Mohon tunggu...
Fitri Amaliah
Fitri Amaliah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hi! ✨

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pilkada Banten di Masa Pandemi, Haruskah?

4 November 2020   18:22 Diperbarui: 4 November 2020   18:33 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Fitri Amaliah*

Tercatat sampai hari ini (04/11/2020) pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Berdasarkan data dari covid19.go.id kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia saat ini sudah mencapai 421,731 dengan total 54,190 kasus aktif. 

Di Banten sendiri saat ini mencapai total 9,726 kasus positif. Walaupun masih dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, Indonesia akan tetap melaksanakan pilkada atau pemilihan kepala daerah serentak yang diikuti oleh 270 daerah. 

Ada beberapa daerah di Banten yang juga mengikuti pilkada yaitu Cilegon, Tangerang Selatan, Serang, dan Pandeglang. Pilkada serentak ini rencananya akan berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020.

KPU memang sudah mengeluarkan peraturan tentang pelaksanaan pilkada serentak dimasa pandemi ini, termasuk di dalamnya protokol kesehatan yang harus dipatuhi. Akan tetapi, baru awal masa pendaftaran pilkada 4 sampai 6 September, sudah banyak kepala daerah yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Bahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sampai memberikan teguran keras bagi para kepala daerah tersebut.

Menteri Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan bahwa alasan masih dilaksanakannya pilkada ini demi mempertahankan dan menjalankan hak konstitusional yaitu hak memilih dan dipilih. Akan tetapi, dalam pilkada kali ini sepertinya hak dipilih lah yang paling diutamakan. Karena faktanya banyak masyarakat yang masih menyangsikan keputusan tentang tetap melaksanakan pilkada serentak ini.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia hanya ada 20 persen sampai 46 persen  responden yang bersedia hadir ke tempat pemungutan suara pada 9 Desember nanti. Artinya, masih banyak orang yang memilih untuk tidak ikut serta dalam pilkada serentak tahun ini. Mereka yang memilih tidak hadir khawatir akan terjadi penularan virus saat pemungutan suara berlangsung yang artinya bisa menjadikan pilkada ini sebagai klaster baru peningkatan Covid-19.

Survei lain yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Bakrie Jakarta, menunjukkan hasil 58 persen responden memilih pilkada serentak ini ditunda, penolakan ini muncul masih dengan alasan yang sama seperti survei sebelumnya yaitu khawatir pilkada akan memperluas penyebaran Covid-19.

Selain itu, rasanya kurang tepat apabila terjadi pergantian kepemimpinan di masa pandemi seperti ini. Dengan adanya pergantian pemimpin kemungkinan akan ada perubahan kebijakan dari segi apapun, karena setiap paslon pasti memiliki visi dan misinya masing-masing, walaupun sebenarnya perintah paling tinggi memang berada di tangan pemerintahan pusat, tetapi tetap saja pemerintahan daerah sebagai pelaksana memiliki peran yang penting terutama dalam masa pandemi seperti ini. 

Apabila terjadi pergantian pemimpin maka harus ada penyesuaian kembali bagi pemimpin yang baru −apabila yang terpilih bukan paslon pertahanan− dari kebijakan-kebijakan pemimpin yang sebelumnya.

Penundaan pemilu bukanlah hal yang mustahil. Di Bolivia contohnya, negara ini menunda pemilu dari yang rencananya dilakukan pada bulan Mei, tetapi setelah dua kali penundaan akhirnya baru terlaksana pada bulan Oktober. Bukan hanya Bolivia yang melakukan penundaan dalam pemilu, Selandia Baru juga melakukan hal yang sama. 

Negara yang dianggap sukses dalam mengatasi Covid-19 ini melakukan penundaan pemilu sekitar satu bulan, awalnya pemilu akan dilakukan pada bulan September dan ditunda akhirnya terlaksana pada bulan Oktober.

Dari dua negara tersebut kita bisa melihat bahwa pemilu atau pilkada bukanlah suatu keharusan yang mendesak untuk dilaksanakan dalam masa pandemi seperti ini, yang harus menjadi prioritas utama saat ini adalah kesehatan bukan hanya kekuasaan dalam hal politik. Indonesia sendiri pun sudah pernah melakukan penundaan pemilu dalam waktu yang lama, jadi seharusnya untuk melakukannya kembali bukanlah hal  sulit.

Dari segi anggaran yang dikeluarkan pun akan menjadi lebih banyak apabila tetap melaksanakan pilkada di masa pandemi seperti ini, karena lebih banyak hal yang harus dipersiapkan demi menghindari persebaran virus. Semula anggaran yang akan dikeluarkan dari kementrian keuangan adalah Rp15,23 triliun yang kemudian naik menjadi Rp20,46 triliun.

Dilansir dari news.detik.com dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Abdul Gaffar juga menyetujui bahwa pilkada ini harus ditunda, bahkan kalau perlu tunda sampai Juni atau September tahun depan setidaknya sampai Covid-19 ini jelas urusannya. Dalam situasi seperti ini masyarakat sudah tidak mementingkan hal politik lagi. 

Di Indonesia sendiri apabila menunda pilkada maka itu tidak akan menjadi masalah karena suda diatur dalam undang-undang tidak akan terjadi kevakuman pemerintahan karena akan ada pejabat sementara. Sebenarnya banyak pihak yang setuju pilkada ini ditunda, tetapi apa boleh buat yang berkuasa sudah bersuara.

Benarkah pilkada ini dilaksanakan semata-mata untuk melaksanakan hak memilih dan dipilih? atau justru ada kepentingan pihak lain yang ingin memanfaatkan situasi?.

*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun