Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia. WHO (World Health Organization) (2013) menegaskan jumlah klien gangguan jiwa di dunia mencapai 450 juta orang dan paling tidak ada 1 dari 4 orang di dunia mengalami masalah gangguan jiwa.
Di Indonesia jumlah klien gangguan jiwa mencapai 1,7 juta yang artinya 1 sampai 2 orang dari 1.000 penduduk di Indonesia mengalami gangguan jiwa dan di jawa Barat sendiri klien gangguan jiwa mencapai 465.975 orang serta tiap tahunnya akan terus meningkat (Riskesdas 2013).
Upaya penyembuhan orang sakit jiwa membutuhkan biaya untuk mendapatkan perawatan kesehatan/mental. Kemalangan bagi kaum yang ekonominya lemah, jika sanak keluarganya mengalami sakit jiwa, anggota keluarganya tersebut biasanya ditelantarkan. Dalam penelitian sering ditemukan orang yang menderita gangguan jiwa masih di terlantarkan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas terhadap penderita gangguan jiwa tersebut.
Salah satunya yaitu fasilitas pelayanan kesehatan. Karena ketentuan tersebut telah diatur oleh Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 dan dijelaskan di dalam pasal 147 menyebutkan bahwa:[5]
1. Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
2. Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita.
3. Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penanganan terhadap orang dengan gangguan jiwa sangat memilukan baik dari kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai, kurangnya sumber daya ahli yang menangani, kurangnya pemahaman dari keluarga yang bersangkutan atau bahkan kultur pemahaman masyarakat.[6] Dalam hal ini John m. pfiffner dan Frank p. Sherwood dalam bukunya administrative organization Mengatakan the culture includes knowledge, belief, art,morals,law,custom and any other capabilities and habits man has a member of society".[7] Hingga berakibat terhadap penelantaran orang dengan gangguan jiwa, sehingga bisa dilihat mereka menggelandang seperti tidak ada yang peduli.
Banyak diantara mereka yang dianiya. Mereka yang menggelandang juga mengganggu lingkungan, merusak fasilitas pribadi maupun fasilitas umum, bahkan orang dengan gangguan jiwa bisa mengancam nyawa orang sehat.[8] Sebagaimana kasus Seorang penderita gangguan jiwa, Sunardi (29), warga Desa Jojo, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, membunuh saudaranya, Sugiyono (55), menggunakan pisau.[9]
Orang dengan gangguan jiwa yang terlantar merupakan tanggung jawab negara dan pemerintah, mereka memiliki hak sebagaimana orang sehat tetapi pada kenyataanya banyak hak-hak mereka yang tidak tertunaikan. Kiranya kita semua harus berfikir kritis bahwa mereka juga merupakan manusia ciptaan tuhan yang patut di lindungi dan ditunaikan hak-haknya.
To The End....................... Â