Dinamika Politik Identitas di Maluku Utara
Oleh: Fitrah Maulana Guret Â
Maluku Utara dikenal sebagai salah satu wilayah yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan sejarah. Kekayaan ini adalah kekuatan yang, apabila dikelola dengan bijaksana, dapat menjadi fondasi kuat bagi masyarakat yang inklusif dan harmonis. Namun, dalam dunia politik kontemporer, keragaman ini kerap kali dimanfaatkan sebagai alat politik identitas, yang bisa mengancam kohesi sosial serta mengubah pola-pola relasi di antara berbagai kelompok di Maluku Utara.
Politik Identitas dalam Kontestasi Politik Lokal
Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan politik identitas dalam konteks pemilihan umum dan pilkada di Maluku Utara semakin terlihat. Politik identitas di sini merujuk pada cara politisi atau kandidat menggarisbawahi aspek-aspek seperti etnisitas, agama, atau budaya tertentu untuk menarik simpati atau dukungan pemilih. Dalam konteks Maluku Utara, hal ini sering kali menyentuh isu-isu berbasis etnis dan agama, karena sebagian besar masyarakat di wilayah ini sangat terikat pada identitas budaya serta keyakinan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Beberapa kandidat atau kelompok politik tertentu kerap menggunakan narasi "putra daerah" atau "pemimpin yang dekat dengan masyarakat adat" sebagai daya tarik utama. Di satu sisi, ini dapat memperkuat identitas lokal yang unik dan membangun kebanggaan masyarakat setempat. Namun di sisi lain, jika tidak diimbangi dengan visi politik yang progresif dan berorientasi pada pembangunan untuk semua, politik identitas bisa menjadi alat yang memecah-belah, menciptakan polarisasi, bahkan menyulut konflik horizontal.
Dampak Politik Identitas terhadap Kohesi Sosial
Politik identitas yang tidak terkontrol berpotensi besar menggerus kepercayaan antar kelompok di Maluku Utara. Identitas etnis dan agama, yang seharusnya menjadi landasan bagi kesatuan sosial, bisa berubah menjadi batas-batas yang memperlemah rasa kebersamaan. Pada tahap yang lebih parah, politik identitas dapat memicu diskriminasi dan eksklusi, membuat kelompok-kelompok minoritas merasa tidak dianggap atau tersisihkan dari proses politik dan kebijakan publik.
Sebagai contoh, dalam beberapa kontestasi politik, terlihat adanya kecenderungan untuk mengabaikan isu-isu substansial seperti pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. Fokus politik identitas yang berlebihan seringkali menutup ruang diskusi mengenai program-program konkret yang seharusnya diutamakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Mengembangkan Politik yang Inklusif dan Berkeadilan
Dalam pandangan saya, Maluku Utara memerlukan pendekatan politik yang inklusif dan berkeadilan, yang menempatkan masyarakat sebagai fokus utama. Para pemimpin politik harus mampu mengakomodasi perbedaan tanpa memanfaatkan identitas sebagai alat untuk meraih dukungan semata. Dibutuhkan visi yang mampu merangkul seluruh elemen masyarakat, memperkuat kesatuan, dan mengatasi permasalahan mendesak seperti pembangunan infrastruktur, akses pendidikan yang setara, serta kesempatan ekonomi yang adil.
Menghadapi pemilihan dan kontestasi politik ke depan, kita perlu lebih waspada terhadap narasi-narasi politik identitas yang berlebihan. Sebaliknya, harus didorong adanya kampanye yang transparan, jujur, serta berfokus pada solusi bagi masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat.
Penutup
Maluku Utara memiliki potensi besar untuk menjadi wilayah yang makmur dan maju. Akan tetapi, politik identitas yang tidak dikelola dengan bijak dapat menghambat perjalanan menuju kemajuan tersebut. Para pemimpin, masyarakat, serta seluruh elemen sipil harus sadar akan pentingnya merawat persatuan di atas identitas dan kepentingan politik sesaat.
Mari kita jadikan Maluku Utara sebagai contoh keberagaman yang bersatu, di mana politik dijalankan bukan untuk kepentingan sempit, melainkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H