Mohon tunggu...
Fitria FauzianaUlfi
Fitria FauzianaUlfi Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswi

saya suka olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia

8 Maret 2023   10:42 Diperbarui: 8 Maret 2023   14:02 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul         : Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia
Penulis    :Qodariyah Berkah
Penerbit  : Perkumpulan Fata Institute -- Fins
Terbit       : 2022
Cetakan   : Agustus 2022

Buku berjudul "Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia" ini bertujuan untuk memaparkan sejarah pelembagaan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional. Pembahasan meliputi peran Busthanul Arifin sebagai tokoh yang memiliki peran dan kontribusi dalam pelembagaan syariat Islam di Indonesia. sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, baik dari segi hukum struktural maupun materiil. Perundang-undangan syariat Islam menjadi hukum nasional tidak lepas dari politik hukum, pendekatan yang dilakukan harus persuasif dan tidak konfrontatif, seperti yang dilakukan oleh Busthanul Arifin dengan meyakinkan pemerintah bahwa penerapan syariat Islam merupakan bagian dari pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi. Republik Indonesia. 1945.
Busthanul Arifin telah menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan dan pelembagaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Implikasi pemikiran Busthanul Arifin dalam legislasi hukum perdata Islam di Indonesia adalah pembentukan Undang-Undang Peradilan Agama sebagai sarana penegakan hukum Islam di Indonesia. Sebagai upaya reformasi Peradilan Agama lahirlah Kompilasi Hukum Islam, UU Pengelolaan Zakat, UU Wakaf dan UU Perbankan Syariah sebagai sumber hukum material di Peradilan Agama. Peradilan Agama yang diprakarsai oleh Busthanul Arifin telah menjadi bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Keberadaan Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, khususnya dalam menegakkan pelaksanaan syariat Islam yang secara yuridis formal.

Sejarah Legislasi Hukum Perdata Islam di Indonesia
 Sejarah Perundang-undangan Hukum Perdata Islam di Indonesia, Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 kedudukan Peradilan Agama dikukuhkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957. Lama setelah itu muncul beberapa rancangan undang-undang, antara lain: UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tahun 1991, melalui Inpres No. 1 Tahun 1991, diundangkan Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan, waris, wakaf, infak, dan sedekah. Di bidang ekonomi, kebijakan politik di Indonesia untuk pertama kali didukung oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperbolehkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6 huruf m). Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara tegas menyebutkan istilah bank berdasarkan "prinsip syariah". Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan lainnya.
Dalam rangka pembangunan hukum nasional, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan tiga sistem hukum yang ada (living law) di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, Islam dan Barat (Belanda) sebagai bahan baku. Gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dipahami sebagai yurisprudensi Indonesia oleh Busthanul Arifin didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Pertama, pertimbangan penerapan hukum Islam di Indonesia antara lain harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. ; Kedua, pertimbangan persepsi yang tidak seragam tentang kehendak syari'ah dan telah menyebabkan antara lain ketidakseragaman dalam menentukan apa yang disebut hukum Islam, kurang jelasnya bagaimana menjalankan syari'at Islam (tanfiziyah). ). ), dan akibat jangka panjangnya adalah tidak dapat menggunakan sarana hukum. -jalan dan alat-alat yang tertuang dalam UUD 1945 dan undang-undang lainnya; Ketiga, pertimbangan historis, dalam sejarah Islam, dua kali di tiga negara, hukum Islam diundangkan sebagai rancangan undang-undang negara.
 Gagasan Busthanul Arifin disepakati, untuk itu dibentuk Tim Pelaksana Proyek yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI. No.07/KMA/1985 dan N0.25 Tahun 1985 tertanggal 25 Maret 1985. Lahirnya KHI tidak terlepas dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI erat kaitannya dengan upaya keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diselimuti suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian upaya pengembangan Peradilan Agama.

Biografi Bustanul Arifin
Biografi Bustanul Arifin, Bustanul Arifin adalah seorang ahli hukum Islam yang sudah 26 tahun menjadi Hakim Agung dengan jabatan terakhir di MA sebagai Ketua Muda Bidang Lingkungan Peradilan Agama. Setelah pensiun dari Mahkamah Agung, pada tahun 1995 Busthanul Arifin mengambil bagian sebagai Penasihat Menteri Agama Bidang Hukum. Busthanul Arifin lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada 2 Juni 1929, sebagai anak terakhir dari enam bersaudara dari pasangan Sutan dan Kana Gelar Andaran Maharajo. Di Minangkabau, surau tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dan transformasi ilmu agama. Selanjutnya, surau memiliki fungsi sebagai tempat mentransformasikan nilai-nilai kebaikan dan keberanian kepada anak-anak. Mungkin karena itu, meski masih remaja, Busthanul Arifin diperlakukan seperti orang dewasa. Arifin mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti jejak orang tuanya dengan masuk tarekat. Oleh karena itu, ia menyelesaikan sekolah menengah pertama pada tahun 1948.
Busthanul tidak langsung mendaftar ke SMA di Bukit Tinggi. Setelah lulus pada tahun 1951, ia berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UGM (waktu itu bernama Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik). Lulus dari Fakultas Hukum pada akhir tahun 1955, Busthanul meniti karir sebagai hakim di Semarang. Busthanul menjalin hubungan dekat dengan mantan Perdana Menteri Republik Indonesia dan Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia, Muhammad Natsir (1908-1993), dalam berkomunikasi dengan ulama dan tokoh agama. .Peranan dan kiprah Busthanul Arifin dalam pelembagaan hukum Islam di Indonesia, antara lain, ketika menjabat sebagai sekretaris PP IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) aktif sebagai konseptor bab tentang kekuasaan kehakiman dalam konstitusi dibuat oleh Majelis Konstituante. Konsep ini didukung oleh ulama, pejabat Departemen Agama, dan Ketua MA R.33/M. Pada tahun 1982 Busthanul diangkat menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung R. I Bidang Lingkungan Peradilan Agama.
 Setelah dua puluh tahun memunculkan pemikiran tentang peningkatan kewibawaan dan kekuasaan Peradilan Agama, dan setelah Peradilan Agama menjadi aparatur kekuasaan yang setara dengan peradilan lainnya (sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman), Busthanul diangkat sebagai ketua Panitia Penyusun. RUU Peradilan Agama. Busthanul diangkat sebagai Ketua Proyek Pengembangan Hukum Islam Melalui Fikih (dengan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tertanggal 21 Maret 1985).
Bustanul arifin dan peta perjalanan Perundang-undangan Hukum Perdata Islam di Indonesia,
sebuah fakta sejarah bahwa Peradilan Agama sudah ada sejak tahun 1882. Namun sejalan dengan kebijakan politik hukum kolonial Belanda, Peradilan Agama dibuat tidak seperti peradilan di Indonesia. makna, seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Sumpah ini diucapkan di depan hakim yang memimpin sidang dan dilakukan di bawah sumpah ketua Pengadilan Agama setempat. Yang menjadi keresahan Busthanul adalah ketika dirinya dan rombongan PN datang disambut secara berlebihan oleh ketua PA. Menurut Busthanul, sikap tersebut mirip dengan yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, karena ada anggapan bahwa Busthanul adalah hakim Landraad (pengadilan zaman Belanda). Kemudian, saat hendak dilantik sebagai Tuada Uldilag bersama para ketua muda lainnya di Mahkamah Agung, Busthanul kembali mengalami peristiwa yang menunjukkan kuatnya warisan kolonialisme Belanda terhadap Pengadilan Agama.
Ketika pada tahun 1956 ia dan kawan-kawan dari Ikatan Ahli Hukum Indonesia (IKAHI) bertemu dengan Burhanuddin Harahap, Perdana Menteri RI yang juga tokoh Masyumi saat itu untuk menjelaskan konsep IKAHI tentang peningkatan Kekuasaan Kehakiman yang meliputi Peradilan Agama, Burhanuddin Harahap malah menjawab, ''...yang penting sekarang negara ini dinyatakan dalam UUD sebagai Negara Islam, hal lain seperti Mahkamah Konstitusi otomatis akan Islami. Rekayasa politik hukum Belanda. Sikap Hazairin digambarkan Lev sebagai arogan terhadap Pengadilan Agama, tidak jauh berbeda dengan para ahli hukum modern lainnya. Perjalanan panjang pengesahan UU Peradilan Agama merupakan hasil dari pertentangan berbagai kepentingan politik dalam penerapan hukum Islam di IIndonesia
Hasil wawancara tersebut membuat Kementerian Agama, Kementerian Kehakiman dan Mahkamah Agung bertekad untuk segera mengupayakan lahirnya UU Peradilan Agama. Namun, belajar dari pengalaman proses pengesahan RUU Peradilan Agama yang sulit dan memakan waktu lama, Busthanul Arifin sepakat bahwa cukup disetujui melalui INPRES saja agar prosesnya cepat. Oleh karena itu, pengaruh politik hukum pemerintah Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama, setelah kemerdekaan yang dicapai bangsa Indonesia, pengaruh tersebut sangat sulit untuk dihilangkan begitu saja.


Busthanul merasa umat Islam masih membutuhkan ketentuan baku yang bisa dijadikan acuan bagi hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, selama ini umat Islam Indonesia, termasuk para hakim di Pengadilan Agama berpedoman pada kitab-kitab fikih klasik, khususnya mazhab Syafi`i, seringkali kehilangan relevansinya dengan konteks zaman dan tempat di Indonesia. Upaya dan pemikiran untuk membuat kompilasi hukum Islam merupakan kelanjutan logis dari penyelesaian penyatuan sistem peradilan menurut UUD 1945, yaitu UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, UU Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Pengadilan Tata Usaha Negara. UU Peradilan Militer. 1950 (pembaruan sedang dalam persiapan). Terlepas dari perjuangan menghasilkan RUU PA dan KHI, Busthanul Arifin terus menyumbangkan pemikiran untuk legislasi hukum di Indonesia meski di usia senja dan memasuki usia pensiun.
Perjuangan sekecil apapun tetap dilakukan, misalnya menitipkan gagasan dan ketidaksetujuan terhadap isi pasal-pasal RUU yang sedang dibahas di DPR, melalui ketua partai, pengurus partai politik berbasis Islam atau anggota DPR. DPR KHI merupakan upaya melengkapi Peradilan Agama dengan materi hukum. Seperti dipaparkan di atas, Busthanul melihat selama ini umat Islam khususnya di Indonesia cenderung menyamakan syari'ah dengan fiqh. Padahal, fikih mengajak ulama kepada syari'at itu sendiri, yang sifatnya sangat relatif dan tidak mengikat. Untuk menerapkan ketentuan syari'at, umat Islam Indonesia harus mampu merumuskan fiqh yang berwawasan keindonesiaan, yang tidak selalu harus sejalan dengan ketentuan fiqh masa lalu pada masa mazhab. pendeta. sesuai konteks Indonesia.
Selain itu, menurut Busthanul, kebutuhan kodifikasi hukum Islam sebenarnya merupakan hal yang wajar bagi para ahli hukum. Menurut Busthanul, setidaknya ada dua hal yang ingin dicapai dengan KHI ini, yakni untuk kepastian hukum dan penyamaan persepsi antara hukum perdata yang kita kenal dengan hukum Islam. Yang agak istimewa dari perumusan Kompilasi Hukum Islam ini barangkali adalah keterlibatan dan keterlibatan ulama-ulama Islam terkemuka Indonesia, yang sangat menentukan keberhasilan KHI. Memang sejak awal para ulama terlibat dalam perumusan KHI ini, karena Busthanul berpendapat bahwa semua kegiatan yang berkaitan dengan umat Islam tidak akan berhasil tanpa keterlibatan para ulama.
Kedudukan Busthanul Arifin dalam Peta Perjalanan Legislasi Hukum Islam di Indonesia Apa yang diperjuangkan Busthanul dalam legislasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional merupakan perjalanan panjang dalam sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sebelum Belanda datang menjajah Nusantara, di kerajaan-kerajaan Nusantara hukum Islam sudah berjalan dengan baik, Belanda sendiri mengakui hal tersebut ketika Van den Berg mengembangkan teori Receptio in Complexu, bahwa Islam Nusantara secara otomatis melekat. membawa mereka untuk mengikuti hukum Islam. Di sisi lain, di kalangan sebagian umat Islam sendiri, bahkan di kalangan ulama, ada pandangan keliru yang menganggap hukum suci Islam bersumber dari nalar fikih klasik dan abad pertengahan. Menurutnya, umat Islam Indonesia dapat mengadopsi ketentuan-ketentuan fikih hasil ijtihad yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, sehingga fikih tidak menjadi benda asing di masyarakat Indonesia dan tidak diperlakukan sebagai barang antik. Dia menyatakan bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan setelah UUD 1945 disahkan, semua peraturan Belanda berdasarkan teori Receptie tidak berlaku lagi, karena semangatnya tidak sesuai dengan semangat UUD 1945.
Teori Receptie harus keluar dari sistem hukum Indonesia, karena tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Begitu juga dengan murid Hazairin, Sayuti Thalib, yang membalikkan Teori Receptie dan mengatakan bahwa syariat Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia. Busthanul merupakan salah satu mata rantai yang mengusahakan agar hukum Islam benar-benar berpijak pada masyarakat Islam Indonesia dan menjadi bagian dari unsur terpenting dalam pembentukan hukum nasional. Oleh karena itu, upaya yang mutlak diperlukan adalah meyakinkan masyarakat bahwa hukum Islam yang diterapkan di Indonesia sudah sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, bukan hukum Islam yang terkandung dalam kitab-kitab fikih abad pertengahan yang masih berorientasi pada bahasa Arab. Oleh karena itu, hukum Islam yang diundangkan dan hendak diteruskan penerapannya dalam masyarakat Indonesia merupakan hasil akulturasi, akomodasi bahkan sampai batas tertentu asimilasi dengan tradisi dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Di sisi lain, ketika hukum Islam telah mengalami proses pengesahan dalam peraturan perundang-undangan dalam penyusunan undang-undang Indonesia, sosialisasi perlu dilakukan agar tidak ada lagi perbedaan praktik di kalangan umat Islam.
Selama ini mungkin masih ada dikotomi di benak sebagian umat Islam antara hukum fikih yang merupakan hukum negara dan hukum fikih para ulama sebelumnya. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjamin tertibnya perkawinan bagi masyarakat muslim.


Hukum Madzab Indonesia
Busthanul terobsesi menjadikan hukum Islam, yang bukan fikih klasik, sebagai bagian integral dari hukum yang berlaku di masyarakat. Mereka tidak membedakan antara hukum Islam dan fikih. Busthanul menegaskan, selama dua bidang hukum ini tidak diperjelas, maka pemahaman hukum Islam niscaya akan sia-sia, karena akan menimbulkan kerancuan pemahaman. Perbedaan antara kedua istilah hukum itulah yang sebagian besar membuat sulit untuk berbicara banyak tentang hukum Islam dan bahkan tentang hukum nasional, yang hingga kini masih belum jelas. Oleh karena itu, sumber utama Syariah bagi umat Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan masa lalu, dimana syariat Islam hanya disebarkan secara lisan, dari guru ke murid, atau dari tokoh masyarakat sederhana kepada orang yang dipimpinnya. Di sinilah timbul kebutuhan untuk membakukan terminologi atau bahasa hukum, yang tentunya tidak lepas dari bahasa nasional suatu bangsa, yang dalam hal kita di Indonesia adalah bahasa Indonesia. Namun, bagi bangsa Indonesia yang memiliki bahasa ibu sendiri, apalagi sebagai masyarakat majemuk, mengadopsi hukum Islam membutuhkan pemikiran dan perenungan yang menuntut kerja keras dan persepsi yang sama dalam segala hal. mengenai hukum Islam.
Hukum yang akan dikembangkan adalah hukum nasional, sehingga perlu adanya persepsi yang sama dari semua golongan masyarakat Indonesia yang majemuk ini tentang apa yang sebenarnya disebut hukum Islam. Hal ini dianggap sebagai konflik antara hukum barat dan hukum Islam, yang sebenarnya hanyalah konflik semu (quasi conflict). Berkaitan dengan pemikiran Busthanul dalam memperjelas istilah syari'ah dan fiqh, Busthanul terobsesi untuk menjadikan hukum Islam, yang bukan fiqh klasik, sebagai bagian integral dari hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia. Menurut Busthanul, apa yang dianggap fikih selama ini merupakan warisan dari hasil paket ijtihad para ahli fikih beberapa abad silam. Beberapa Muslim menganggap fikih sama dengan syariah dan karena itu standar dan mengikat semua.

Pemberlakuan Hukum Perdata di indonesia,
 orientasi penerapan syariat, akidah Islam dan etika moral, secara substantif terintegrasi ke dalam sistem hukum nasional. Orientasi kedua adalah idealis dalam konteks Indonesia, tetapi tidak realistis dalam konteks Islam yang ajarannya tidak memisahkan agama dari negara. Hukum Islam, menurut Masykuri Abdillah, dapat dilaksanakan dengan tetap mengakui Pancasila sebagai ideologi negara. Lebih lanjut Masykuri Abdillah menyatakan bahwa hukum Islam dapat diterapkan dalam sistem Islam alternatif, meskipun tidak bersifat struktural, seperti perbankan syariah, asuransi syariah.
Materi hukum Islam harus dipahami sebagai nilai-nilai ajaran yang bersifat universal, dinamis dan dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi apapun. Hukum Islam tidak boleh dipahami sebagai ajaran yang tidak tertutup, dan dapat beradaptasi dengan perubahan. Umat Islam harus memiliki kesepakatan untuk melakukan dan mengontrol tindakan politik dan bermuara pada kemauan politik, sehingga hukum nasional dapat dibentuk berdasarkan hukum agama. Pembentukan hukum nasional, meskipun didasarkan pada ajaran Islam, harus memperhatikan aspek heterogenitas bangsa yang terdiri dari berbagai agama.
Pembentukan hukum nasional berdasarkan ajaran Islam tidak dapat dilaksanakan secara utuh. Proses pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional memerlukan unifikasi hukum, yang tidak dapat terjadi dengan sendirinya, melainkan membutuhkan kekuatan politik. Proses legalisasi hukum perdata Islam ke dalam hukum nasional karena hukum Islam sebagai hukum agama memiliki cakupan yang lebih luas daripada hukum dalam pengertian barat yang mendefinisikan hukum hanya dengan lembaga negara. keadaan, dan tidak dipahami sebagai pengajaran yang kolot, statis, dan tertutup. Meskipun proses pembentukan hukum Islam menjadi hukum nasional ditandai dengan masuknya beberapa aspek hukum Islam ke dalam hukum, baik yang secara langsung dinyatakan dalam istilah hukum Islam maupun tidak.

Hukum Perdata Islam dan Realitas Hukum Perdata Nasional
Integrasi ketiga sistem hukum tersebut (Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat) yang dilakukan oleh Busthanul Arifin secara historis sering menimbulkan konflik hukum dalam masyarakat dan sejarah hukum di Indonesia. Alasan itulah yang menjadi alasan Busthanul merumuskan hukum Islam atas dasar ideologis dan konstitusional Negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945 atau undang-undang yang dibangun atas cita rasa dan rekayasa bangsa itu sendiri, bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa. yang sudah ada sejak lama dan terus berkembang. Sekarang. Menurut Busthanul, jika kecenderungan ini dikaitkan dengan persoalan efektivitas hukum, tampaknya ada harapan bahwa dengan diangkat menjadi hukum negara, hukum Islam akan memiliki daya ikat yang kuat untuk dipatuhi oleh umat. Banyaknya aktivitas keagamaan masyarakat merupakan cerminan dari kesadaran mereka menjalankan syariat atau syariat Islam, seperti pembagian zakat dan warisan; kedua, politik pemerintah atau political will pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Alasan lainnya adalah realitas politik dan penyusunan undang-undang di Indonesia dimana nampaknya keberadaan hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat pada beberapa peraturan perundang-undangan yang kehadirannya semakin memperkuat hukum Islam yaitu UU Perkawinan, UU Agama. Peradilan, UU Penyelenggaraan Haji, UU Pengelolaan Zakat, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara. menjadikan penyusunan KHI sebagai Rancangan Undang-Undang akan melalui proses yang sangat panjang yang harus dilalui.
Mengingat iklim politik, faktor psikologis lebih menjadi masalah, sementara di satu sisi keberadaan dan keberadaan Peradilan Agama diakui secara konstitusional oleh semua pihak, namun di sisi lain Peradilan Agama belum memiliki kitab undang-undang. hukum perdata (perdata Islam) sebagai acuan. cita-cita untuk memiliki hukum positif hukum perdata Islam melalui jalur formal negara, dilakukan dalam bentuk kompilasi. Menurut Munawir Sadzali, proses perumusan materi KHI dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu pertama, menyiapkan masail (daftar pertanyaan) untuk diajukan ke berbagai ormas dan lembaga Islam, antara lain Majlis Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masail NU yang menerima apresiasi. . respon positif. dari organisasi Islam. Syariat dianggap fleksibel, terutama pada isu-isu kontemporer dan untuk mendapatkan formulasi hukum yang fleksibel sesuai dengan tuntutan masalah aktual yang ada dan memungkinkan untuk membahas masalah baru yang belum secara eksplisit dimasukkan dalam teks, penyusunan KHI juga mengutamakan pemecahan masalah yang ada.


Penegakan Hukum Perdata Islam dan Realitas Hukum Perdata Nasional
Penegakan hukum adalah kegiatan menyelaraskan hubungan antara nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip-prinsip dengan realitas sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai, untuk menciptakan, memelihara, dan memelihara tatanan sosial. Friedman menyatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi proses penegakan hukum adalah substansi hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, pola tingkah laku manusia yang nyata di dalam sistem itu. Konsep kewajiban merupakan konsep khusus dari bidang moral yang mengacu pada norma moral dalam hubungannya dengan individu yang memerlukan tindakan tertentu. atau dilarang oleh norma-norma tersebut. Kewajiban hukum hanyalah norma hukum dalam kaitannya dengan individu yang tindakannya diberi sanksi.
Menurut Busthanul, pelembagaan (pembentukan) hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala besar akibat penerapan tiga sistem hukum (hukum Adat, hukum Islam dan hukum perdata Barat) yang masih mengadopsi politik hukum pemerintah kolonial Belanda. pembentukan) hukum Islam di Indonesia. Oleh karena itu, menurut Busthanul, pelaksanaan ketiga sistem hukum tersebut sebenarnya dapat diatur dengan baik melalui "bahasa hukum", kemudian memodifikasi atau menyusun undang-undang dalam bahasa hukum nasional. dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian upaya pengembangan Peradilan Agama. Hal ini diperparah dengan anggapan bahwa fikih identik dengan syariat atau hukum Islam yang merupakan wahyu dari aturan Tuhan, sehingga tidak dapat diubah. Produk pemikiran hukum yang terakhir adalah penyusunan undang-undang termasuk Kompilasi Hukum Islam. Rea politik dan pembentukan hukum di Indonesia telah membuka peluang keberadaan hukum Islam yang kini semakin diperhitungkan sebagaimana terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang kehadirannya semakin memperkuat syariat Islam. Kajian dan pemahaman hukum Islam memiliki pengertian bahwa hukum Islam harus dipelajari dalam kerangka dasar ajaran Islam yang menempatkan hukum Islam sebagai bagian dari agama Islam. iman (aqidah) dan kesusilaan (akhlak), etika atau moral.


KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan bab-bab di atas, dapat disimpulkan bahwa realitas politik di Indonesia sangat erat kaitannya dengan perkembangan legislasi hukum privat Islam di Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama. Islam masuk dengan damai tanpa menghilangkan nilai-nilai adat setempat yang sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai akidah dan syari'at. Peran pedagang sebagai penyebar agama Islam, setelah Islam mengakar di Nusantara, bergeser kepada ulama yang bertugas sebagai pengajar dan penjaga syariat Islam, berfungsi sebagai penasehat Sultan. Pada masa penjajahan terjadi pemisahan antara hukum dan penjajah (Belanda), Agama dan Adat istiadat. Hukum Islam saat ini hanya berlaku bagi umat Islam, meskipun hanya terbatas pada hukum perkawinan dan waris. Diskursus hukum Islam dalam hukum nasional terus mengalami perkembangan, sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, baik dari segi struktural maupun material. Legislasi hukum Islam menjadi hukum nasional tidak lepas dari politik hukum, pendekatan yang dilakukan harus pendekatan persuasif dan tidak konfrontatif, seperti yang dilakukan oleh Busthanul Arifin dengan meyakinkan pemerintah bahwa penerapan hukum Islam merupakan bagian dari implementasi hukum. Pancasila dan UUD 1945. Busthanul Arifin telah menyumbangkan pemikiran bagi pengembangan dan pelembagaan hukum Islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Menurut Busthanul, pelembagaan (pembentukan) hukum Islam di Indonesia menghadapi kendala besar karena penerapan tiga sistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat. Menurut Busthanul, dikotomi hukum ini harus dihapuskan. Busthanul Arifin menegaskan bahwa hukum dapat dijadikan hukum negara, harus bersumber dari norma-norma yang hidup dalam masyarakat.
Hukum Islam dalam hukum nasional bertujuan untuk mengarah pada maqasid al-syri'ah, sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri untuk kepentingan nasional, yaitu kesejahteraan manusia dan kemaslahatan manusia. Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan hukum yang aspiratif, proaktif dan kredibel. Penegakan hukum dipengaruhi oleh substansi hukum, struktural dan kultural, oleh karena itu Busthanul merupakan salah satu mata rantai yang menjadikan hukum Islam berdasarkan teori dan praktek. Agama sebagai wadah penegakan syariat Islam di Indonesia. Sebagai upaya reformasi Peradilan Agama lahirlah Kompilasi Hukum Islam, UU Pengelolaan Zakat, UU Wakaf dan UU Perbankan Syariah sebagai sumber hukum material di Peradilan Agama. Peradilan Agama yang diprakarsai oleh Busthanul Arifin telah menjadi bagian dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Keberadaan Peradilan Agama sangat berarti bagi umat Islam Indonesia, khususnya dalam menegakkan pelaksanaan syariat Islam yang secara yuridis formal.

Fitria Fauziana Ulfi (212121063) HKI 4B

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun