Mohon tunggu...
fitratul insani
fitratul insani Mohon Tunggu... Freelancer - Political science, Universitas Airlangga

Learn to be better

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sulung dan Stereotipe yang Membelenggu

1 Februari 2020   00:00 Diperbarui: 1 Februari 2020   22:09 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin terlahir menjadi seorang anak sulung membuat seseorang berpikir memiliki beban yang lebih berat di keluarga -setelah ayahnya. Di bayang-bayangi dengan setumpuk kewajiban yang diciptakan oleh stereotipe yang beredar dan dipercaya masyarakat luas. Membuat seorang sulung -konon memiliki hidup yang lebih berat jika dibandingkan dengan si bungsu. Bahkan stereotipe masyarakat hendak menciptakan sulung menjadi orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarganya ketika sang orangtua meninggal atau usianya sudah senja.

Miris sekali hidup orang yang dilahirkan sebagai sulung. Terikat oleh bayang-bayang harus ini dan itu, karena memang stereotipe yang ada mengharuskan mereka seperti itu. Jiwanya tidak bebas. Bahkan, narasi-narasi yang diciptakan dalam sebuah film menggambarkan sulung sebagai orang yang harus menjadi contoh yang baik bagi adik-adiknya, harus bekerja keras untuk keluarga, membiayai sekolah adik-adiknya, mendahulukan keperluan adik-adiknya dibanding keperluannya sendiri, dalam hal pendidikan misalnya, dan harus ini dan itu lainnya.

Adilkah hal-hal yang demikian? memberikan beban lebih kepada si sulung, namun hal yang sama tidak berlaku bagi si bungsu. Membantah dengan anggapan bahwa kodrat sulung memang seperti itu. Kasihan sekali orang-orang yang dilahirkan sebagai sulung, mungkin jika tau memiliki segudang 'beban' dilahirkan sebagai sulung akan banyak orang yang tidak mau terlahir sebagai sulung.

Bagaimana dengan si bungsu? Enak sekali hidupnya tidak memiliki setumpuk beban seperti si sulung. Hidup menjadi parasit si sulung, dan menggantungkan diri kepadanya dalam banyak hal. Kalau begini, mungkin banyak yang meminta untuk dilahirkan sebagai bungsu saja daripada dilahirkan sebagai sulung. Beban-beban ini tidak seharusnya kemudian dilabeli sebagai sebuah kodrat yang harus dilakukan sulung. Semua beban yang ada hanyalah sebuah stereotipe yang diciptakan kemudian tumbuh subur dalam masyarakat luas. Tapi terkadang stereotipe ini sangat mengganggu. Namun, ingatlah bahwa sesungguhnya stereotipe hanyalah sebuah picture in our head yang dipercaya oleh masyarakat luas, ia bukan benar-benar sebuah keharusan, hanya sebuah anggapan yang diiyakan lalu disosialisasikan secara turun temurun.

Dear sulung, kamu tidak terikat dengan semua stereotipe tersebut, kamu bisa hidup sekehendakmu, tidak perlu memikirkan anggapan-anggapan yang ada.

Terlepas dari semua itu, kamu yang terlahir sebagai sulung maupun bungsu terlahir memiliki jiwa yang bebas, kamu memiliki freewill, kamu berhak atas dirimu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun