Mohon tunggu...
Fitra Sumardi
Fitra Sumardi Mohon Tunggu... -

Penulis feminisme. Menulis tentang kekerasan terhadap perempuan, persamaan hak ekonomi dan politik. Tertarik untuk berbincang tentang politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menakar Rasa Bersalah Masinton dalam Kasus Pemukulan Staf Ahli

3 Februari 2016   17:15 Diperbarui: 3 Februari 2016   17:47 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber gambar: Kompas dan Lensa Indonesia"][/caption]Dalam sejarahnya, selalu sulit untuk bisa membuktikan secara akurat apabila perempuan menjadi korban dalam penganiayaan atau pemukulan secara fisik. Perempuan selalu dianggap memiliki kodrat sudah seharusnya menjadi properti rumah tangga. Bila ia keluar malam, berkumpul, dan memenuhi hak-haknya mengeluarkan berpendapat dan berakivitas politik, maka ia sudah dicap sebagai perempuan pemberontak, bukan perempuan baik-baik, dan sudah sepantasnya dipukuli. Sementara kalau laki-laki yang keluar malam, berkumpul dengan koleganya, dan bahkan mabuk-mabukan, masyarakat akan menganggap hal tersebut wajar adanya.

Ironi ini jamak terjadi di daerah-daerah terpencil di mana perempuan sebagai gender yang inferior dan dibatasi perannya sebagai asisten si laki-laki. Namun sungguh ironis dan menyedihkan kalau masih terjadi di kota besar seperti Jakarta yang seharusnya memberi peran sama adilnya dengan perempuan.

Dalam kasus Masinton, hal inilah yang tampaknya menjadi senjata utama. Dalam rilisnya, anggota DPR tersebut memulai pembelaannya dengan cerita bahwa safnya yang perempuan, Dita, dalam keadaan mabuk berat, sehabis berkumpul dengan kawan-kawan politiknya di kafe, di malam hari. Padahal tanpa memojokkan dengan kesaksian seperti itu pun, Masinton bisa menjelaskan duduk perkaranya dengan baik, walaupun kenyataannya masih belum terbukti siapa yang benar dan salah. Jika cerita tersebut sedikit diubah plotnya dengan mengganti peran Dita menjadi seorang staf ahli laki-laki, apakah kita akan langsung secara subjektif mendudukkan Dita sebagai pihak yang pasti bersalah?

Dengan kesaksian (seolah) Dita mabuk, maka tuduhan lainnya pun mengalir, bahwa Dita berteriak-teriak di mobil, menarik setir, hampir menyebabkan kecelakaan, lalu ditutup dengan pembelaan “klasik”, mata Dita terpukul oleh tangannya sendiri (hebat sekali ya ada orang kena tangannya sendiri lalu pelipis matanya bengkak besar dan matanya merah seperti terkena pendarahan?) Sebuah cerita blunder yang lalu cepat-cepat diralat oleh seseorang berinisial ALT yang mengaku staf ahli Masinton yang lain, bahwa Dita terkena tepisan tangannya yang memakai cincin batu besar.

Di sisi lain, Dita punya versinya sendiri, bahwa Masinton menginterogasi dan memaki dirinya terkait urusan pekerjaan. Setelah dijemput di Kafe, ia diajak berjalan di sepanjang Jakarta, dan ditanyai berbagai hal, hingga berlanjut ke arah menyelidik kesalahan Dita. Lalu ditutup dengan cerita Masinton menggebuki sang perempuan karena dianggap lancang membocorkan rahasia sang bos. Dita menambahi bahwa ia membantah dirinya mabuk malam itu.

Entah siapa yang benar dalam kasus ini: apakah tangan Dita sendiri, tangan Sang Staf Ahli lelaki ataukah Masinton sendiri yang melakukan pemukulan tersebut. Tentunya hanya bisa kita tunggu dari hasil saling lapor ke polisi yang nantinya berpotensi dilakukan kedua belah pihak (dalam hal ini Dita melaporkan Masinton ke MKD, LBH Apik, dan Komnas HAM). Namun kita mungkin bisa mengambil beberapa kesimpulan kecil dari kesaksian Dita, bahwa Masinton bersikap sangat protektif kepada bawahannya. Bahkan saat menjenguk Dita kala dirawat, ia sampai harus mengucapkan janji kepada orangtua Dita bahwaHal ini tidak akan terjadi untuk ketiga kalinya,” Tanpa harus berpikir keras pun, mungkin kita sudah bisa menangkap sebuah sinyal bahwa pemukulan ini, sengaja ataupun tidak sengaja, sebenarnya sudah berulangkali terjadi.

Sekali lagi, biarkanlah hukum yang kemudian berbicara. Namun kesaksian manapun yang ternyata kemudian benar, mungkin kita perlu kembali menimbang, perlukan menyerang secara pribadi seorang perempuan hanya karena ia pulang malam dan berbincang dengan kawan-kawan politiknya? Apakah dengan demikian, sang perempuan lalu dilarang aktif berkiprah dalam politik? Apakah karena perempuan telah “melanggar kodratnya” dengan aktif berpolitik, berkumpul, dan berpendapat, lalu ia bisa diperlakukan sesukanya?

Apakah sebuah pemukulan, baik sengaja maupun tidak disengaja, entah dilakukan oleh seorang anggota DPR maupun staf ahlinya, hanya karena telah berhasil menimpakan cap negatif kepada seorang perempuan, lalu bisa dibenarkan? Apakah karena memilih jalan Partai Politik yang berbeda dan ada friksi di antara kedua kubu, lalu perempuan harus menjadi korban? Apakah karena ia mabuk, lantas bisa dipukuli baik dengan alasan sengaja atau tidak sengaja? Kalau kita menemukan seorang laki-laki mabuk di tengah jalan, apakah menjadi justifikasi bagi kita untuk mencederainya, walaupun dengan alasan tak sengaja?

Jika pun kesalahan tersebut benar dilakukan seorang staf kepada sesama staf lainnya, tentu kita pun akan bertanya, apakah si anggota DPR tidak memberi pembinaan dan pengertian kepada seluruh stafnya, bahwa perempuan bukanlah samsak yang bisa dipukul, baik dengan alasan sengaja ataukah tidak sengaja?

Jika pun benar pemukulan tersebut terjadi dengan tidak sengaja, mengapa sampai hari ini kita tidak mendengar kata maaf dari Staf Ahli lelaki tersebut secara eksplisit terhadap Dita sebagai bawahan perempuan dari Masinton? Bukankah sebagai masyarakat yang menganut warga ketimuran, saat tak sengaja menginjak kaki orang lain pun kita tidak segan untuk meminta maaf dengan setulus hati? Mengapa tidak ada pernyataan ingin bertanggung jawab atas konflik di antara kedua bawahannya? Bagaimana pula nanti kalau ternyata kesaksian versi Ditalah yang ternyata benar?

Ke mana rasa bersalah Masinton sebagai atasan keduanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun