Childfree akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat lantaran pernyataan youtuber Gita Savitri yangmana dia dan suami memutuskan untuk tidak memiliki anak.
Childfree bila diterjemahkan secara langsung yaitu "bebas anak", atau keadaan dimana sebuah pasangan memutuskan secara sengaja untuk tidak memiliki anak dalam kehidupan pernikahannya (voluntary childlessness).
Sejauh ini belum ditemukan data statistik terkait jumlah pasangan yang memutuskan childfree, karena childfree selalu mengalami perkembangan dan ini memungkinkan para peneliti masih melakukan penelitian secara mendalam sehingga belum dapat dirumuskan dalam sebuah laporan yang dapat dijadikan pedoman.
Namun terdapat beragam alasan bagi sebuah pasangan untuk memutuskan childfree. Dikutip dari Wikipedia, secara garis besar ada beberapa alasan. Yang pertama yaitu keputusan pribadi dan sosial.
Dalam hal ini sebuah pasangan mungkin hanya enggan memiliki anak, atau ada alasan yang lebih spesifik untuk itu, seperti pengalaman traumatik dari orangtua mereka, melihat kebahagiaan pasangan lain yang tidak punya anak, tanggung jawab yang besar saat mengurus anak, ketakutan akan kehamilan, dan alasan keharmonisan pasangan bila tanpa "gangguan" dari kehadiran anak.
Kedua, alasan dari segi psikologi dan medis. Seperti perubahan pada tubuh pasca kehamilan dan melahirkan, masalah kesehatan, dan ketidaksiapan secara mental untuk memiliki anak (merasa terlalu muda/terlalu tua).
Ketiga, alasan dari segi ekonomi dan budaya. Semua setuju, bahwa ekonomi adalah permasalahan utama bagi sebuah keluarga. Selain itu, dengan bertambahnya anggota keluarga maka pengeluaran serta pajak yang harus dibayar juga bertambah.
Kemudian secara budaya, dalam perkembangan zaman wanita semakin memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta pemahaman akan kebebasan juga meningkat. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan pemikiran akan kebebasan seseorang mampu melakukan apapun.Â
Dalam hal ini wanita dapat lebih bebas mengembangkan karir dan kegiatan sosial lainnya tanpa memandang peran gender (seperti anggapan bahwa kodrat wanita adalah melahirkan).
Keempat, alasan dari segi pandangan/pemikiran. Bahwa tanpa memiliki anak sebuah pasangan dapat lebih berhemat. Selain itu muncul pertanyaan dalam diri mereka terkait apa perlunya generasi penerus.Â
Selain itu ada ketakutan akan kesengsaraan yang akan dihadapi anak nantinya, serta penolakan terhadap pandangan masyarakat yang mengharuskan memiliki anak, dan lain sebagainya.
Dan yang kelima adalah alasan dari segi lingkungan. Dengan memiliki anak, mereka berpikir bahwa itu dapat mempengaruhi lingkungan karena mendukung pertambahan jumlah populasi hingga menyebabkan overpopulation. Dengan banyaknya manusia, tingkat polusi juga akan bertambah.
Menyambung alasan-alasan di atas, saya berpendapat bahwa mungkin desakan orangtua dan keluarga serta keadaan lingkungan untuk cepat-cepat memiliki anak inilah yang membuat pasangan menjadi enggan. (Bayangkan ketika pasangan baru ditanya sana sini "kapan punya anak?" pasti akan ada rasa tidak nyaman).
Lalu yang menjadi perhatian adalah apa bedanya keputusan childfree dengan infertil (kemandulan)?
Hal ini jelas berbeda. Dimana childfree merupakan keputusan yang dibuat secara sadar. Sedangkan infertil adalah keadaan dimana sebuah pasangan belum/tidak dapat memiliki keturunan biologis (kandung) karena beberapa alasan tertentu, seperti alasan kesehatan, faktor genetis dan lingkungan (involuntary childlessness).
Melihat keadaan ini perlu pertimbangan yang matang dalam mengambil keputusan untuk childfree. Di lain sisi childfree memang kebebasan mutlak yang dimiliki pasangan untuk memilih.
Namun di sisi lain perlu disadari bahwa budaya dan masyarakat kita tidak bisa serta merta menerima sebuah sistem/pemikiran berbeda dari kebiasaan yang hidup di masyarakat sejak berabad-abad lamanya.
Terkadang kemandulan yang bukan kehendak pribadi saja masih mendapat stigma negatif dalam masyarakat. Pun resiko yang akan ditanggung juga harus menjadi pertimbangan.
Memilih untuk childfree apakah akan selamanya tidak punya anak? Dan apakah dimungkinkan bila di kemudian hari salah seorang dari pasangan menginginkan seorang anak kandung?(terlepas dari mengadopsi anak). Dan apakah bila dalam keadaan tersebut tubuh masih bisa "memproduksi"?.
Karena menurut Halodoc usia produktif wanita ada pada rentang usia pertengahan 20an, 26-34 tahun. Di usia 26 tahun wanita dinilai sudah siap secara mental dan fisik. Dan bagi pria, usia yang tepat adalah antara 25-35 tahun. Meski pria dapat menghasilkan sperma hingga usia lanjut, namun di usia ini kualitas sperma yang dihasilkan lebih baik.
Artinya semakin bertambah usia semakin kecil pula peluang untuk memiliki keturunan. Pun resiko kehamilan dan melahirkan juga semakin besar.
Kalaupun teknologi di bidang kedokteran sudah berkembang pesat untuk membantu pasangan lanjut usia untuk memiliki anak, apakah kita bisa menjangkau teknologi tersebut?
Namun kembali lagi, seseorang yang memutuskan untuk childfree saya yakin sudah berpikir ribuan kali untuk itu.
Di sisi lain pasangan yang memutuskan untuk memiliki anak (baik kandung ataupun adopsi), juga harus memikirkan matang-matang terkait nasib anak ini kelak.
Pun harus kita sadari bahwa seorang anak hadir di dunia ini bukan karena kemauannya sendiri, melainkan para orangtua yang "memanggil" mereka untuk turut merasakan kehidupan di dunia.
Oleh karena itu, anak bukan hanya sekedar generasi penerus, namun juga generasi yang diharapkan dapat lebih baik dari kita serta membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Sekian untaian dari saya, mohon maaf bila ada salah kata. Tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai pertimbangan semata serta tidak memihak ataupun menolak keputusan manapun, karena keputusan ada di tangan masing-masing.
Terimakasih, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H