Mohon tunggu...
Fitra Riyanto
Fitra Riyanto Mohon Tunggu... Administrasi - Historian

Young Historian | Pembelajar | Membi(a)sakan | Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendekonstruksi Wajah Pendidikan Indonesia

9 Desember 2017   19:39 Diperbarui: 9 Desember 2017   20:37 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, kesadaran naif. Paulo Freire menyebutnya sebagai kesadaran semi-intransitif, karena orang pada tingkat kesadaran ini telah bisa menjadi subjek yang mampu berdialog dengan yang lain, tapi belum sampai pada tahap memahami realitas dalam true act of knowing. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. 

Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural). Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem. 

Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik di masyarakat. Mereka mampu memahami masalah yang mereka alami, namun mereka cenderung menyepelekan dan tidak mengujinya secara cermat. Sehingga mereka sangat rentan dimanipulasi oleh elit politik lewat propaganda, slogan ataupun mitos.  Masyarakat Indonesia saat ini sudah banyak yang memiliki kesadaran seperti itu. Bisa memahami permasalahan yang sedang mereka alami namun terlihat tidak peduli. 

Dapat dilihat ilustrasi problem saat ini, contoh: kasus money politic. Dalam euforia pemilihan umum banyak praktik politik kotor yang mengelilingi tubuh struktur sosial masyarakat kita. Pihak calon kandidat pemimpin bersama tim suksesnya melakukan beragam cara untuk memenangkan percaturan pemilihan umum, termasuk dalam hal ini adalah praktik money politic. Disisi lain, pihak sebagai penentu siapa pemenang dalam percaturan pemilihan umum yakni masyarakat tentunya telah paham bahwa praktik politik musiman tersebut akan kembali hadir. 

Kampanye dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang larangan untuk melakukan serta menerima money politic dalam serangkaian pemilihan umum sekiranya sudah cukup untuk menyadarkan calon kandidat bersama tim sukses dan masyarakat. Namun, pendidikan model gaya bank benar-benar telah merusak seruan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab, praktik money politic tetap saja bergulir disetiap hajatan pemilihan umum. Baik calon kandidat bersama tim sukses dan masyarakat samasama tetap memberikan pemakluman atas praktik politik kotor tersebut. Meskipun diantara mereka sebenarnya tahu bahwa praktik politik yang demikian tidak baik bagi keberlanjutan pendidikan politik kedepannya.  

Ketiga, kesadaran yang paling tinggi dalam arkeologi kesadaran manusia menurut Paulo Freire adalah kesadaran kritis. Manusia dalam kesadaran ini mampu berpikir dan bertindak sebagai subjek serta mampu memahami realitas keberadaannya secara menyeluruh, mampu memahami pemahaman yang kurang baik dalam teks dan realitas. Masyarakat dengan tingkat kesadaran kritis masih sedikit ditemui saat ini. Mungkin karena masyarakat sudah terbiasa di-nina bobo-kan. 

Sehingga susah untuk berpikir kritis. Akibatnya sulit untuk mencapai keadilan. Karena jumlah mereka yang berpikir kritis ini masih sedikit. Kalah dengan suara mereka yang memiliki kekuasaan.Bagi Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis. (Mu'arif. 2005:16) Walaupun hal tersebut tidak akan langsung terjadi secara cepat dan instan, akan tetapi semuanya butuh proses yang bertahap sehingga akan mencapai pada kesadaran tersebut.Banyak pelajaran berharga yang dapat kita tarik dalam pemikiran Freire mengenai pendidikan apalagi jika kita kaitkan kedalam realitas pendidikan dinegeri kita pada saat ini. 

Seperti apa kondisi pendidikan kita? apakah benar sistem pendidikan kita membuat kita menjadi orang - orang yang cerdas dan menghasilkan orang - orang yang dapat memberikan solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari - hari. Lalu apakah pendidikan yang kita rasakan hari ini merupakan suatu upaya untuk membebaskan masyarakat dalam belenggu penindasan? sadari lah bahwa pendidikan yang kita rasakan ini masih jauh dari harapan. 

Pendidikan hanya berorientasikan nilai dan hanya diukur dari segi angka semata. Jika kita katakan bahwa pendidikan hari ini memihak kepada siapa, idealnya dalam aturan perundang - undangan di negeri ini adalah untuk semua rakyat Indonesia baik yang mampu maupun tidak mampu. Namun kenyataannya, pendidikan masih menjadi akses yang sangat sulit dijangkau oleh rakyat miskin dan hanya yang memiliki uang yang banyaklah yang dapat menikmati pendidikan. Belum lagi permasalahan fasilitas pendidikan yang sangat memprihatinkan dan tidak merata kondisinya. 

PAULO FREIRE DAN FILSAFAT TUTWURI

Agak berbeda dengan filsuf sekalibernya, Freire tidak terutama menggugat sistem persekolahan. Melainkan lebih memberi sosok jelas bagi program pendidikan yang menjawab masalah (La Belle, 1976). Dalam berbagai bukunya, Freire mengungkapkan sistem pendidikannya yang sungguh-sungguh berasas filsafat Tutwuri Handayani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun