Dalam pendidikan sistem hadap masalah ini juga pendidik bukanlah orang yang posisinya sebagai orang yang paling paham dan paling berkuasa dalam mengisi "kepala - kepala" anak didiknya. Dalam sistem ini, pendidik hanyalah fasilitator dalam mewadahi dialog pendidikan yang dilakukan oleh beberapa peserta didik dan tentu saja pendidik juga sekaligus akan belajar melalui dialog tersebut.Â
Pendidik juga bertugas dalam membuat suatu wacana mengenai permasalahan tertentu dan teori - teori yang dapat dijadikan dasar analisis yang selanjutnya akan dibahas oleh peserta didik sendiri dengan pandangannya masing -masing, melalui dialog itulah kemudian akan didapatkan suatu kesimpulan yang akhirnya dapat dipahami dengan mudah oleh seluruh peserta didik. Secara singkat, Freire membagi bentuk kesadaran manusia dalam 3 jenis kesadaran: kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran magis adalah kesadaran peserta didik (masyarakat) yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya.Â
Bersifat fatalistis dan selalu hidup dalam ketergantungan terhadap orang lain maupun sistem walaupun ia sebenarnya tahu bahwa dirinya dalam kondisi yang tertindas. Yang kedua yakni kesadaran naif adalah yang lebih melihat aspek manusia sebagai akar penyebab masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Bentuk ekspresi yang dilakukan selalu diselumuti emosional, banyak berpolemik dan berdebat tetapi tidak dengan berdialog.Â
Sedangkan kesadaran yang ketiga dan yang paling terpenting adalah kesadaran kritis yang lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. kesadaran yang ditandai dengan adanya pemahaman yang mendalam mengenai kondisi - kondisi kekinian, ada kemauan untuk mencari solusi terhadap setiap permasalahan yang terjadi secara kritis, dan selalu berusaha dalam mendalami sebab dan akibat dari setiap permasalahan melalui dialog yang bersifat kritis dan mengakar.
Telaah Pemikiran Freire: Tingkat Kesadaran Orang Indonesia Â
Tergelincirnya sistem pendidikan dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat kemerdekaan bukanlah fenomena baru. Kritik bertubi-tubi terhadap perjalanan pendidikan di Indonesia juga tak kunjung melahirkan reformasi pendidikan, justru yang terlahir adalah proses involusi. Terjadi perubahan, hanya bersifat administratif bukan substantif dalam pendidikan. Kehebohan pendidikan kita, tak pernah berbeda sepanjang tahun. Soal mekanisme rekrutmen siswa, Ujian Nasional, seragam sekolah, buku pelajaran dan sebagainya.
Perbincangan penting soal substansi pendidikan, arah dan tujuan, dasar filosofis seolah tak pernah penting dibicarakan. Tidak heran jika situasi tersebut mengakibatkan proses pendidikan kita bersifat meliorisme. Tambal sulam. Setiap ganti menteri, selalu ganti kebijakan. Kehadiran menteri baru selalu menghadirkan kehebohan baru dalam dunia pendidikan kita.
Berbicara mengenai kesadaran jika ditarik dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia hanya mampu memberikan atau mampu mengantarkan pada tahap kesadaran naival conscientizacao (kesadaran naif), seperti yang sudah disinggung tadi bahwa kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial.Â
Ia baru mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial. Berikut akan dipaparkan secara kritis tingkatan-tingkatan kesadaran masyarakat Indonesia:Â
Pertama, kesadaran magis. Dalam hal ini merupakan kesadaran paling rendah yang dimiliki oleh manusia. Faktanya, orang dengan kesadaran ini melihat kehidupan mereka sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, natural dan sulit diubah. Mereka cenderung mengaitkan kehidupannya dengan takdir, mitos dan kekuatan superior yang tidak terbukti secara empiris maupun ilmiah. Sehingga orang dengan kesadaran ini, menganggap kemiskinan dan penindasan sebagai takdir yang tidak terelakkan, sama seperti apa yang sudah di definisikan sebelumnya, orang dengan tipe seperti ini cenderung dogmatik terhadap yang akan dikatakan kepadanya. Â
Mayoritas masyarakat Indonesia berada pada tingkat kesadaran magis dan lebih sering kita jumpai pada mereka yang lemah dan tertindas oleh kekuasaan. Mereka yang tak punya. Mereka terbelenggu oleh permasalahan yang begitu kompleks yang membuat mereka pada akhirnya pasrah dan menerima apa adanya dalam hidup ini, tanpa adanya usaha, perlawanan ataupun tindakan-tindakan. Mereka yang miskin akan tetap miskin bahkan makin miskin lagi. Fakta seperti ini banyak kita jumpai di Indonesia. Contoh: berpikir bahwa sakit dan sembuh merupakan kehendak Tuhan tanpa harus ada usaha penyembuhan itu sendiri serta menganggap bahwa bodoh adalah takdir Tuhan.Â