DKI Jakarta adalah ibukota dan pusat pemerintahan negara  Indonesia. DKI Jakarta juga biasa disebut sebagai kota metropolitan karena pusat perekonomian berada di DKI Jakarta. Berbagai macam perusahaan nasional maupun multinasional memiliki kantor pusat di DKI Jakarta. Hal ini yang menjadi daya tarik bagi masyarakat daerah yang berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari nafkah maupun kegiatan lainnya. Selain itu, sudah banyak dijumpai masyarakat pendatang yang menetap dalam suatu wilayah di DKI Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta melaporkan bahwa pada tahun 2021 jumlah penduduk di DKI Jakarta mencapai 10,6 juta jiwa dimana terjadi peningkatan sebesar 47,5 ribu jiwa jika dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 10,5 juta jiwa. Kepadatan penduduk di DKI Jakarta terbagi menjadi beberapa wilayah yakni Jakarta Timur sebesar 3.05 juta jiwa, Jakarta Barat sebesar 2,44 juta jiwa, Jakarta Selatan sebesar 2,23 juta jiwa, Jakarta Utara sebesar 1,78 juta jiwa, Jakarta Pusat sebesar 1,06 juta jiwa, dan Kepulauan Seribu sebesar 28,24 ribu jiwa. Hal inilah yang menjadikan DKI Jakarta sebagai salah satu provinsi dengan penduduk terpadat di Indonesia. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi tentunya diikuti pula dengan aktivitas antropogenik dengan mobilitas yang tinggi. Penduduk di DKI Jakarta yang padat tersebut otomatis diikuti dengan kegiatan manusia yang bervariasi. Sebagian besar penduduk di DKI Jakarta menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum dalam menunjang kegiatan sehari-hari. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta pada tahun 2020 terdapat sekitar 20,2 juta kendaraan yang berlalu lalang di DKI Jakarta. Aktivitas kendaraan bermotor ini menimbulkan berbagai dampak bagi lingkungan salah satunya pencemaran udara.Â
Menurut PP No. 41 Tahun 1999 pencemaran udara didefinisikan sebagai masuk atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain kedalam udara ambien sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam penggunaannya dan akhirnya tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan fungsinya. Dilansir dari situs IQAir pada Rabu (6/7/2022) siang, DKI Jakarta mencatatkan angka 151 dengan keterangan tidak sehat dimana polutan utama yakni PM 2.5 mencatat konsentrasi sebesar 56 µg/m³ yang mana 11.4 kali lipat diatas nilai panduan kualitas udara tahunan WHO. Hal ini menjadikan DKI Jakarta peringkat 3 ibukota dengan kualitas terburuk di dunia setelah Lahore, Pakistan dan Lima, Peru. Penyebab pencemaran udara di DKI Jakarta adalah emisi dari penggunaan kendaran bermotor, aktivitas PLTU, dan aktivitas industri. Buangan asap kendaraan bermotor, PLTU, dan aktivitas industri mengandung berbagai senyawa berbahaya seperti karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), natrium monoksida (NO), timbal (Pb) dan lain sebagainya. Masyarakat DKI Jakarta apabila terpapar senyawa tersebut secara terus menerus akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan seperti gangguan saluran pernapasan, ISPA, dan kanker paru-paru. Kurangnya ruang terbuka hijau di DKI Jakarta semakin menjadikan pencemaran udara di DKI Jakarta tidak terkendali.
Parameter Kualitas Udara
Untuk mengukur dan mengetahui kualitas udara berbagai wilayah di Indonesia, pada tahun 2020 silam KLHK mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU merupakan angka tanpa satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang juga didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. ISPU sebagai bentuk hasil pemantauan mutu udara dari stasiun pemantauan otomatis kontinyu berguna sebagai informasi untuk disampaikan kepada masyarakat agar lebih mudah untuk dipahami. Pada peraturan terbaru ini, parameter yang diukur dalam perhitungan ISPU dilakukan pada PM10, PM2.5, NO2, SO2, CO, O3, dan HC.Â
Batas untuk Indeks Kualitas Udara dapat dikatakan aman berdasarkan ketetapan WHO berada pada angka 0-50, dan 0-10.0 µg/m³ untuk kandungan polutan PM2.5. Berdasarkan hasil pemantauan dari situs IQAir, selama satu bulan belakangan (6 Juni - 6 Juli 2022) tercatat bahwa  indeks kualitas udara harian di Jakarta sebagian besar dikategorikan sebagai wilayah dengan kualitas udara yang tidak sehat. Selama rentang waktu tersebut, tercatat bahwa pada tanggal 24 Juni 2022 merupakan hari di mana indeks kualitas udara Jakarta berada pada angka paling tinggi yaitu 166 yang tergolong tidak sehat, di mana PM2.5 merupakan polutan utama yakni mencapai 84,5 µg/m³.Â
Penyebab Buruknya Kualitas Udara Jakarta
Tentu terdapat faktor yang menyebabkan tingginya tingkat polusi di Jakarta ini, terutama untuk parameter PM2.5. Dari hasil observasi yang dilakukan oleh Vital Strategies yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta teridentifikasi sumber kegiatan utama yang menyebabkan tingginya konsentrasi polutan udara (PM2.5) di DKI Jakarta. Pengujian dilakukan dengan menghitung konsentrasi PM2.5 dalam dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan, dengan tiga titik lokasi yaitu Kebon Jeruk, Gelora Bung Karno (GBK), dan Lubang Buaya. Diketahui bahwa terdapat beberapa kegiatan yang menyumbang polusi di Jakarta, diantaranya adalah:
- Transportasi: asap knalpot kendaraan, yang mana kendaraan berbahan bakar bensin dan solar menyumbang 32%–57% terhadap tingkat PM2.5. Dapat dikatakan bahwa sektor transportasi merupakan sektor penyumbang polutan terbesar di Jakarta.
- Sumber alam: garam laut dan partikel tanah tersuspensi. Garam laut, yaitu terbentuknya emisi laut alami yang diakibatkan oleh angin di permukaan laut. Garam laut berkontribusi atas PM2.5 sebesar 1%-22%. Sedangkan partikel tanah tersuspensi menyumbang 10%-18% PM2.5
- Aerosol sekunder yang terbentuk ketika polutan gas awal (seperti sulfur oksida dan nitrogen oksida) mengalami reaksi kimia di atmosfer turut menyumbang atas PM2.5 sebesar 1%-16
- Pembakaran batu bara berkontribusi atas PM2.5 sebesar 14% di Lubang Buaya. Walaupun Jakarta tidak memiliki PLTU batu bara, namun berdasarkan pemetaan yang dilakukan Walhi bersama Greenpeace pada tahun 2017 lalu, tercatat setidaknya terdapat 10 PLTU berkontribusi atas polusi di Jakarta, yaitu PLTU Lestari Banten Energi, PLTU Suralaya, PLTU Labuan, PLTU Merak Power Station, PLTU Lontar, PLTU Lontar Exp, PLTU Babelan, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II, dan PLTU Pelabuhan Ratu.
- Aktivitas konstruksi di bagian barat kota, yaitu Kebon Jeruk yang menyumbang polusi PM2.5 sebesar 13%
- Pembakaran terbuka, biomassa atau bahan bakar lainnya: 1%-11% di pinggiran kota (Kebon Jeruk dan Lubang Buaya)
- Debu jalanan, <1%–6% ditemukan di (GBK) dan bagian timur kota (Lubang Buaya), serta 9% di bagian barat kota (Kebon Jeruk)
Upaya yang Telah DilakukanÂ
Segudang permasalahan kualitas udara di Jakarta, mendorong para pihak terkait untuk memperbaiki kualitas udara yang lebih baik. Menjawab tantangan tersebut, Menurut Mukhtar, dkk (2018), solusi yang dilakukan Jakarta dalam hal memperbaiki kualitas udara berpedoman pada Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dengan dasar tersebut, upaya yang sudah dilakukan Jakarta dalam mengelola pencemaran udara yaitu :
- Membuat dan menerapkan program Jak Lingko, yang memberikan pelayanan transportasi yang ramah lingkungan dengan kualifikasi seperti, tidak ada angkutan umum yang berusia di atas sepuluh tahun, lulus uji emisi beroperasi di jalan, dan menyelesaikan peremajaan seluruh angkutan umum.
- Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat Jakarta dalam pengendalian kualitas udara yang terdiri atas perluasan kebijakan ganjil genap, peningkatan tarif parkir di wilayah yang terlayani angkutan umum massal, dan penerapan kebijakan congestion pricing yang dikaitkan pada pengendalian kualitas udara.
- Memberikan ketentuan uji emisi lebih ketat pada jenis kendaraan pribadi serta memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dari sepuluh tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2050.
- Mengalihkan cara bertransportasi masyarakat Jakarta ke transportasi umum, serta membangun dan meningkatkan kenyamanan fasilitas bagi pejalan kaki dengan mempercepat pembangunan fasilitas pejalan kaki di 25 ruas jalan protokol, arteri dan penghubung angkutan umum massal.
- Pengendalian terhadap sumber penghasilan polutan tidak bergerak yang melebihi nilai maksimum baku mutu emisi di wilayah Jakarta lebih diperketat, khususnya pada cerobong industri aktif yang menghasilkan polutan.
- Optimalisasi penghijauan pada sarana dan prasarana publik dengan mengadakan tanaman berdaya serap polutan tinggi, dan melaksanakan prinsip green building pada seluruh gedung melalui penerapan insentif dan disinsentif.
- Menginstalasi solar panel rooftop pada seluruh gedung sekolah, gedung pemerintah daerah, dan fasilitas kesehatan milik pemerintah daerah untuk merintis peralihan ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
- Penyusunan Grand Design Pengendalian Pencemaran Udara (GDPPU) dalam hal pengurangan polutan di Jakarta, yang akan terealisasikan pada tahun 2030.
Selain Jakarta, pencemaran udara juga menjadi isu nasional. Dalam hal ini, Negara Indonesia membuat regulasi dimana mengatur segala aktivitas yang menghasilkan emisi udara (Pramudi, dkk, 2020). Peraturan yang mengatur pengendalian kualitas udara dan pencemaran udara meliputi :
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
- PP No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
- PP No. 22 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- PERMEN LHK No. 13 Tahun 2021 tentang Sistem Informasi Pemantauan Emisi Industri Secara Terus Menerus
- PERMEN LHK No. 11 Tahun 2021 tentang Baku Mutu Emisi Mesin Dengan Pembakaran Dalam
- PERMEN LHK No. 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Persetujuan Teknis Dan Surat Kelayakan Operasional Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan
- PERMEN LHK No. 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara.
Hambatan yang Dihadapi dan Solusi atas Permasalahan tersebut
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki berbagai tantangan dalam mengatasi polusi udara dalam pengelolaan kualitas udara perkotaan. Hal ini dikarenakan negara berkembang seperti Indonesia yang menjadi prioritas pembangunan adalah perekonomiannya. Oleh sebab itu sektor manufaktur seperti industri dan transportasi bisa meningkat secara drastis yang berdampak pada meningkatnya polusi udara yang ditimbulkan oleh emisi termasuk bahan bakar fosil.
Menurut Ririn Radiawati Kusuma, Indonesia Country Coordinator for Environmental Health at Vital Strategies mengungkapkan bahwa sebenarnya tantangan pada negara berkembang dapat diimbangi dengan pembangunan yang ramah lingkungan seperti penerapan green economy, mengontrol cerobong pabrik industri penyumbang emisi, dan kontrol terhadap transportasi di perkotaan. Kemudian, tantangan umum di negara berkembang dalam mengatasi polusi udara yaitu kualitas ambien udara masih jauh untuk memenuhi standar kualitas ambien udara yang aman untuk kesehatan. Meningkatnya polusi udara yang modern seperti kendaraan pribadi atau pun umum menjadi tantangan tersendiri, begitu juga dengan sumber pencemar tradisional seperti penggunaan kayu bakar untuk keperluan memasak atau pembakaran sampah oleh masyarakat maupun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Namun, pembakaran sampah di Jakarta telah mengalami penurunan karena terdapat larangan dari Pemerintah Kota Jakarta.Â
Selanjutnya yaitu aktivitas pengendalian prioritas yang tidak terlalu linear dengan sumber terbesar. Saat ini telah banyak riset yang membahas terkait dengan polusi udara, sehingga untuk aksi yang dilakukan sesuai dengan data riset yang telah ada. Pengukuran sumber emisi terdapat dua pendekatan, yaitu top down dan bottom up. Nantinya dapat ditemukan sumber polusi terbesar sehingga dalam melakukan pengelolaan kualitas udara perkotaan dapat lebih fokus. Terdapat tantangan lain dalam pengelolaan kualitas udara perkotaan di Jakarta, yaitu aksi tingkat kota yang terbatas. Pergerakan polutan yang bergantung pada arah angin, curah hujan, kelembaban dan lainnya yang memungkinkan polusi yang berasal dari luar masuk ke wilayah Jakarta.Â
Selain itu, kompleksitas, yaitu merupakan biaya untuk pemantauan dan modelling limited capacity for enforcement juga menjadi salah satu tantangannya. Terakhir, yaitu fokus yang belum jelas dalam pengelolaan kualitas udara dan polusi udara perkotaan yang terjadi musiman, serta penegakan hukum yang terbatas. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh negara berkembang dalam mengatasi polusi udara yaitu bekerja sama dengan berbagai stakeholder termasuk akademisi dan juga NGO (Non Government Organization), ditambah tagline Jakarta Kota Kolaborasi.Â
Kebijakan pengelolaan kualitas udara perkotaan di Jakarta hendaknya mengacu pada peraturan yang dibuat bersama oleh instansi terkait. Dengan demikian, peraturan tersebut dapat digunakan sebagai acuan bersama. Selain itu, terdapat pengembangan rencana strategis yang hendaknya dilakukan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh instansi terkait. Selain itu perlu dilakukan upaya yang secara kontinyu atau berkelanjutan yang mampu memobilisasi sumber pendanaan program melalui sistem pembiayaan mandiri dan alternatif sumber dana lain.Â
Penulis: Edbert Lintang P.N.S, Fitri Alicia, Haidar Abdu Z, dan Rifvanda Helmi.
Daftar Pustaka:
IQAir. 2022. Diakses pada 6 Juli 2022 dari https://www.iqair.com/indonesia/jakartaÂ
Mukhtar, R., Aprishanty, R., & Fauzy, R. (2018). Perhitungan Indeks Kualitas Udara DKI Jakarta Menggunakan Berbagai Baku Mutu. Ecolab, 12(1), 32-41.
Pramudi, A., Nadiroh, N., & Samadi, S. (2020). KETAATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI INDUSTRI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. In SINASIS (Seminar Nasional Sains), 1(1), 1-11.
Viral Strategies. Diakses pada 6 Juli 2022 dari https://www.vitalstrategies.org/resources/identifying-the-main-sources-of-air-pollution-in-jakarta-a-source-apportionment-study/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H