Setelah memaparkan definisi mengenai CSR, penulis mengambil salah satu contoh CSR dari perusahaan tambang yang sangat "viral" di berbagai media akhir-akhir ini, yaitu PT Freeport Indonesia. Mengambil kutipan dari website resmi PTFI, PTFI merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan. PTFI menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.Â
PTFI memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. Kompleks tambang milik kami di Grasberg merupakan salah satu penghasil tunggal tembaga dan emas terbesar di dunia, dan mengandung cadangan tembaga yang dapat diambil yang terbesar di dunia, selain cadangan tunggal emas terbesar di dunia. Grasberg berada di jantung suatu wilayah mineral yang sangat melimpah, di mana kegiatan eksplorasi yang berlanjut membuka peluang untuk terus menambah cadangan kami yang berusia panjang.Â
     PTFI banyak mengundang pertentangan, sikap kontra, dan protes karena 90,64% sahamnya dikuasai asing (Pratama, 2015). Namun dibalik semua itu, CSR yang dilakukan oleh PTFI mau diterima maupun tidak telah berkontribusi banyak terhadap pembangunan negeri ini.  Saya tidak terikat atau dibayar oleh PTFI. Disini saya hanya mencoba menggunakan logika dengan fair. Mari kita lihat satu per satu dampak positif kehadiran salah satu perusahaan tambang di Indonesia ini.
DIdataran tinggi, Ekosistem dataran tinggi terbentuk oleh kondisi-kondisi lingkungan yang ekstrem, yang mencakup suhu malam hari yang sangat rendah, radiasi matahari tinggi selama siang hari dengan periode fotosintesis yang pendek, kabut tebal, curah hujan tinggi, dan tanah yang miskin hara. Tanaman yang hidup di sini sangat istimewa; melewati evolusi untuk bertahan dalam kondisi hidup yang keras. Banyak di antara spesies ini, termasuk rumput lokal dan beberapa spesies rhododendron dan lumut, telah diketahui sesuai untuk dipakai dalam reklamasi terasering batuan penutup. Pada akhir tahun 2011, total tanah terganggu baru adalah 27 hektar.Â
Sepanjang 2011, lebih dari 60,1 hektar lahan terganggu dekat areal pertambangan di dataran tinggi telah melalui revegetasi sebagai bagian dari program reklamasi yang lebih berjangka panjang. PTFI memantau kinerja beragam teknik penanaman dan memodifikasi program-program untuk meningkatkan keberhasilan jangka panjang tanaman ini.
Sedangkan untuk dataran rendah, Hingga akhir 2011, lebih dari 171 spesies tanaman berhasil tumbuh pada lahan yang mengandung sirsat. Hal ini mencakup tanaman penutup jenis kacang-kacangan (legume) untuk pakan ternak; pepohonan asli seperti kasuarina, matoa, kayu putih (eucalyptus), dan kelapa; tanaman pertanian seperti nenas, melon, tebu, sagu, dan pisang; serta sayur-mayur dan sereal seperti cabe, timun, tomat, padi, jagung, kacang-kacangan, dan labu. Strategi lain dari reklamasi sirsat adalah membiarkan terjadinya suksesi ekologis alami (pertumbuhan kembali spesies asli secara alami) pada kawasan yang telah ditentukan.Â
Sebuah proyek penelitian independen tentang suksesi alami pada kawasan endapan sirsat menemukan bahwa, dalam kurun waktu beberapa tahun saja, lebih dari 500 spesies tanaman berhasil melakukan kolonisasi secara alami dan tumbuh dengan baik. Lahan baru yang terbentuk di daerah muara dari aliran sirsat dan sedimen alami yang lolos telah membentuk kolonisasi bakau secara alami. Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan spesies bakau, kepiting, udang, siput, kerang, ikan, dan cacing laut teridentifikasi di daerah-daerah koloni mangrove ini.Â