Mohon tunggu...
Fitriana
Fitriana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Law

Bismillah 😊

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sanksi Hukum Pidana Pembunuhan Bayi oleh Ibu Kandung dengan Dalih Baby Blues Sydrom

17 Agustus 2022   11:35 Diperbarui: 17 Agustus 2022   11:38 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penulis : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung), dan Fitriana (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung)

Baby Blues Sydrom merupakan sebuah perasaan sedih yang dialami oleh seorang perempuan pasca melahirkan anaknya, biasanya hal ini terjadi pada hari ke 3 sampai ke 14. 

Dimana hal ini berkaitan dengan kesehatan jiwa ibu akibat adanya perubahan hormon yang sering kali berubah-ubah. Hampir 80% perempuan setelah melahirkan anaknya mengalami keadaan baby blues sydrom. 

Seperti halnya di Indonesia sendiri dapat terjadi sekitar hampir 50-70% (lima puluh hingga tujuh puluh persen) yang dapat berlanjut menjadi postpartum depression dengan jumlah mulai dari 5% (lima persen) hingga lebih dari 25% (dua puluh lima persen) terjadi kepada ibu setelah melahirkan. 

Dimana kebanyakan masyarakat luas lainnya menganggap bahwa keadaan yang dialami oleh seorang ibu pasca melahirkan tersebut adalah gila, dan terlepas dari itu juga kurangnya pengetahuan bahwasannya seorang ibu yang mengalami gangguan jiwa pasca melahirkan yang melakukan tindak pidana kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan apakah dapat dipidanakan atau kah tidak.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, terdapat banyak kasus mengenai seorang ibu yang membunuh bayinya. Salah satu contoh kasusnya yaitu putusan nomor 296/Pid.B/2018/PN.Kwg dimana terdapat seorang ibu yang bernama Sinta Noviana melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap anak kandungnya sendiri berusia 1 tahun 7 bulan yang masih menyusui bernama Kalista Geysa Oktavia dengan cara mencubit tubuh serta mendorong anak hingga terbentur rak piring yang mana mengakibatkan anaknya meninggal dunia.

Awalnya Sinta Noviana diduga mengidap Baby Blues Syndrome setelah melahirkan anaknya. Sehingga ditengah proses persidangan dilakukan pemeriksaan kejiwaan untuk memastikan apakah Sinta mengidap Baby Blues Syndrome ataukah tidak? Dimana hal ini banyak sekali dialami oleh ibu pasca melahirkan, atau mungkin ia memiliki penyakit kesehatan jiwa lainnya. 

Di dalam persidangan pun juga dihadirkan ahli oleh Penuntut Umum yaitu dokter forensik yang bertugas di RSUD Karawang, dimana kemudian menjelaskan bahwa pada kelopak mata bayi Kalista terdapat luka lama yang belum sembuh, selanjutnya pada bagian dada, perut, tangan, serta lipatan paha terdapat luka yang jika dilihat pola luka tersebut sudah lama dan terlihat bahwa tindakan penganiayaan tersebut dilakukan secara berulang-ulang kali. 

Tak hanya itu pula di dalam persidangan tersebut juga turut dihadirkan pula ahli kejiwaan yang sebelumnya melakukan tes psikologi dengan Terdakwa, dan ahli menerangkan bahwasannya tingkat kecerdasan Terdakwa dibawah rata-rata sehingga tidak cukup mampu dalam menemukan pemecahan masalah atas permasalahan sederhana yang dihadapi, serta Terdakwa tidak memiliki kematangan emosi dan kurang adanya penerimaan dengan cenderung menyalahkan orang lain atas kegagalan yang dialami. 

Namun Terdakwa tidak memiliki gangguan jiwa Postpartum Depression, sehingga mampu bertanggung jawab terhadap sikap dan perilaku yang Terdakwa lakukan. 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 ayat (2), yang menyebutkan bahwasannya setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal tersebut memiliki arti bahwa anak adalah subyek hukum yang berhak mendapat perlindungan konstitusional dari kekerasan manapun baik dalam lingkup rumah tangga maupun masyarakat luas.

Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 15 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan Dalam hal ini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.

Sejatinya hingga saat ini bagi ibu yang melakukan tindak pidana dengan dalih baby blues sydrom belum bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, hal ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 44 KUHP, bahwasannya bagi pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat. Mengingat kembali bahwasannya baby blues sydrom ini merupakan suatu sydrom yang berhubungan dengan kesehatan jiwa bagi si ibu, yang mana seorang ibu melakukan tindak pidana, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya nampak baik-baik saja.

Nah, tugas untuk membuktikan adanya gangguan jiwanya cacat sebagai pembenaran terhadap ketidakmampuan bertanggungjawab seorang pelaku tindak pidana itu berada di tangan hakim, yang biasanya dibantu dengan seorang ahli kejiwaan (psikater). 

Jika ditemukan alasan pelaku tindak pidana dengan dalih baby blues sydrom, maka bagi seorang hakim bisa melepaskan pertanggungjawaban pidananya yang biasanya disebut dengan Theory of pointless punishment yaitu tidak ada manfaatnya menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang memiliki penyakit jiwa, karena hal tersebut disamping tidak menimbulkan efek jera juga tidak menimbulkan detterent effect (bagi pelaku yang mengalami cacat jiwa lainnya).  

Tetapi dalam hal ini pelaku seorang ibu yang melakukan tindak pidana, tetapi karena cacat jiwanya, maka pengadilan bisa memiliki wewenang untuk memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa untuk memulihkan kembali kondisi jiwa bagi sang ibu. 

Tetapi jika seorang ibu terbukti melakukan tindak pidana terhadap anaknya yang mengakibatkan meninggal dunia dalam keadaan sadar dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, maka berkaitan dengan sanksi pidana dalam perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 80 ayat 3 dan 4 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yaitu : pelaku dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun/atau denda paling banyak tiga miliar rupiah.

Tak bisa dipungkiri dengan banyaknya kasus yang dialami oleh seorang ibu mengalami baby blues sydrom, tentunya menimbulkan beberapa dampak yang sangat signifikan. Pertama, seorang ibu akan merasakan tidak adanya keterikatan batin dengan sang bayi, bahkan timbul rasa tidak suka pada sang bayi, sehingga jika nanti sudah beranjak dewasa anak menjadi cenderung susah diatur. 

Kedua, baby blues sydrom yang dialami oleh seorang ibu dapat mempengaruhi perkembangan pada sang anak, misalnya anak cenderung menjadi pribadi yang penakut, ragu-ragu atau merasa takut dalam mengambil tantangan baru.

Dengan hal ini pihak keluarga terutama kepada para suami yang menjadi kepala rumah tangga bagi keluarganya haruslah ikut berkontribusi dalam memberikan kenyamanan dan kasih sayang sepenuh hati kepada sang istri. Misalnya dengan membantu menjaga bayinya dengan bergantian, artinya tidak semua hal dilimpahkan kepada sang istri. 

Bisa menjadi pendengar yang baik mengenai keluh kesah yang dirasakan istrinya, sehingga hal ini dapat menjadikan perasaan sang ibu menjadi merasa lega dan tidak ada yang harus disimpan secara sendirian. Sehingga dalam hal ini mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai perempuan yang baru saja menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya untuk terhindar dengan masalah baby blues sydrom.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun