Mohon tunggu...
Fitri Widyaningrum
Fitri Widyaningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jurnalis kampus

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran Media dalam Rangka Menangkal Disinformasi Menjelang Kampanye Pemilu 2024

2 Desember 2022   17:16 Diperbarui: 2 Desember 2022   17:19 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di awal tahun 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengumumkan bahwa literasi digital masyarakat Indonesia mengalami perbaikan. Indeks Literasi Digital Indonesia pada tahun 2021 mencapai 3,49 dari skala 1-5[1], atau mengalami kenaikan sebesar 0,03 dari tahun sebelumnya yang berada pada kisaran angka 3,46. Dalam hal ini, peranan teknologi informasi tentu tidak dapat diabaikan. Terlebih lagi saat ini, informasi dapat di akses dan disebarluaskan dengan mudah melalui jaringan internet, baik dari komputer mapun gawai. Namun, dalam perkembangannya, tidak semua informasi yang tersebar luas di internet berupa fakta. Tidak sedikit, terkadang ada informasi yang bersifat menyesatkan, seperti penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, radikalisme, termasuk penipuan.

Sejalan dengan literasi digital, Kominfo juga mengadakan survei terkait konten dan media yang banyak menyajikan berita bohong (hoaks). Ternyata, konten politik termasuk ke dalam konten yang paling banyak mengandung isu hoaks atau disinformasi[2], dengan persentase sebesar 67,2 persen. Selain itu, media yang paling banyak menyajikan hoaks di dominasi oleh media online, khususnya media sosial. Media sosial menjadi media yang paling dominan ditemukannya kampanye negatif, sebab terdapat kecenderungan mudah diprovokasi, diviralkan serta disebarluaskan, biasanya tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menggiring opini publik, oleh karena itu diperlukan berbagai preventif[3] untuk meminimalisir penyebaran disinformasi di media pada pemilu 2024 mendatang.

Ancaman Disinformasi di Era Digital

Disinformasi dapat diartikan sebagai informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu. Dapat dikatakan pula bahwa disinformasi merupakan bagian dari misinformasi yang mungkin juga tidak disengaja. Meskipun data menunjukkan jika temuan disinformasi mengalami penurunan pada 2020 dibandingkan 2019 [1] yang saat itu ada pemilu[2], namun bukan berarti disinformasi tidak lagi menjadi ancaman di pemilu 2024 nanti. Seringkali temuan disinformasi media akan melonjak pada saat mendekati massa-massa kampanye oleh para pasangan calon atau tim sukses.

Merujuk pada Laporan Pengawas Pemilu, ketika Pemilu Presiden 2014 dan 2019 tidak sedikit adanya laporan dugaan pelanggaran pidana pemilu, seperti penyebarluasan isu berita bohong, ujaran kebencian, penghinaan pada kubu lawan hingga kampanye hitam [3] , sebagai contoh kampanye hitam yang disebarluaskan oleh salah satu media cetak yang berujung pada sanksi pidana. Berbeda dengan media konvensional yang mudah diidentifikasi pemilik atau penulisnya, penyebaran kampanye hitam pada media sosial lebih sulit untuk diawasi, karena seringkali oknum menggunakan akun anonim[4] ataupun akun yang tidak didaftarkan sebagai akun resmi tim pemenangan[5]. Keberadaan media online sebagai media kampanye menjadi tantangan di era digital seperti sekarang ini, terutama saat tingkat keterlibatan, keterhubungan, dan mobilisasi tinggi, akan tetapi tidak disertai dengan tingkat pemahaman yang baik di masyarakat.

Sebagai respon atas peristiwa-peristiwa tersebut, lahirlah peraturan KPU (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu. Dalam peraturan tersebut mengatur pendaftaran akun milik peserta pemilu untuk boleh memiliki paling banyak sepuluh akun yang digunakan untuk kampanye. Kemudian, adapun peraturan lainnya seperti Perbawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang fungsi pengawasan terhadap akun media sosial yang didaftarkan dan tidak didaftarkan kepada KPU. Dengan adanya peraturan-peraturan di atas seharusnya pelanggaran-pelanggaran kampanye dapat diantisipasi. Namun pada kenyataannya pelanggaran masih ditemukan, sebab  

seharusnya yang menjadi fokus utama bukan berapa banyak akun yang didaftarkan untuk kampanye, akan tetapi yang perlu mendapat perhatian lebih adalah akun-akun media sosial diluar itu, termasuk konten-konten atau tulisan yang dipublikasi oleh media.

Komitmen Media Dibutuhkan Untuk Melawan Disinformasi

Media sebagai pembuat berita dan penyebar berita tentu memiliki andil dalam upaya penyegahan disinformasi pemilu yang akan dilaksanakan pada 2024. Media dapat berkomitmen menyampaikan pemberitaan programatik sepanjang masa kampanye. Tidak hanya sebatas itu saja, media juga harus turut mengangkat berita-berita yang substantif, sebagaimana tidak hanya menyoroti isu permukaan maupun isu sentiment dalam perdebatan publik. [1]Akan tetapi, juga turut membuka ruang dalam programatik yang seharusnya dapat berjalan selama masa kampanye.

Kolaborasi sebagai bentuk kerjasama antara lembaga penanganan disinformasi dan media juga dapat menjadi trobosan agar hoaks yang beredar dapat ditangani dengan cepat. Misalnya kerjasama lembaga penanganan disinformasi dengan para Aliansi Jurnalis Independen berupa penarikan data fakta-fakta kepemiluan dan temuan hoaks, sehingga para pengguna internet atau media sosial dapat mengetahui fakta dari isu yang sedang beredar. Selain itu, lembaga penanganan disinformasi juga dapat bekerjasama dengan platform media sosial, sehingga konten-konten yang bersifat negatif  tidak dapat diakses oleh masyarakat Indonesia.

Tren hoaks menjelang pemilu memang menjadi permasalahan yang hingga saat ini belum menemukan titik terang. Beredarnya informasi tidak benar terkait kepemiluan sering kali menyesatkan masyarakat awam. Regulasi yang ada pun hanya sebatas mengatur pembatasan jumlah akun dan waktu kampanye. Maka dari itu, di tengah belum adanya regulasi yang efektif, beberapa hal yang dapat dilakukan. Media dapat berkomitmen menyampaikan pemberitaan programatik sepanjang masa kampanye dan mengangkat berita-berita yang substantif. Selain itu, upaya untuk mendorong kode etik di media sosial, seperti menjunjung prinsip pemilu[2], transparan terkait sumber daya yang digunakan untuk kampanye, bertanggungjawab atas konsekuensi yang ditimbulkan, penghormatan terhadap hak dasar individu, serta nondiskriminasi dan inklusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun