Mohon tunggu...
Fitri Alfia Ardi
Fitri Alfia Ardi Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswi Pascasarjana

Nganjuk pada bulan Januari, 24 tahun lalu...

Selanjutnya

Tutup

Diary

Semua (Perempuan) Dirayakan

9 Maret 2024   14:38 Diperbarui: 9 Maret 2024   14:41 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Pribadi diolah melalui Canva

Semua (Perempuan) Dirayakan

Oleh: Fitri Alfia Ardi

Tanggal 8 Maret lalu, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional 2024. Unggahan demi unggahan ku jelajahi, melihat semangat dan asa seluruh perempuan di dunia membumbung tinggi bagai asap dari mesin-mesin produksi yang mengepul naik perlahan keluar dari layar gadgetku.

Ya, perempuan adalah makhluk yang kerap dianggap sebagai second gender atau jenis kelamin kedua setelah laki-laki. Perannya kerap dikesampingkan, keberadaannya kerap disubordinasi atau disisihkan dari pergaulan hidup bermasyarakat. Padahal tanpa perempuan, mesin-mesinmu itu akan mati tak beroperasi.

Ya, perempuan menjalankan dengan teliti tanpa kenal lelah setiap tugas yang diembannya di pabrik-pabrik yang mulai menjajah wilayah kami, kota kecil yang damai namun masih memiliki lahan kosong persawahan yang luas. Itulah alasan pemilik kuasa mendirikan tempat produksi di wilayah kami. Tenaga perempuan disini sangat diperlukan, namun dibeli lebih murah dibandingkan dengan kota-kota besar yang upah minimumnya jelas timpang.

Pertimbangan itu meluncur deras dari mulut salah satu pemilik kuasa yang mengatakan bahwa "Para pekerja dari kota ini yang bekerja di pabrik-pabrik kota besar sangatlah rajin sehingga kami dirikan pula pabrik disini". Ya, kalian ingin mengeluarkan modal sedikit dengan untung melimpah bukan?. Keadaan ini jangan sampai melahirkan Marsinah baru yang menuntut hak kenaikan upah namun harus berakhir tragis. Cukup, cukup sudah pahlawan perempuan kita berjuang menuntut haknya hingga akhir hayat.

Perih hati kala mengingat akulah salah satu di antara para perempuan yang pernah berebut posisi menjadi tenaga kerja di sebuah tempat produksi. Melihat penawaran yang rendah, ku putuskan untuk minggat dari tempat itu sebelum memulai semuanya. Aku tidak terlalu peduli, pun tidak ada penyesalan karena aku memanggul ijazah sarjana berharap mampu meraih kesempatan lain. Tapi bagaimana dengan perempuan selain aku? Apakah mereka memiliki pilihan lain?.

Aku menyadari diriku kini tengah terduduk dan mengingat sebuah makalah yang pernah ku buat beberapa pekan lalu. Dalam makalah tersebut ku curahkan sebuah sejarah perlawanan kaum perempuan terhadap budaya patriarki yang telah mengakar ribuan tahun di berbagai penjuru dunia. Patriarki adalah musuh besar kaum perempuan yang agaknya sulit dikalahkan, namun bukan berarti mustahil.

Budaya patriarki tumbuh liar terutama dalam kehidupan kami, masyarakat jawa yang mengagungkan peran laki-laki baik dalam pekerjaan maupun kehidupan berumah tangga. Laki-laki memegang peran sentral, sedangkan perempuan memegang peran domestik yang biasa disebut dengan 3M: masak, macak (berdandan), dan manak (melahirkan). Tidak, tidak... Itu hanya keyakinan kuno nan konservatif masyarakat kita yang kini sudah luntur!.

Yap, gerakan kaum perempuan telah perlahan tapi pasti melunturkan nilai-nilai patriarki dalam masyarakat kita. Aku jadi teringat sebuah perjuangan tahun 1960 dimana gerakan kesetaraan gelombang dua mulai digaungkan. Dan berlanjut pada dekade-dekade berikutnya menjadi sebuah gerakan feminis yang nyata.

