Entah betul atau salah, kita semua mungkin sadar tapi menolak untuk terburu-buru mengakuinya. Di zaman sekarang lelucon dan tertawa artinya keputusasaan. Tidak ada warisan berharga yg tersisa saat ini selain tertawa. Meskipun ketawa kita tidak akan mengurangi korupsi dan menghentikan pengambilan kebijakan anti kebajikan, paling tidak Anda punya senyum di hari itu. Barangkali senyuman kita bisa 'menentramkan' hati mereka yg kalang kabut karena skandal "Ah, masyarakat sepertinya tidak tahu apa-apa " gumam mereka. Biarkan saja seperti itu. Izinkan mereka berpikir demikian.
Ketika mulai scrolling sosmed untuk mencari hal serius untuk ditertawakan, kita sedang menyerahkan diri kepada keputusasaan. Normalnya kita menertawakan sesuatu yg lucu bukan? Tapi di era sekarang memang berbeda. Memangnya apalagi yg bisa kita lakukan? Masa sih mereka yg menjabat tidak tau ada masyarakat yg kelaparan? Itu dulu deh. Rentetan persoalan rakyat banyak tapi kalau perkara perut bisa diatasi kemungkinan persolan lain juga bisa di selesaikan. Makan gratis? Ya, tapi akan lebih berguna jika kita menyebutnya sebagai makan bergizi. Persoalan perut tidak seperti isi bensin eceran yg langsung bisa jalan ketika tangkinya terpenuhi. Lebih kompleks dari sekedar menelan sesuap nasi putih. Voila, Anda jadi berenergi sepanjang hari. Tidak.
Apa yg harus saya masukkan kedalam tubuh, bagaimana memperolehnya, apa dampaknya bagi kesehatan, seberapa lama makanan minuman tersebut membantu saya untuk tetap fokus lagi produktif ? Apa lagi? Anda menyuruh kami yg sudah kewalahan mencari sesuap nasi untuk memikirkan itu semua? Hidup ini memang sulit dan akan selalu seperti itu adanya. Tapi siapa yg menyangka kalian akan se-zalim ini? Kok bisa kalian menikmati santapan hotel bintang 5 sambil cekikikan sementara rakyatmu ada yg gemetaran karena sesuap nasipun tak sanggup mereka jangkau? Masa sih liat anak-anak dengan pakain lusuh di pinggiran jalan dibawah terik matahari tidak menggetarkan hati kalian yg sedang berada di atas mobil mewah? Tidak.
Tidak ada larangan untuk menikmati hidup dan kerja keras kalian. Semua orang berhak bahagia dan menikmati dunia. Tapi mbok yao jangan berlebihan. Jangan dipertontonkan. Dada ini sesak rasanya betapa mudahnya uang kami dihabiskan untuk sesuatu yg sebenarnya tidak darurat. Sementara kami yg dibawah berusaha se-efisien mungkin mengelola keuangan yg saldonya pun 0 rupiah. Tau Anda cara mengelola uang yg tidak ada bagaimana? Tertawa. Ya. Buat kami tertawa dengan tindakan-tindakan kalian yg tidak mengandung gizi apapun didalamnya selain bakteri jahat yg namanya penderitaan. Kami terpaksa menjadi sosok yg keras karena sadar air mata tidak melegakan dahaga. Kami terpaksa tersenyum karena sadar tangispun tak lagi membawa iba. Kami terpaksa diam karena sadar kalian telah tuli. Kami terpaksa tertawa karena sadar kalian telah buta.
Matamu tak lagi bisa melihat betapa benar ada rakyatmu yg sengsara, telingamu tak lagi mendengar kritikan dari orang-orang yg berbaik hati, dan hatimu tertutup nikmatnya dihormati. Beruntunglah hari pembalasan itu ada. Andaikata neraka itu tidak ada maka sebaiknya kita protes kepada Tuhan. Suara itu tidak menempati ruang. Suara-suara itu baik lirih atau gemuruh akan selalu terdengar meskipun dipenjarakan dalam sebuah konsitusi. Kawal mereka dengan tertawa. Jangan tertawa untuk menghilangkan kesedihan. Tertawalah dalam amarah karena hal itu akan menuntut pembalasan.
Negara kita mengalami banyak persoalan mulai dari PHK, pengangguran yg semakin banyak, sulitnya mencari kerja, kelas menengah yg rentan, potensi meningkatnya angka kemiskinan, intervensi teknologi yg tak terbendung, persoalan mental yg kian marak, etika akademikus, penegakan hukum yg tidak adil dan masih banyak lainnya. Memang, tidak ada satupun negara yg bebas masalah. Namun, persoalan itu justru menjadi besar ketika kebebasan membicarakan masalah tersebut dihalangi.
Contoh pelarangan jurnalistik investigasi sebagai upaya menghalangi kita dari melihat persoalan itu sendiri. Apa susahnya sih Negarawan kita mengakui bahwa memang masalah kita banyak? Kenapa pemerintah seolah risih melakukan kolaborasi bersama masyarakat? Masalah itu bukan abu rokok yg hilang tersapu angin. Jika membicarakannya membuat gatal artinya persoalan itu memang ada.
Sebagai masyarakat kita tidak ingin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Kami selalu percaya orang-orang baik itu selalu tersisa bahkan dilingkaran setan sekalipun. Anda (pemerintah) tidak perlu membuktikan. Lakukan saja kewajibanmu dan penuhi hak kami maka kepercayaan itu akan bangkit dengan sendirinya. Kalian bukan pengacara yg selalu harus membuktikan bahwa kalian tidak bersalah. Salah itu wajar. Tapi tidak berusaha memperbaiki diri setelah kesalahan itu tersingkap adalah memalukan.
Pemimpin baru tidak lama lagi akan menjabat. Tugas-tugas pemerintahan akan diisi oleh orang-orang baru. Mari bersama-sama merenungkan kebaikan untuk bangsa. Jangan malu memperbaiki apa yg salah di masa lalu. Tidak ada yg menginginkan kerusuhan menjadi juru selamat. Kita hidup di tanah yg sama maka mari berbagi beban yg setara dan seimbang. Jangan semuanya dilimpahkan kepada kami yg tak berprivilese. Anda sekalian diberi Tuhan untuk menikmati itu maka jangan ambil lagi kesenangan kami yg sedikit itu.
Jangan buat kami sengsara dengan kebijakan yg diskriminatif. Jangan bungkam kami dengan cara yg superfisial. Jangan diamkan tertawan kami karena itulah cara kami menyampaikan uneg-uneg. Kami tertawa serius dan sebaiknya kalian tanggapi dengan serius. Ingat, tertawa dalam amarah akan menuntut pembalasan. Karma itu nyata. Selamat HUT Indonesia yg ke 79 semoga kesejahteraan terlimpahkan buat kita semua. Amin. Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H