gesture tubuh yang luwes, saya jadi begitu terhanyut oleh alur cerita yang dibacakan. Seolah-olah sedang menyaksikan langsung setiap adegan dari penggalan kisah novel tersebut.
Bertempat di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada Sabtu, 29 Oktober 2023 saya turut hadir di acara peluncuran dan bedah novel karya Yon Bayu Wahyono, seorang Kompasianer senior yang juga seorang jurnalis. Menariknya pada kesempatan tersebut, Om Yon, begitu sapaan akrab sang novelis, tidak hanya meluncurkan novel "Kelir", melainkan juga novel lain bertitel "Prasa". Saya tidak bisa membayangkan bagaimana cara Om Yon bisa melahirkan dua karya sekaligus seperti itu.
Dihadiri lebih dari 70 orang, yang terdiri dari para Kompasianer, komunitas sastra, budayawan, dan tentu penerbit Teras budaya selaku penerbit dua novel Om Yon, acara peluncuran tersebut dimulai tepat pada pukul 14.00.
Kelir, Sebuah Novel Sarat Budaya
Sebagai orang awam, saya sangat mengapresiasi cara panitia menyuguhkan pembacaan nukilan novel sebelum masuk ke bincang utama bedah buku. Meskipun belum membacanya, secara sekilas saya memiliki gambaran tentang sinopsis novel tersebut. Saya jadi tidak merasa ketinggalan, dan siap mengikuti diskusi selanjutnya.
Pada sesi bedah novel Kelir, MC yang merupakan tokoh penyair TIM, Nanang R Supriyatin mempersilakan moderator Nuyang Jaimee, Om Yon sebagai novelis, serta Sunu Wasono, mantan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, untuk naik ke atas panggung.
Mbak Nuyang, begitu sang moderator disapa, menyapa dan menginformasikan profil kedua narasumber di sisi kanan dan kirinya kepada hadirin agar lebih mengenal. Dengan pembawaan yang bersahabat, lugas, dan ceria Mbak Nuyang sukses memberikan atmosfir hangat dan santai. Â
Saya juga cukup antusias karena ini pertama kalinya saya mengikuti event sebuah bedah buku. Apalagi yang didapuk untuk membedah buku adalah sosok yang bukan kaleng-kaleng. Mantan dosen UI, nih!
Ketika dipersilakan memberikan pendapatnya soal novel Kelir, Sunu Wasono mengapresiasi hadirnya Kelir sebagai novel yang sarat dengan nilai-nilai kebudayaan, terutama budaya Jawa. Kelir menggambarkan persinggungan antara kepercayaan, politik, dan klenik dalam sejarah dan budaya Jawa.
Menurut Sunu, paralelisme dengan novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari tampak jelas, terutama dalam penekanan pada makam sebagai pusat keyakinan. "Kelir" membawa kita ke makam Ki Lanang Alas di gunung Candil, tempat pengawal prabu Brawijaya V yang menolak Islam dan memilih moksa atas permintaan Jenderal dari Jakarta, Kromo.
Saat diminta memberikan kritik, Sunu menyatakan bahwa karya tersebut masih kurang tajam dalam menggali makna Sabdo, Ki Anang Alas. Ia berpendapat bahwa penulis sebaiknya lebih merinci karakter Ki Anang Alas, mengingat sifat fiksi novel memungkinkan kebebasan interpretasi yang luas.
Kritiknya juga melibatkan aspek tata bahasa, dengan menyoroti penggunaan ejaan kata yang dianggap kurang sesuai dengan norma Bahasa Indonesia baku. Meskipun hal ini bisa diatasi oleh editor, Sunu tetap menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penggunaan bahasa.
Dari segi target pembaca, Sunu berpendapat bahwa karya ini mungkin tidak sesuai dengan selera anak milenial yang lebih cenderung menyukai drama Korea atau produksi asing. Dengan kritik-kritik ini, Sunu Wasono memberikan pandangan yang menarik terhadap kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh "Kelir."
Prasa, Kisah Pencarian Jati Diri Seorang Anak
Sama seperti sesi bedah novel Kelir, bedah novel "Prasa: Operasi Tanpa Nama" dimulai dengan pembacaan nukilan oleh Devie Matahari dengan mengambil bab 1 tentang Shama yang terdapat pada novel "Prasa". Dengan gaya bak pemain tearter, Devie berhasil memperagakan setiap isi dari novel yang dilafalkan.
Kali ini Isson Khairul, seorang jurnalis senior dan pemerhati sastra, memulai analisis novel dengan menyoroti dua tema utama, yaitu kejahatan kemanusiaan dan perjuangan seorang anak mencari asal usulnya. Ia menyoroti karakter Jenderal Probo dalam cerita, yang dianggap berbuat kejahatan kemanusiaan tetapi juga menunjukkan sisi manusiawi dengan menyelamatkan seorang bayi merah yang kemudian diangkat sebagai anaknya yang ketiga yang diberi nama Prasa.
Kemudian, kisah Prasa sendiri sebagai anak yang mencari identitasnya. Ini menjadi pusat narasi saat ia menyadari perbedaan dengan kakaknya dan akhirnya mengetahui bahwa ia bukan anak kandung Jenderal Probo. Prasa, meski tidak membenci ayah dan ibunya, sangat ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya. Namun, Jenderal Probo ingkar pada janjinya untuk mengungkapkan kebenaran setelah Prasa dewasa, yang membuatnya marah.
Isson Khairul berpendapat bahwa novel "Prasa" memiliki kecenderungan memberikan terlalu banyak fakta, sehingga pembaca merasa seperti diberondong dengan informasi. Ia menduga kemungkinan penulis novel ingin mengungkapkan fakta-fakta yang terjadi sebagai langkah untuk mengumpulkan ingatan kolektif yang perlu diselesaikan bersama dalam konteks kasus pelanggaran HAM.
Sesi Tanya Jawab
Selesai kedua novel dibedah, acara berlanjut ke sesi tanya jawab dari hadirin yang hadir kepada para narasumber. Salah satu yang menarik adalah pertaan tentang relevansi tema novel "Kelir" dengan jaman digitalisasi saat ini. Sunu Wasono lalu menjawab bahwa novel bertema budaya akan selalu menarik, meski jaman sudah bertambah modern. Sebagaimana tema horror yang selalu ramai peminat.
Interaksi tanya jawab berlangsung dengan dinamis dan menarik, di mana para peserta berusaha untuk mendalami secara menyeluruh tentang novel dan mengaitkannya dengan perkembangan zaman yang mengalami perubahan. Respon dari pembicara dan penulis cukup memuaskan. Terdapat perbedaan pendapat dalam memberikan jawaban yang menjadi tambahan keragaman diskusi.
Sang Novelis Menjawab
Meski berada di panggung bersama moderator dan narasumber, Om Yon tidak mengeluarkan sanggahan atau pernyataan atas pujian maupun kritik yang diterima. Ia seperti memberikan ruang diskusi selebar-lebarnya bagi para narasumber.
"Karya sastra dibaca sepuluh orang akan melahirkan 10 bahkan 11 tafsir. Karya fiksi adalah gambaran universal sebisa mungkin melampaui ruang dan waktu," - Yon Bayu Wahyono.
Kutipan tersebut menjadi salah satu jawaban Om Yon atas bedah dan diskusi yang telah berlangsung. Dari monolognya tersebut, ia juga tidak menanggapi keingintahuan hadirin tentang apakah Om Yon sebenarnya adalah seorang penganut kejawen atau bukan. Rasanya ia lebih suka membiarkan itu menjadi sebuah misteri yang terjawab.
Yang jelas, Om Yon merasa senang sebab mimpi agar karyanya dapat mengisi ruangan di pusat sastra meski pada bagian paling ujung, telah menjadi kenyataan. Yon mengungkapkan rasa terima kasih atas dukungan PDS dan semua pihak. Bagian paling menyentuh dan so sweet menurut saya yaitu saat kedua putrinya turut hadir untuk mendukung karya sang ayahanda tercinta. Mereka tampak bangga atas karya yang dilahirkan pada hari itu.
Simbolisasi Peluncuran Kedua Novel
Di akhir acara, sebagai simbolisasi peluncuran novel "Kelir" dan Prasa", kedua novel ini diserahkan kepada perwakilan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin. Selanjutnya kedua novel ini akan dapat dibaca oleh pengunjung perpustakaan.Â
Jumpa Teman-teman Kompasianer
Pada momen tersebut, teman-teman Kompasianer yang hadir menyempatkan diri untuk berfoto bersama yang punya acara, Yon Bayu Wahyono. Yang saya suka saat menghadiri acara Kompasianer adalah teman-teman Kompasianer yang selalu ramah dan bersahabat. Meskipun saya merupakan Kompasianer baru.Â
Momen ini sekaligus sebagai penyemangat saya untuk konsisten menulis dan menebar kebaikan melalui tulisan, baik di Kompasiana maupun di platform lain. Semangat dan sukses untuk karyanya, Om Yon!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H