Mohon tunggu...
Fitri Rezeki
Fitri Rezeki Mohon Tunggu... Akuntan - NIM : 55522120039 - Magister Akuntansi - Universitas MercuBuana. Dosen Pengampu: Prof Apollo

Hobi Traveling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Kepatuhan Manajemen Modal "The PDCA Cycle dan Johari Windows Dikaitkan dengan Transfer Pricing"

28 November 2023   16:49 Diperbarui: 28 November 2023   16:53 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modal kerja diartikan sebagai konversi sebuah kas perusahaan dalam jangka waktu kurang atau sama dengan setahun dari aktiva lancar yang diinveestasikan perusahaan secara total (Keown. et al., 2017). Berdasarkan pengertian tersebut, modal kerja dapat diartikan dana yang dikelola pada aktiva lancar, yang diperuntukan untuk mendukung biaya hutang lancar. (Brigham & Houston, 2011) mengemukakan bahwa modal kerja terdapat 2 jenis, yaitu gross working capital yang merupakan keseluruhan asset lancar, dan net working capital yang merupakan selisih antara asset lancar dengan hutang lancar.

Penentuan struktur modal suatu perusahaan adalah salah satu kemampuan perusahaan dalam mengendalikan manajemen modal dalam perusahaan tersebut. Kemampuan dalam menentukan model struktur modal yang digunakan dalam perusahaan dapat memberikan dampak positif pada meningkatkan nilai profit atau profitabilitas suatu perusahaan.

Masing-masing perusahaan mempunyai bentuk struktur permodalan yang bermacam-macam. Jumlah total hutang dan total simpanan atau asset yang dimiliki suatu perusahaan dan sangat penting dalam menentukan bagaimana keuangan perusahaan dioperasional adalah definisi daristruktur modal (Shubita et al., 2012). Sebuah perushaan akan bertahan jika memiliki kemampuan dalam menentukan komposisi struktur yang akan digunakan, apakah akan mengggunakan dana hutang sebagai dana terbesar dalam pengembangan perusahaan atau sebaliknya, harta asset atau simpanan sebagai dana terbesar untuk pengembangan perusahaan. Penentuan ini menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan perusahaan (Kothari et al., 2022). Karena hal tersebut mampu mempertahan perusahaan dalam berbagai kondisi. Perusahaan yang cerdas dalam membaca peluang, biasanya menggunakan dana kombinasi, dimana dana hutang dan kekayaan atau simpanan digabung untuk membangun perusahaan (Rahimian, 2016), namun semua pilihan tersebut disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada perusahaan. Kebijakan dalam membentuk struktur modalsuatu perusahaan adalah suatu kecerdasan dalam sebuah pengendalian modal perusahaan, jika kebijakan hutang jangka Panjang yang diambil sebagai keputusan maka tingkat profitabilitas akan mengalami penurunan, begitu juga sebaliknya jika menggunakan hutang jangka pendek maka akan mampu meningkatkan profitabilitas (Astuti et al., 2015). Dalam mengukur struktur modal yang berhubungan dengan pendanaan yang berasal internal perusahaan dan sumber eksternal (hutang) perusahaan, maka struktur modal dapat diukur menggunakan rasio leverage, yaitu yaitu Debt Ratio (DR) yaitu perbandingan antara total hutang dengan total aktiva perusahaan dan Debt to Equity Ratio (DER) yaitu perbandingan antara total hutang (jangka panjang dan jangka pendek) dan modal perusahaan (Paarima et al., 2021).

SIKLUS PDCA (PLAN, DO, CHECCK, ACTION)

Penerapan  siklus PDCA (plan, do, check, action) sebagai sarana untuk memastikan kelangsungan perusahaan. Hal ini berguna dalam mewujudkan kebijakan untuk memelihara dan meningkatkan atau meningkatkan standar. Siklus ini merupakan konsep terpenting dari proses kaizen. Konsep siklus PDCA pertama kali diperkenalkan oleh Walter Shewhart pada tahun 1930 yang disebut dengan "Shewhart Cycle". PDCA adalah singkatan dari bahasa Inggris dari plan, do, check, action (plan, work, check, follow-up), adalah proses pemecahan masalah interaktif empat langkah yang biasa digunakan dalam pengendalian kualitas. Selanjutnya konsep ini dikembangkan oleh Dr. Walter Edwards Deming yang kemudian dikenal dengan sebutan "The Deming Wheel". Cara ini dipopulerkan oleh W. Edwards Deming yang sering dianggap sebagai bapak quality control modern sehingga sering disebut siklus Deming. Deming sendiri selalu menyebut metode ini sebagai siklus Shewhart, dari nama Walter A. Shewhart yang sering dianggap sebagai bapak kontrol kualitas statis (Nugroho et al., 2017).

Penjelasan dari setiap siklus PDCA tersebut adalah sebagai berikut : 

1. Mengembangkan rencana perbaikan (plan) Ini merupakan langkah setelah dilakukan pengujian ide perbaikan masalah. Rencana perbaikan disusun berdasarkan prinsip 5-W (what ,why, who, when dan where) dan 1H (how), yang dibuat secara jelas dan terinci serta menetapkan sasaran dan target yang harus dicapai. Dalam menetapkan sasaran dan target harus dengan memerhatikan prinsip SMART (specific, measurable, attainable,reasonable, dan time).

 2. Melaksanakan rencana (do) Rencana yang telah disusun diimplementasikan secara bertahap, mulai dari skala kecil dan pembagian tugas secara merata sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dari setiap personil. Selama dalam melaksanakan rencana harus dilakukan pengendalian, yaitu mengupayakan agar seluruh rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin agar sasaran dapat dicapai.

3. Memeriksa atau meneliti hasil yang dicapai (check dan study) Memeriksa atau meneliti merujuk pada penetapan apakah pelaksanaannya berada dalam jalur, sesuai dengan rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Alat atau piranti yang dapat digunakan dalam memeriksa adalah pareto diagram, histogram, dan diagram kontrol.

 4. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (action) Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, yang didasarkan hasil analisis diatas. Penyesuaian berkaitan dengan standarisasi prosedur baru guna menghindari timbulnya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.

Siklus PDCA tersebut berputar secara berkesinambungan, segera setelah suatu perbaikan dicapai, keadaan tersebut dapat memberikan inspirasi untuk perbaikan selanjutnya. Oleh karenanya, manajemen harus secara terus-menerus merumuskan sasaran terus-menerus merumuskan sasaran dan target-target perbaikan baru (Gaspersz, 2012) .

JENDELA JOHARI

Joseph Luft dan Harrington Ingham (lihat Higgins. 1982), mengembangkan konsep Johari Window sebagai perwujudan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain yang digambarkan sebagai sebuah jendela. 'Jendela' tersebut terdiri dari matrik 4 sel, masing-masing sel menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang disembunyikan. Keempat sel tersebut adalah daerah pubIik. daerah buta, daerah tersembunyi, dan daerah yang tidak disadari.

Yang dimaksud dengan daerah pubIik adalah daerah yang memuat hal-hal yang diketahui oleh dirinya dan orang lain. Daerah buta adalah daerah yang memuat hal-hal yang diketahui oleh orang lain tetapi tidak diketahui oleh dirinya. Dalam berhubungan interpersonal, orang ini lebih memahami orang lain tetapi tidak mampu memahami ten tang diri, sehingga orang ini seringkali menyinggung perasaan orang lain dengan tidak sengaja. Daerah tersembunyi adalah daerah yang memuat hal-hal yang diketahui oleh diri sendiri tetapi tidak diketahui oleh orang lain. Dalam daerah ini, orang menyembunyikan menutup dirinya. Informasi temang dirinya disimpan Tapat-rapat. Daerah yang tidak disadari membuat bagian kepribadian yang direpres dalam ketidaksadaran. yang tidak diketahui baik oleh diri sendiri maupun orang lain, Namun demikian. ketidaksadaran ini kemungkinan bisa muncul./

TRANSFER PRICING

Awalnya transfer pricing dikenal dalam akuntansi manajemen sebagai kebijakan harga yang diterapkan atas penyerahan barang atau jasa antar divisi/departemen di dalam suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengukur kinerja dari masing-masing divisi/departemen tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multinasional yang biasanya menerapkan desentralisasi operasi dengan cara membagi perusahaannya atas pusat-pusat pertanggungjawaban baik itu pusat biaya maupun pusat penghasilan, telah memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus ditanggung perusahaan. Melalui praktik transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya berbeda.

Transfer pricing adalah sebuah istilah untuk mekanisme penetapan harga yang tidak wajar atas transaksi penyediaan barang atau penyerahan jasa oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa (related parties). Transfer pricing biasanya dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan praktik yang tidak sehat tersebut, mengakibatkan hilangnya potensi pajak yang seharusnya diterima negara Inilah sebabnya, kegiatan yang bersifat manipulatif ini sering dikaitkan dengan kerugian negara. Jika menengok ke belakang, kasus transfer pricing sebenarnya bukan baru kali ini saja terjadi. Sudah sejak lama kasus ini menghantui, bahkan tidak hanya di ranah perpajakan tanah air, tapi juga negara-negara lain di dunia. Berdasarkan data Organization for Economic and Development (OECD), 60% dari total perdagangan di dunia terindikasi melakukan praktik transfer pricing

Sebagai ketentuan pelaksanaan, PP Nomor 80 Tahun 2007 mendelegasikan pengaturannya kepada Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3). Namun demikian, sepengetahuan penulis, belum terbit Peraturan Menteri Keuangan tentang hal ini. Namun demikian, ketentuan teknis tentang hal ini telah diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Analisis Kesebandingan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib didokumentasikan oleh Wajib Pajak (Pasal 18). Dokumentasi ini meliputi langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Wajib Pajak juga wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesebandingan dan menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam menentukan metode penentuan transfer pricing, Wajib Pajak juga harus mendokumentasikan setiap kajian dan langkah-langkahnya. Adapun bentuk dan jenis dokumen tidak diatur khusus oleh ketentuan perpajakan.Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen di atas yang harus diselenggarakan, disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan harga wajar atau laba wajar yang dipilih. 

