WASPADA, KRIMINALITAS MASUK KAMPUS !
(Refleksi kasus STIP)
Masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika kita dikejutkan dengan kematian mahasiswa STPDN karena kekerasan senior?. Entah apa kelanjutan kisahnya. Yang pasti, airmata orangtua takkan bisa kering, membayangkan penderitaan dan rasa sakit sang anak kebanggannya menjelang ajal menjemput. Dipukul, ditendang, diterjang disiksa lahir batin dengan alasan meningkatkan kedisiplinan, jauh dari pelukan dan untaian kata bijak orangtua. Rekaman kehidupan masa kecil yang lucu, menggemaskan dengan sedikit ‘kenakalan’nya, pastilah menjadi kenangan yang mengiris hati. Harapan kelak anak menjadi pribadi yang tangguh, pupus hanya karena kebodohan pihak lain dan system yang kacau balau.
Ya, pendidikan yang sejatinya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk pribadi yang berkarakter dan mengasah keterampilan secara produktif, menjadi gagasan semu dan tidak efektif. Pelanggaran terhadap tujuan tersebut tidak mendapat sanksi dan hukuman setimpal, sehingga kriminalitas semakin merajalela di wilayah yang ‘dijamin’ keamanannya. Sekolah bukan lagi menjadi tempat dimana orangtua dengan tenang bisa menitipkan anaknya untuk belajar, tapi malah menjadi tempat ‘justifikasi’ segala perilaku atas nama kedisiplinan dan demi menciptakan manusia yang tangguh!.
Miris melihat tayangan koran dan media elektronik yang dengan lugasnya menampilkan adegan kekerasan di STPDN dan STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran). Bagaimana anak-anak yang kita pun tak mau membiarkan nyamuk menggigitnya, diperlakukan secara barbar dan tidak manusiawi. Kok bisa-bisanya, manusia sebagai makluk sempurna, yang dibekali otak dan hati untuk berfikir dengan nurani, tereliminasi dengan nafsu dendam yang keji dan brutal!. Oo, mungkin terjadi pembiaran atas nama disiplin yang dilakukan tenaga pengajar dan mahasiswa senior secara turun temurun, atau kurikulum berbasis otoriter, bisa jadi mungkin karena system yang salah.
Pembiaran turun-temurun
Melalui seleksi yang super ketat, anak-anak itu diajarkan ‘bertading’ dengan cara fair. Tingginya kecerdasan akal dan kekuatan fisik menjadi sebagian tolak ukur untuk bisa melanjutkan ke sekolah binaan pemerintah yang terkenal bonafit itu. Hanye mereka yang tahan uji yang layak memasuki sekolah dengan jaminan akan menduduki pos-pos penting di pemerintahan. Dan ini menjadikan mereka mati-matian bertahan sampai selesai. Mereka ‘membiasakan diri’ untuk dipukul dan diperlakukan tidak manusiawi. Konyolnya lagi, itu dianggap masih dalam batas normal, baik oleh senior, tenaga pengajar sampai pimpinan. Standarisasi yang kebablasan!
Senior yang sok kuat, sok pintar dan merasa hebat, menjadikan sekolah sejenis ini seperti neraka bagi para yunior. Apa yang ada dipikiran mereka ketika menahan pedih dan rasa sakit yang luar biasa?. Membalas dendam?. Sampai sejauh ini belum ada cerita senior mati karena dikeroyok yunior. Yang ada yunior dihajar oleh para senior yang bisa berjumlah lebih dari 3 orang!.
Kurikulum berbasis otoriter
Lazimnya, apapun jenis sekolah, kurikilum harus berbasis kompetensi, pendidikan, kemanusiaan dan spiritual. Di republik yang merdeka ini, model otoriter pada akhirnya harus ditinggalkan karena kita semakin cerdas sehingga memilih demokrasi sebagai acuan bagi semua lini, sosial, politik, ekonomi, agama termasuk pendidikan. Masyarakat harus paham bahwa ketangguhan dan kekuatan tidak didapat dari ’latihan’ fisik secara berlebihan. Pejuang kita jaman kemerdekaan pun, tidak diajarkan membela tanah air melalui tendangan dan terjangan. Tapi dengan pendidikan dan mental yang kuat, kokoh, mengedepankan sisi humanis dan religi. Toh mereka tetap menjadi manusia berkarakter tangguh dan pemberani!.
Sistem yang salah
Jelas kesalahan bukan pada individu semata. Karena tindakan criminal ini adalah hasi kolaborasi berbagai pihak, siswa, penyelenggara pendidikan, hingga ke peraturan yang masih didominasi oleh syarat-syarat otoriter. Sistem ini tidak akan terputus apabila peyelenggara pendidikan tidak ada itikad baik untuk segera berbenah.
Jadi, mari belajar dari semua ini. Kita bukan keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Kita adalah masyarakat cerdas dan bermoral. Walaupun terucap kata ‘memaafkan’, tetap saja hukum harus ditegakkan. Ini adalah salah satu efek jera untuk semua pelaku, dari atas sampai ke bawah. Kepada adik-adik mahasiswa, jangan lagi ada dosa dan kriminalitas turunan. Bayangkan anak-anakmu kelak akan mendapat perlakuan yang sama jika mengikuti jejak pendidikan orangtuanya. Apakah kalian rela, jika anak-anak kalian ditendang, diterjang dn dihantam. Berkaca pada diri sendiri. Malulah pada Tuhan, yang sudah memberi otak, hati dan kelengkapan fisik yang sempurna. Tanggungjawab kita bukan hanya di dunia, tapi di akhirat.
Duh Indonesia ku, apa kata Ki Hajar Dewantoro, Dr. Sutomo, RA. Kartini seandaikan mereka bisa turun ke bumi pertiwi?
www.kompasiana/fitri_restiana