Sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 15 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan Dalam hal ini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.
Sejatinya hingga saat ini bagi ibu yang melakukan tindak pidana dengan dalih baby blues sydrom belum bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, hal ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 44 KUHP, bahwasannya bagi pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat. Mengingat kembali bahwasannya baby blues sydrom ini merupakan suatu sydrom yang berhubungan dengan kesehatan jiwa bagi si ibu, yang mana seorang ibu melakukan tindak pidana, tetapi dalam kehidupan sehari-harinya nampak baik-baik saja.
Nah, tugas untuk membuktikan adanya gangguan jiwanya cacat sebagai pembenaran terhadap ketidakmampuan bertanggungjawab seorang pelaku tindak pidana itu berada di tangan hakim, yang biasanya dibantu dengan seorang ahli kejiwaan (psikater).Â
Jika ditemukan alasan pelaku tindak pidana dengan dalih baby blues sydrom, maka bagi seorang hakim bisa melepaskan pertanggungjawaban pidananya yang biasanya disebut dengan Theory of pointless punishment yaitu tidak ada manfaatnya menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang memiliki penyakit jiwa, karena hal tersebut disamping tidak menimbulkan efek jera juga tidak menimbulkan detterent effect (bagi pelaku yang mengalami cacat jiwa lainnya). Â
Tetapi dalam hal ini pelaku seorang ibu yang melakukan tindak pidana, tetapi karena cacat jiwanya, maka pengadilan bisa memiliki wewenang untuk memasukkan ke dalam rumah sakit jiwa untuk memulihkan kembali kondisi jiwa bagi sang ibu.Â
Tetapi jika seorang ibu terbukti melakukan tindak pidana terhadap anaknya yang mengakibatkan meninggal dunia dalam keadaan sadar dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, maka berkaitan dengan sanksi pidana dalam perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 80 ayat 3 dan 4 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yaitu : pelaku dapat dipidana penjara paling lama 15 tahun/atau denda paling banyak tiga miliar rupiah.
Tak bisa dipungkiri dengan banyaknya kasus yang dialami oleh seorang ibu mengalami baby blues sydrom, tentunya menimbulkan beberapa dampak yang sangat signifikan. Pertama, seorang ibu akan merasakan tidak adanya keterikatan batin dengan sang bayi, bahkan timbul rasa tidak suka pada sang bayi, sehingga jika nanti sudah beranjak dewasa anak menjadi cenderung susah diatur.Â
Kedua, baby blues sydrom yang dialami oleh seorang ibu dapat mempengaruhi perkembangan pada sang anak, misalnya anak cenderung menjadi pribadi yang penakut, ragu-ragu atau merasa takut dalam mengambil tantangan baru.
Dengan hal ini pihak keluarga terutama kepada para suami yang menjadi kepala rumah tangga bagi keluarganya haruslah ikut berkontribusi dalam memberikan kenyamanan dan kasih sayang sepenuh hati kepada sang istri. Misalnya dengan membantu menjaga bayinya dengan bergantian, artinya tidak semua hal dilimpahkan kepada sang istri.Â
Bisa menjadi pendengar yang baik mengenai keluh kesah yang dirasakan istrinya, sehingga hal ini dapat menjadikan perasaan sang ibu menjadi merasa lega dan tidak ada yang harus disimpan secara sendirian. Sehingga dalam hal ini mampu memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai perempuan yang baru saja menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya untuk terhindar dengan masalah baby blues sydrom.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H