Mohon tunggu...
Fitra Riyanto
Fitra Riyanto Mohon Tunggu... Administrasi - Historian

Young Historian | Pembelajar | Membi(a)sakan | Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendekonstruksi Wajah Pendidikan Indonesia

9 Desember 2017   19:39 Diperbarui: 9 Desember 2017   20:37 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Freire menggariskan perlunya para pendidik bersikap tanpa pamrih , dalam artian tidak memaksakan latarbelakang kebudayaan atau pandangan dunia dari kelas sosialnya sendiri. Kata-kata kunci atau tema-tema pendidikan perlu digali dari dunia tematis wong cilik atau terdidik sendiri sehingga kata-kata yang mereka ucapkan adalah kata-kata sejati, bukan mantra-mantra dari luar yang sekadar harus dilafalkan.Pendidikan ialah problem posting education, bukan sekadar pendidikan gaya 'Bank', dimana pendidik menyuapkan pemecah masalah kepada teridik (problem solving) malah dalam makalahnya, Freire dengan Bahasa profetis mengatakan bahwa para pendidik mesti mati (meninggalkan prasangka dan pamrih elitisnya) untuk mengalami "paskah" yaitu "dibangkitkan bersama dengan" para peserta didik.

 Pendidikan tidak boleh jatuh menjadi "bimbingan dan pengarahan" (atau "eksistensi" dalam istilah Freire), karena hal itu hanya akan mengingkari situasi genealogis sejati. Pengetahuan sejati tumbuh dari dialog antarsubjek (model hubungan antarmanusia menurut Marcel atau Buber), bukan antara subjek dengan objek (model hubungan antarmanusia menurut Sartre). 

Dari pihak guru, pendidik atau katakanlah pemimpin masyarakat, diharapkan adanya sikap tutwuri handayani sebagai salah satu sikap yang mutlak perlu.Teori dan metode pendidikan Freire sebenarnya juga sarat dengan nilai-nilai religius, kemanusiaan, percaya diri sebagai suatu bangsa, kerakyatan, dan keadilan sosial. 

Meskipun tak perlu diingkari, bahwa aspek tertentu dari sosialisme ilmiah memang merupakan salah satu inspirasi bagi teori dan metode pendidikan Freire, tetapi bukannya tanpa perbedaan yang tajam pula. Freire tegas menolak tidak hanya "sektarianisme kanan", melainkan juga kiri" karena kedua duanya berpretensi "mengurung sejarah". Sektarianisme kanan karena pamrih-pamrihnya menganggap bahwa dimensi historis paling penting ialah masa kini dan karena itu sektarianisme kanan cenderung mempertahankan status quo. Sektarianisme kiri cenderung menganggap bahwa dimensi historis paling penting ialah masa depan dan karena itu punya obsesi untuk menjungkir balikkan segala nilai. 

Kedua-duanya manipulatif dan hanya menimbulkan penderitaan di kalangan wong cilik. Akan tetapi, sikap tutwuri handayani merupakan salah satu unsur yang diwujudkan dalam metode pendidikan Freire. Dengan terbata-bata, Freire sendiri mengejarnya dengan kata-kata metaforis semisal "mati", "paskah", "bangkit", "metanola" dan lain-lain. 

Lapisan menengah rupa-rupanya lebih sibuk dengan mobilitasnya sendiri daripada sungguh-sungguh prihatin dengan nasib bangsa sebagai suatu keseluruhan.Salah satu pertanyaan Pak Abdurrahman Wahid dalam kata pengantar yang ditulisnya bagi buku Freire yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia ialah, mengapa para pemimpin nasional kita yang nota bene banya eks guru, "segera larut kedalam pola kehidupan sebagai elite negeri? (Freire,1984a)

Dalam memetik sumbangan Freire dan menanggapinya, justru pada titik inilah sebaiknya kita termengu: metode apakah yang bisa membuat para pendidik dan pemimpin tetap bersikap dialogis, tidak mendikte, tidak mendiskreditkan, tidak asal memberi 'cap' dan tetap tutwuri handayani?Dari pemikiran ini seharusnya kita mulai bercermin terhadap sistem pendidikan yang terjadi pada saat ini, apakah mencerdaskan? berpihak kepada orang - orang yg lemah? dan mampukah menghasilkan para intelektual - intelektual yang nantinya akan membangun negara?

REFERENSI

Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, Terj. Utomo Dananjaya, dkk. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Santoso,Listiyono dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz. 

Media.Mu'arif. 2005. Wacana Pendidikan Kritis. Yogyakarta: IRCiSoD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun