8. Merupakan kegiatan yang berkelanjutan
Siklus dalam supervisi klinis pada umumnya meliputi 3 tahap yakni Pra-observasi, Observasi dan Pasca-observasi. Proses tindak lanjut yang meliputi refleksi, perencanaan pengembangan diri dan pengembangan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berpihak pada murid.
Seorang supervisor dengan paradigma berpikir seorang Coach akan senantiasa menjadi mitra pengembangan diri para guru dan rekan sejawatnya demi mencapai tujuan pembelajaran yang berpihak pada murid. Percakapan-percakapan antara supervisor dan para guru senantiasa memberdayakan sehingga setiap guru dapat menemukan potensi dan meningkatkan kompetensi yang ada pada setiap individu. Supervisi akademik menjadi bagian dalam perjalanan seorang pendidik menuju tujuan pembelajaran yang berpihak pada murid dan membawa setiap murid mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Sumber : Modul CGP
Refleksi Pembelajaran Modul 2.3
Pada Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik selaras dengan salah satu Peran Guru Penggerak. Menjadi coach bagi guru lain. Setelah mempelajari coaching akan melakukan atau mengimplementasikan di sekolah. Dalam menjalankan peran menjadi coach bagi guru lain, terutama yang terkait dengan peningkatan kualitas pembelajaran bagi murid di sekolah, Guru harus berdaya dalam menemani dan menuntun rekan sejawatnya itu untuk menelaah proses belajar mereka sendiri. Belajar keterampilan coaching, memberdayakan diri melalui refleksi atas hasil pengalaman praktik-praktik profesional sendiri, Â harus dapat mengambil pembelajaran, memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam untuk mengakses keterampilan metakognitif ketika melihat dan mengevaluasi proses berpikirnya sendiri terkait belajar, pencapaian tujuan, dan pemecahan masalah. Sebagai coach harus lincah berpindah-pindah dari pemikiran pengembangan rekan sejawat pada level individu dan level anggota komunitas pendidik di sekolah.
Setelah saya belajar materi coaching ini,saya sudah mencoba melakukan praktek sebagai coach, saya merasa tertantang bagaimana bisa menggali pengalaman dalam mengatasi masalah dan membuat pertanyaan berbobot yang dapat membangkitkan pengetahuan coachee saya tanpa berusaha memberikan arahan. Saya juga belajar menahan diri untuk tidak menjudgment, mengasumsikan serta mengasosiasikan ketika coachee berpendapat. Untuk permasalahan ini saya bertanya pada diri saya sendiri,apa yang bisa saya lakukan agar emosi saya tetap terkontrol. Menurut saya disini lah keterampilan sosial emosional yang saya dapat di modul 2.2 diuji pemahamannya. Saya harus mampu mengolah emosi , keterampilan kesadaran diri, pengelolaan diri dan keterampilan berelasi perlu diterapkan ketika saya menjadi coach di kelas .
Selama pembelajaran, saya sudah merasa mampu dalam menahan diri saya untuk tidak menjudgment ketika siswa saya berpendapat. Saya berikan mereka kebebasan berpendapat ketika saya mengajukan pertanyaan, tentu dengan pengaturan kesempatan berpendapat agar tidak mengganggu ketertiban di kelas. Saya merasa berhasil dalam menerapkan keterampilan sosial emosional . Saya juga selalu berusaha menjadi pendengar yang baik bagi rekan sejawat saya ketika mereka berkeluh kesah yang sedikit banyak dapat melepaskan beban mereka. Dari obrolan santai ini terlahir rencana bagaimana rekan berusaha mengatasi masalah yang dihadapinya, dan tentu saja saya tetap menerapkan 3 keterampilan coaching yang sudah saya pelajari.
Keterkaitan coaching dengan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran social dan emosi
Keterampilan coaching dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran berdiferensiasi. Misalnya, coach dapat membantu guru untuk:
Memahami kebutuhan belajar siswa: Coach dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk membantu guru untuk memahami apa yang siswa ketahui, apa yang mereka butuhkan untuk belajar, dan bagaimana mereka belajar.