Meski pergolakan perjuangan kaum perempuan terlihat nyata di negara Barat, bukan berarti negara Timur ingin mempertahankan budaya patriarki yang menggerus batin kaum perempuan. Di negara-negara Timur terutama dalam penduduk yang mayoritas Muslim, mulai membuka perluasan pemaknaan terhadap firman Allah yang tertuang dalam baris-baris ayat Al-Quran yang selama ini disalahartikan dan dianggap sebagai dasar pelanggengan budaya patriarki.

Memang, firman Allah tidak bisa dibantah, namun teknik penafsiran yang beragam dan perbedaan latar belakang ulama yang menafsirkan juga akan menghasilkan tafsir yang berbeda. Sedikit yang ku tahu, akibat kesadaran itu muncullah gerakan feminis di kalangan muslim. Gerakan tersebut terpecah menjadi dua, yaitu kelompok konservatif (memperjuangkan kemerdekaan perempuan namun masih menganggap tabu peran perempuan dalam ranah publik) dan kelompok moderat (memperjuangkan kemerdekaan perempuan di segala bidang, seperti pendidikan, politik, pemerintahan, dan keluarga. Dengan kata lain, kelompok ini mengadopsi gerakan ala Barat namun tetap bersandar pada nilai-nilai Islami).

Di Indonesia sendiri perjuangan kaum perempuan dalam meraih perlindungan serta penghargaan hak asasi manusia telah sampailah pada pengukuhan norma-norma ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan resmi sebagai hukum negara. Ini bukan berarti menyuguhkan masalah domestik dan urusan privasi menjadi konsumsi masyarakat, bukan. Tapi peraturan seperti Undang-Undang PKDRT dan Undang-Undang TPKS merupakan langkah nyata perlindungan menyeluruh terhadap perempuan.

2024 pascapemilu, semua menggantungkan asa pada pemerintahan baru yang akan lahir kembali. Kesejahteraan telah diwanti-wanti sebagai salah satu perwujudan dari program kerja lima tahun ke depan. Peran perempuan harus semakin tampak agar tidak menjadi sia-sia perjuangan pembebasan dari belenggu patriarki yang telah diusahakan selama ini.

Aku bersandar pada kursi yang tak terasa telah menopang badanku selama hampir tiga puluh menit. Aku masih termangu, asyik dalam lamunanku menyusun materi kesetaraan gender yang akan aku ajarkan kepada generasi muda yang ada tepat di hadapanku. Meskipun mereka masih berusia belasan tahun, tapi perlu ditanamkan pemahaman kesetaraan gender meski dalam lingkup kecil seperti keluarga dan sekolah.

Antusias begitu terasa ketika ku ukir sebuah nama di papan tulis, yaitu R.A. Kartini sebagai contoh lakon pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi gender di era kolonialisme. Kagum dan takjub menjalar di sekujur tubuhku menyaksikan perjuangannya yang mampu mengantarkan perempuan, termasuk aku untuk dapat mengecap pendidikan tinggi, yang mana dahulu hanya bisa dirasakan oleh kaum ningrat dan laki-laki.

Kini keadaan sudah banyak berubah, Indonesia telah merdeka sejak 78 tahun silam. Kita tak perlu lagi mengangkat bambu runcing melawan penjajah atau bersembunyi di bungker bawah tanah untuk menyelamatkan diri. Kita hanya perlu mengisi kemerdekaan dengan hal-hal bermanfaat. Dan sekali lagi, perempuan telah merdeka, silahkan rayakan kebebasan kalian dengan usaha-usaha untuk memajukan peradaban bangsa, mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tetap menjaga nilai luhur serta moral yang ada dalam masyarakat.

Selamat Hari Perempuan Internasional 2024!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun