Mohon tunggu...
Fitria Abdullah
Fitria Abdullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Saya adalah seorang mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Saya memiliki hobi menulis sebuah karya, baru-baru ini saya mencoba hal baru untuk menulis artikel opini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hambatan Komunikasi Kesehatan dan Pelanggaran HAM pada Penyintas Kekerasan Seksual dari Kelompok LGBTQ

16 Desember 2024   20:00 Diperbarui: 16 Desember 2024   20:08 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surabaya - Kekerasan seksual merupakan masalah serius yang terus berkembang dan dapat terwujud dalam berbagai bentuk, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terus meningkat, mencapai 2.228 kasus pada tahun 2022. Kekerasan seksual dapat dialami oleh siapapun tanpa memandang gender maupun sosial termasuk penyintas dari komunitas LGBTQ. Berbagai penelitian telah mendokumentasikan bahwa seringkali korban kejahatan seksual mengalami dampak psikologis yang mendalam, termasuk trauma, kecemasan, dan depresi. Dalam hal ini, pendekatan komunikasi yang inklusif, sensitif, dan berbasis hak asasi manusia berperan penting dalam mendukung penyintas kekerasan seksual dengan menawarkan lingkungan yang aman dan mendukung. Tetapi pendekatan komunikasi tidaklah semudah itu terutama bagi penyintas kekerasan seksual yang berasal dari komunitas LGBTQ, terdapat hambatan yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi antara korban dengan tenaga kesehatan.

Hambatan Komunikasi Kesehatan

Salah satu hambatan utama yang dihadapi oleh penyintas LGBTQ yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan tenaga kesehatan adalah mereka merasa tidak nyaman atau takut untuk mengungkapkan identitas gender atau orientasi seksual mereka karena khawatir akan dihakimi, di tolak, atau bahkan dilaporkan. Ketakutan dan rasa tidak nyaman dapat menghambat tenaga kesehatan untuk memberikan diagnosis yang tepat dan perawatan yang sesuai. Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa 89,3% individu LGBTQ pernah mengalami diskriminasi, dengan kekerasan seksual mencapai 62,2%. Dapat dilihat dari data tersebut, tentu saja itu memberikan dampak traumatis pada korban, hingga menyebabkan mereka tidak berani untuk berkomunikasi dan justru menghambat penyembuhan mereka. 

Selain itu, tenaga kesehatan sendiri seringkali kurang memiliki pengetahuan dan sensivitas terhadap isu-isu LGBTQ. Kurangnya pelatihan dalam bidang gender dan seksualitas membuat mereka kesulitan dalam memberikan layanan yang ramah dan inklusif. Akibatnya, penyintas LGBTQ seringkali merasa tidak didengarkan, tidak dihargai, dan tidak mendapatkan perawatan yang berkualitas. 

Hambatan komunikasi kesehatan yang dihadapi oleh penyintas LGBTQ merupakan pelanggaran besar terhadap beberapa hak asasi manusia. Salah satunya adalah hak atas privasi, yang sering dilanggar ketika identitas penyintas LGBTQ terungkap tanpa izin mereka. Pelanggaran seperti itu dapat mengekspos penyintas pada risiko tambahan, seperti isolasi sosial, diskriminasi, bahkan cedera fisik, yang semuanya akan merusak martabat dan otonomi mereka. Selain itu, hak atas layanan kesehatan juga sering diabaikan. Kurangnya akses ke perawatan kesehatan yang memadai tidak hanya memperburuk trauma penyintas, tetapi juga menunjukkan pengabaian kebutuhan kesehatan spesifik mereka.

Upaya untuk Mengatasi Masalah

Untuk mengatasi hambatan tersebut penting untuk menerapkan model komunikasi kesehatan yang inklusif dan berbasis hak asasi manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan penyintas LGBTQ sekaligus membongkar hambatan diskriminatif. Partisipasi aktif kelompok LGBTQ juga sangat penting guna memastikan bahwa suara mereka dan pengalaman mereka dapat membentuk kebijakan dan praktik yang relevan dengan kebutuhan mereka. Kebijakan inklusif oleh pemerintah sangat penting, mengamanatkan non-diskriminasi dalam layanan kesehatan dan meminta pertanggungjawaban lembaga.

Pemerintah harus menerapkan peraturan inklusif yang melarang diskriminasi dalam layanan kesehatan dan meminta pertanggungjawaban lembaga untuk memberikan perawatan yang adil. Bersama-sama, pendekatan ini mewakili strategi holistic untuk mengembangkan sistem komunikasi kesehatan yang melindungi hak-hak dan kesejahteraan penyintas LGBTQ. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk menerapkan model komunikasi kesehatan komprehensif berbasis hak asasi manusia yang mendorong komunitas LGBTQ menuju pemberdayaan sosial dan pembuatan kebijakan. Kebijakan perawatan kesehatan pemerintah yang diskriminatif tidak dapat dihindari untuk gagasan untuk memastikan penyediaan perawatan, perlindungan, dan kesetaraan hak kepada penyintas kekerasan seksual. Melalui langkah-langkah ini, pengasuh dan kesehatan penyintas dapat berkomunikasi lebih baik dan juga didukung dengan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun