Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan jumlah penerimaan pajak yang nantinya akan masuk ke dalam kas Negara (Permatasari et al., 2022). Pemungutan pajak merupakan pendapatan terbesar di Indonesia yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 23A yang menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang. Indonesia sendiri menerapkan Self Assessment System sebagai sistem pemungutan pajak.Â
Sistem ini memberikan kepercayaan dan peran serta terhadap masyarakat sebagai Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan. Tujuan utamanya adalah menjadikan Wajib Pajak sebagai subjek pajak yang mandiri. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak (Mardiasmo, 2018).
Penerimaan dari sektor pajak diantaranya adalah pajak penghasilan yang juga merupakan konstribusi terbesar dalam negara dalam penerimaan pajak dalam negeri (Yahya et al., 2022). Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima/diperoleh seseorang atau badan dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak.Â
Salah satu perundang-undangan yang mengatur Pajak Penghasilan adalah UU No.7 Tahun 1983, setelah mengalami beberapa kali perubahan terakhir diubah menjadi UU No.36 Tahun 2008. Pajak pengahasilan dapat dilihat dari 2 (dua) subjek yang berbeda yaitu Orang Pribadi dan Badan. Pajak Penghasilan Badan umumnya lebih mudah teridentifikasi serta pemungutan pajak atas badan jauh lebih optimal dari pada Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Mardiasmo, 2018).
 Untuk melakukan peningkatan penerimaan negara melalui sektor pajak, dibutuhkan partisipasi aktif dari wajib pajak (orang pribadi atau badan) untuk memenuhi segala kewajiban perpajakan dengan baik (Ummammy & Lubis, 2022). Artinya peningkatan penerimaan pajak negara ditentukan oleh tingkat kepatuhan wajib pajak sebagai Warga Negara yang baik. Namun, pada kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat terpenuhi. Sebab masih banyak yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi negara maupun bagi mereka sendiri sebagai warga negara yang baik. Ini terbukti dalam kenyataannya masih banyak wajib pajak yang sengaja melakukan kecurangan-kecurangan dan melalaikan kewajibannya dalam melaksanakan pembayaran pajak yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan timbulnya tunggakan pajak yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak.
Menurut Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 dalam Siat dan Toly (2013) menyatakan bahwa perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan.Kepatuhan wajib pajak badan adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi hukum maupun administrasi.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan pajak yaitu penagihan pajak, pemeriksaan pajak, dan kepatuhan wajib pajak. Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak yang dilakukan dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Mohammad et al., 2017).
Penagihan Pajak merupakan salah satu unsur dari penerimaan pajak berdasarkan UU No. 16 tahun 2009, Penagihan Pajak tersebut merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandaraan, menjual barang yang disita untuk mengetahui pelaksanaan penagihan PPh Badan telah dilaksananakan dengan prosedur yang berlaku pada KPP Pratama Pati.Â
Menurut Chairil (2017:219) Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandraan, menjual barang yang telah disita. Berdasarkan beberapa definisi menurut para ahli diatas, maka dapat dikatakan bahwa Penagihan Pajak adalah tindakan yang dilakukan Direktur Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak agar Wajib Pajak membayar dan melunasi utang pajaknya.
Ketentuan Baru Dasar Penagihan Pajak : PP No. 50 Tahun 2022 dalam Pasal 45 ayat (1), ketentuan komponen yang menjadi dasar Pasal 18 UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 tentang penagihan pajak ditambah kompenan, yakni:
A. Surat Keputusan Persetujuan Bersama
B. Klaim Pajak
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Mardiasmo (2011:54) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan pajak perlu dilakukan untuk memberi efek jera terhadap wajib pajak yang tidak taat pajak, sehingga sering kali wajib pajak dengan sengaja mengulang perbuatan yang sama dimasa mendatang. Hal ini yang menyebabkan perlunya dilakukan pembinaan serta pengawasan yang berkesinambungan terhadap wajib pajak. Selain mencurangi pembayaran pajak yang seharusnya dilakukan, oleh sebab perlu dilakukan pemeriksaan serta mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan juga mendorong mereka untuk membayar pajak dengan jujur sesuai ketentuan yang berlaku (Riyadi et al., 2021).Â
Adapun pemeriksaan pajak ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui unit pelaksana yaitu fungsional pemeriksa pajak baikyang berada di kantor pelayanan, kantor wilayah, maupun kantor pusat. Titik tolak penelitian maupun pemeriksaan pajak adalah pemberitahuan pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak dalam Surat Pemberitahuan Pajak. Surat Pemberitahuan Pajak ini disampaikan wajib pajak pada setiap akhir tahun pajak. Pada saat penerimaan SPT Tahunan ini petugas pajak akan melakukan penelitian kelengkapan formal dan penulisan pada kolom-kolom yang terdapat pada SPT tersebut.Â
Apabila SPT yang disampaikan telah lengkap maka akan diberikan tanda terima SPT Tahunan kepada wajib pajak dan selanjutnya SPT akan direkam, namun apabila SPT belum lengkap dan/atau terdapat kesalahan dalam penulisan maka SPT akan dikembalikan kepada wajib pajak untuk dilengkapi dan/atau diperbaiki (Rahayu, 2020). Pemeriksaan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak (Bagus Aprilianto & Hidayat, 2020; Suryadi & Subardjo, 2019). Namun beberapa peneliti menyatakan bahwa semakin tinggi tinggat pemeriksaan pajak maka penerimaan pajak akan semakin rendah (Monica & Andi, 2019; Riyadi et al., 2021) Namun menurut (Ferdianta & Marlinah, 2017) pemeriksaan pajak tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak.
Tahap Pemeriksaan Pemeriksaan dimulai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pengiriman surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor. Dalam hal khusus, misalnya kondisi pandemi, pemeriksaan dapat dilakukan secara daring.Hasil pemeriksaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) yang dilampiri dengan daftar temuan hasil pemeriksaan dengan mencantumkan dasar hukum atas temuan tersebut.
Pemeriksaan dalam pengujian kepatuhan Wajib Pajak diakhiri dengan pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan produk hukum yang dapat berupa:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Menurut UUU Nomer 28 Tahun 2007 Pasal 8 Ayat (3) wajib Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 selama belum dilakukan penyidikan, sekalipun telah dilakukan pemeriksaan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan kesalahannya dan sekaligus melunasi jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar, terhadapnya tidak akan dilakukan penyidikan.
Namun, apabila telah dilakukan tindakan penyidikan dan mulainya penyidikan tersebut diberitahukan kepada Penuntut Umum, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sudah tertutup bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan pajak berbasis mandiri atau self assessment memberi peluang kepada wajib pajak dalam melakukan kecurangan, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu untuk mengadakan pembinaan serta pengawasan agar pelaporan dapat berjalan secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengawasi kelancaran pelaporan pajak adalah dengan adanya pemeriksaan. Selain itu pemeriksaan juga memberi dampak tidak langsung dalam meningkatkan angka kepatuhan pada wajib pajak yang berimbas pada meningkatnya angka penerimaan pajak.
Refrensi:
https://www.pajak.go.id/id/undang-undang-nomor-28-tahun-2007
https://www.pajak.go.id/id/pemeriksaan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H