International Tax and Investement Center (2016) menyatakan bahwa Indonesia merupakan Negara yang memiliki obyek cukai paling sedikit diantara seluruh negara ASEAN. Bandingkan dengan Brunei Darussalam yang memiliki 22 objek cukai termasuk MSG dan korek api, Thailand 21 objek, Laos 18 objek, Vietnam 16 objek, Kamboja 13 objek dan Filippina yg mengenakan cukai setidaknya terhadap 8 objek. Saat ini hanya ada 3 barang yang termasuk dalam objek cukai di Indonesia antara lain etanol, minuman alkohol dan produk tembakau.
Pada tahun 2008 ketika Undang-Undang Cukai 2007 disahkan, ada usulan untuk melakukan ekstensifikasi terhadap objek Barang Kena Cukai (BKC). BKC mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan objek pajak lainnya seperti konsumsinya yang perlu dikendalikan karena dapat menimbulkan efek buruk bagi kesehatan.Â
Cukai memiliki fungsi regurelend yang bisa mengendalikan pola konsumsi masyarakat yang kurang sehat agar terhindar dari eksternalitas negatif akibat konsumsi barang tertentu. Salah satu objek yang diusulkan untuk dikenakan cukai adalah minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).Â
WHO (2020) menyebutkan bahwa konsumsi gula berlebihan merupakan penyumbang utama obesitas, diabetes, dan kerusakan gigi. Indonesia menempati urutan ke 3 dalam konsumsi minuman berpemanis di Asia Tenggara yaitu sebesar 20,23 liter/orang (FK UGM, 2020).
Menteri keuangan Sri Mulyani pernah menyampaikan potensi penerimaan negara yang bisa mencapai Rp 6,25 triliun jika cukai MBDK diterapkan. Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih mangatakan bahwa pemberlakuan cukai akan menghasilkan tambahan pendapatan negara sebesar Rp 3.628,3 miliar per tahun (Kompas.id).Â
Studi CISDI menunjukkan cukai MBDK membantu negara menghemat beban ekonomi langsung dan tidak langsung akibat diabetes melitus tipe 2 (DMT2) hingga Rp 40,6 triliun. Health Trend 2024 menyebutkan bahwa tren biaya kesehatan Indonesia diprediksi akan terus tumbuh hingga 13% diatas proyeksi tren kesehatan global dan Asia.
Indonesia menduduki posisi ke 5 sebagai negara dengan penderita diabetes terbanyak di dunia disertai dengan prediksi peningkatan jumlah obesitas hingga meliputi 50% populasi penduduk Indonesia di tahun 2030 (Kemenkes, 2020; IDF, 2021). Menurut data dari Institute for Health Metrics and Evaluation diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi ke 3 di Indonesia.Â
Diabetes adalah gangguan metabolik yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit katastropik seperti jantung, stroke, dan kanker. Biaya pengobatan penyakit katastropik yang ditanggung BPJS Kesehatan tahun 2022 naik 34,3% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp 24,1 triliun.Â
Bourke&Veerman (2018) menunjukkan bahwa tarif cukai MBDK sebesar $ 0,30 (atau sekitar Rp 4.686) per liter dapat menurunkan angka insidensi diabetes, penyakit jantung iskemik, dan stroke secara signifikan dikalangan masyarakat berpendapatan tinggi.
Cukai Minuman Manis Dapat Membuat Kita Lebih Sehat
Permenkes No 30 Tahun 2013 menganjurkan kepada masyarakat untuk membatasi konsumsi gula per hari sebesar 10% dari total energi (200 kkal) atau setara dengan 4 sendok makan atau 50 gram. Namun, karena aturan tersebut bersifat himbauan dan tidak ada sanksi maka masih banyak masyarakat yang abai.Â
WHO (2016) merekomendasikan implementasi pajak pada minuman berpemanis sebagai salah satu upaya untuk menangani masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes. Studi CISDI menunjukkan bahwa cukai MBDK, yang setara dengan kenaikan harga jual sebesar 20%, dapat mencegah 756.103 kasus overweight dan obesitas dalam satu tahun, serta mencegah 3.095.643 kasus baru DMT2 dan mencegah 455.310 kematian dalam waktu 10 tahun.
Kebijakan cukai membuat Meksiko berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis sekitar 20% dan meningkatkan penjualan air kemasan sebesar 15,6% (Chalaoupka, 2019). Di Thailand terjadi peningkatan konsumsi minuman teh hijau kemasan dengan gula 0% dan menurunkan konsumsi MBDK sebesar 8,4%. Studi evaluasi di Filippina menemukan bahwa terjadi penurunan konsumsi MBDK akibat cukai hingga 17,7%.Â
Secara rata-rata kenaikan harga sebesar 20% diperkirakan dapat menurunkan konsumsi MBDK masyarakat sekitar 17,5% (CISDI, 2023). Saat ini lebih dari 50 negara telah menerapkan cukai MBDK dan terbukti mampu mengubah pola konsumsi masyarakat. Selain bukan kebutuhan pokok, minuman berpemanis tidak memberikan manfaat gizi dan memiliki banyak dampak kesehatan karena berkontribusi pada peningkatan berat badan, peningkatan risiko DMT2, penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya serta karies gigi.
Dalam penerapannya, cukai MBDK di Indonesia bisa menggunakan tarif spesifik (berjenjang berdasarkan kandungan gula) dengan rentang kurang dari 5g sampai lebih dari 15g gula per 100 ml. MBDK dengan gula 5-10g/100ml dikenakan tarif Rp 1.500 per liter, gula 10-15g/100ml dikenakan tarif Rp 3.000 per liter, dan kandungan gula >15g/100ml dikenakan tarif Rp 4.500 per liter.Â
Sebuah studi menujukkan bahwa penerapan cukai berjenjang >5mg/100ml berhasil mendorong reformulasi minuman manis dari 49% menjadi 15%. Â Terdapat konsensus bahwa tarif cukai harus minimal 20% agar bisa merubah perilaku masyarakat.
Kebijakan cukai adalah cost-effective dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Obat diabetes termasuk top 20 obat kronis berbiaya termahal. Pungutan cukai atas tujuan kesehatan ini ditujukan untuk menutupi biaya kesehatan dan sosial yang timbul akibat konsumsinya.Â
Cukai MBDK dapat dialokasikan untuk membiayai pengobatan penyakit katastopik yang setiap tahun terus mengalami peningkatan serta mendukung akses air misalnya keran air siap minum diruang publik. Cnossen (2022) menyebutkan bahwa khususnya di negara berkembang, cukai akan terus digunakan karena mudah dipungut dan tidak banyak mengakibatkan distorsi ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H