MANAJEMEN MODAL DENGAN SILKUS PDCA DAN JOHARI DIKAITKAN DENGAN TRANSFER PRICING

Berdasarkan penjelasan diatas, Tidak bisa dipungkiri transaksi transfer pricing sulit dilacak. Direktorat Jenderal Pajak kadang kesulitan memeriksa perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia, terbanyak perusahaan otomotif dan rawan praktik transfer pricing.Kendala utama adalah masih sulitnya Indonesia mendapatkan pertukaran informasi.Kalaupun sudah ada pertukaran informasi dengan Negara terkait, misalnya Jepang, harga yang terdata bisa tidak akurat. Data ini sering kali berbeda dibandingkan data transfer pricing yang didapat pemerintah.

Di samping itu, pemeriksaan kasus transfer pricing membutuhkan proses yang sangat panjang. Direktorat Jenderal Pajak harus memiliki surat keputusan pemeriksaan terlebih dahulu. Padahal untuk mendapatkan surat keputusan ini, Direktorat Jenderal Pajak harus memeriksa harga di negara asal barang. Kirim surat dulu ke kantor pajak Indonesia di luar negeri, setelah itu diperiksa. Intinya prosesnya sangat panjang. Terkait kasus-kasus transfer pricing yang terjadi di daerah, Direktorat Jenderal Pajak di pusat tidak bisa memeriksa langsung kasus-kasus yang terjadi. Kecuali jika kantor pajak di daerah meminta bantuan ke pusat, baru Direktorat Jenderal Pajak pusat turun tangan dan membantu. 

Untuk kategori perusahaan yang melakukan transfer pricing sering dikaitkan dengan bagaimana mengatur agar modal kerja perusahaan tetap berjalan, dengan menekan semua biaya dengan menggunakan Konsep PDCA, biasanya konsep ini dilakukan oleh katagori kelompok tersembunyi, dalam istilah Jendela Johari merupakan kegiatan manajemen dalam menekan segala biaya demi menjaga kelangsungan perusahaan dan profit perusahaan tanpa ada pihak luar yang mengetahuinya.

Praktik transfer pricing sering digunakan oleh banyak perusahaan sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak dengan cara meminimalkan beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Praktik tersebut dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu perusahaan ke perusahaan lain yang mempunyai hubungan istimewa, dengan mempertimbangkan perbedaan ketentuan-ketentuan perpajakan yang terjadi dari suatu negara dengan negara lainnya. Adanya hubungan istimewa merupakan kunci terjadinya praktik transfer pricing. 

Transaksi yang terjadi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa biasanya sering memakai harga yang tidak wajar, yang tidak sama dengan harga yang terjadi dalam transaksi antar pihak yang independen. Metode-metode yang dipakai dalam pengujian kewajaran harga transfer diantaranya adalah: metode perbandingan harga antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya plus (cost plus method), metode pembagian laba (profit split method), metode laba bersih transaksional (transactional net margin method). Penggantian hierarchy of method menjadi the most appropriate method sangat membantu Wajib Pajak dalam penentuan metode transfer pricing karena tidak menuntut kesebandingan yang tinggi serta tidak memakan waktu dan biaya yang tinggi. 

Untuk menguak kasus-kasus transfer pricing dibutuhkan keahlian khusus. Meski terhambat banyak kendala, Direktorat Jenderal Pajak tetap serius menindak lanjuti kasus-kasus transfer pricing dengan terus melakukan pembenahan internal dan menambah tenaga ahli di bidang transfer pricing. Terbaru sudah turun Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.26 dan 27/PJ/2012 dengan memindahkan/menyatukan perusahaan satu grup/afiliasi dalam satu KPP, satu Seksi Pengawasan dan bila mungkin satu Account Representative untuk kemudahan pengontrolan dan pengawasan Wajib Pajak yang berafiliasi tersebut. Dan ini sudah berlaku per 1 April 2012. Ibaratnya Wajib Pajak yang berafiliasi sudah disatukan dalam 'satu meja', jadi otoritas pajak tinggal mencocokkan Laporan Keuangan, SPT dan dokumen-dokumen pembukuan mereka untuk dilihat jika ada transaksi antara mereka. Bisa dibayangkan efeknya.Dengan demikian Wajib Pajak tersebut harus hati-hati dalam "transaksi internal" mereka dalam menentukan harga jual belinya. Namun akan lebih aman jika dapat dihindari "transaksi internal" tersebut dengan mencari supplier non afiliasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun