Mohon tunggu...
Fitran Amrain
Fitran Amrain Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung -

membaca bernilai satu, tetapi menulis bernilai seribu

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gagal Nalar Putusan MK No. 135/PUU-XIII/2015 tentang Orang dengan Gangguan Jiwa Bisa Memilih

30 November 2018   05:09 Diperbarui: 30 November 2018   06:48 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para pemohon berdalih bahwa jika ODGJ harus di dalam pengampuan maka akan memakan waktu lama dan biaya banyak apalagi tenaga kesehatan jiwa tercatat hanya ada 700 orang, yang mana 600 orang tersebar dipulau jawa sisanya tersebar di seluruh wilayah, hal tampaknya terlalu spekulatif. Karena bagaimanapun kita tetap harus memahami peraturan perundang-undangan secara hokum, bukan dengan asumsi demikian.

Harusnya dipahami bahwa setiap perbuatan harus dapat dipertanggungjawabkan di depan hokum, yang dapat mempertanggungjawabkan adalah mereka yang cakap dalam hokum, dalam Kitab Undang-undang hokum perdata ada pengecualian terhadap yang tidak cakap hokum sebagaimana disebutkan dalam pasal 1330 ayat 2, orang-orang yang dibawah pengampuan, yaitu orang gila atau hilang ingatan. Orang-orang yang dibawah pengampuan semua perbuatan hukumnya diwakili oleh pengampunya. 

Hal itu diperkuat dalam HIR Pasal 145 dan Pasal 171 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 145 HIR mengatur bahwa pihak-pihak yang tidak dapat didengar di pengadilan sebagai saksi adalah salah satunya orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai  ingatan terang. Kiranya bisa dipahami bahwa ODGJ tidak cakap dalam hokum. hal ini menandakan telah terjadi disharmoni dengan putusan  MK No. 135/PUU-XIII/2015.

Dalam undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas menyatakan bahwa  penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dalam lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 

Dalam Pasal 29 paragraf a Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, "Negara- negara pihak menjamin hak-hak politik penyandang disabilitas beserta kesempatan untuk menikmatinya atas dasar kesetaraan dengan orang lain dan berjanji untuk: Memastikan agar penyandang disabilitas dapat secara efektif dan sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan orang lain, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.

 Memang benar Negara harus melindungi, dan memenuhi hak setiap warga Negara, tetapi kiranya harus dipahami bahwa hak yang diberikan adalah hak selain memilih, karena bagaimanapun untuk menggunakan hak pilih diperlukan akal yang sehat untuk menentukan masa depan bangsa ini dengan memilih pemimpin-pemimpin yang benar, harusnya diberi pengecualian terhadap ODGJ. 

Menurut pandangan Islam Orang dengan gangguan jiwa tidak bisa diberi beban atau tanggung jawab, karena pada hakekatnya memilih adalah hak yang harus dipertanggung jawabkan kepada bangsa dan negara serta kepada Tuhan yang maha esa. 

Perintah dan larangan merupakan beban-beban (taklif) syariat. Karena itu, taklif hanya dibebankan kepada setiap orang yang berakal sehat dan memahami taklif (pembebanan hukum) tersebut. Taklif adalah  panggilan atau sesuatu yang dikomunikasikan (khiab). Berkomunikasi dengan orang yang tidak berakal dan tidak mampu memaham, seperti berkomunikasi dengan benda mati dan binatang, adalah suatu hal yang mustahil.

Orang yang mampu memahami panggilan (al khiab), tetapi tidak memahami perinciannya, apakah itu adalah larangan atau perintah, mendatangkan pahala atau hukuman, maka orang tersebut seperti orang gila dan anak-anak yang belum mumayyiz (belum dapat membedakan hal-hal  apa saja yang baik dan buruk). 

Orang gila atau anak-anak yang belum mumayyiz sama saja dengan benda mati dan binatang-binatang yang tidak mampu memahami al khib. Karena itu, mereka tidak layak diberi taklif (sehubungan dengan tujuan dari taklif). Sebagaimana tidak bisa memahami pokok pembeciraan, mereka juga tidak bisa memahami kelanjutannya.[7] Perlu dipahami bahwa hukum islam merupakan salah satu dari beberapa sumber hukum.

Para pemohon berdalih bahwa pasal tersebut telah mencabut hak ODGJ dan telah menimbulkan ketidakpastian hokum. Analisa singkat atas dasar ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan: "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara". Atas dasar ketentuan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 tersebut, pengaturan pendaftaran pemilih bagi orang yang tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dalam ketentuan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada adalah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hokum bagi setiap warga Negara dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang efektif, efisien, dan tertib sesuai dengan tahapan penyelenggaraan pemilihan yang demokratis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun