Mohon tunggu...
Fitrah Ilhami
Fitrah Ilhami Mohon Tunggu... Musisi - Penulis buku, personil nasyid Fatwa Voice, seorang guru

Penulis buku, personil nasyid Fatwa Voice, guru, dengan situs blog: fitrahilhamidi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Syarat Awal Calon Pemimpin

27 November 2018   18:32 Diperbarui: 27 November 2018   19:44 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sekolah SMP tempatku mengajar, bila akan datang waktu pemilihan ketua OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) maka para calon ketua bakal masuk dari satu kelas ke kelas lain. Tujuannya; menyampaikan visi dan gagasan terhadap kegiatan siswa di sekolah. Tanpa teks.

Setelah itu para guru akan mempersilakan Murid-murid untuk bertanya kepada para calon ketua OSIS. Ada pertanyaan mudah, tapi lebih sering pertanyaan tajam. Maka, nampaklah adu logika di sana. Orasi calon ketua yang kelihatan 'ngayal', tidak tersistematis, akan dibantai habis oleh pemilih, terutama oleh Murid-murid tingkat atas (kelas 9). Murid-murid juga cenderung memilih calon yang track recordnya bagus. Setidaknya yang rajin sholat dhuha, supel dengan teman, tegas dan pintar di kelas, jadi nilai tambah untuk dipilih.

Biasanya, setelah melihat bagaimana cara calon ketua menjawab pertanyaan, guru-guru akan main tebak-tebakan di kantor. Siapa yang layak jadi ketua? Sejauh ini tebakan itu selalu tepat.

Murid yang paling sering ke perpustakaan, paling sering membaca, itulah yang terpilih sebagai ketua. Terbukti, banyaknya bacaan membuat wawasan lebih luas.

Secara psikologis, orasi atau menyampaikan visi misi di kelas-kelas membuat para calon ketua OSIS 'wajib' membawa otak isi penuh. Sebab ia akan berhadapan langsung dengan teman-teman di lingkungan intelektual. Maka anak pemalas, suka tidur di kelas, nilai rapot udah kayak api unggun karena merah semua, takkan sudi ikut pencalonan. Beban moral.

Untuk setingkat sekolah saja, memilih pemimpin harus diuji terlebih dahulu tingkat kecerdasannya. Apalagi tingkat setingkat negara?

Maka harusnya kita pilih yang wawasannya lebih luas.

Lalu bagaimana cara mengetahui orang berwawasan luas?

Cara paling gampang, lihat bagaimana cara dia bertutur. Makin elegan ucapan, makin banyak buku yang ia baca. Sebab, ucapan dipengaruhi isi pikiran, sedang isi pikiran dipengaruhi bacaan.

Kedua, perhatikan karya tulis yang ia buat sendiri. Bukan menggunakan jasa ghost writer. Orang yang menulis buku artinya ia adalah pembaca. Ingat, pembaca yang baik belum tentu jadi penulis. Tapi penulis, pasti pembaca yang baik.

Ya, perhatikan karya tulis tiap calon. Dari sana lah kita akan melihat isi pikiran sang penulis. Bagaimana gagasannya terhadap negara ke depan. Bagaimana jalan pikirannya.

Coba lihat para pendiri negara ini. Mereka adalah maniak buku. Panggila bacaan. Mereka juga menulis untuk menuangkan ide pikiran. Bung Karno, Bung Hatta, Buya Hamka, H. Agus Salim, dan lain-lain adalah penulis ulung.

Sejarah mencatat, kamar di rumah tahanan Bung Karno saat diasingkan ke Bengkulu, penuh dengan buku. Bung Hatta, ketika dibuang ke pengasingan oleh Belanda, hanya boleh membawa satu koper saja. Dan ternyata Bung Hatta mengisi penuh koper yang akan dibawa di pengasingan itu dengan buku. Buya Hamka apalagi. Tercatat sampai beliau meninggal, ada 60 buku lebih yang ditulis.

Buku adalah representasi jalan pikiran seseorang.

Maka, aku sangat senang bila setiap calon pemimpin negara ini diberi syarat khusus agar lolos pencalonan awal. Syarat itu adalah MENULIS BUKU.

Untuk lulus kuliah saja kita harus nulis skripsi. Revisi berkali-kali. Setelah jadi, diuji oleh dosen, setelah diuji direvisi lagi. Rumit. Padahal si mahasiswa tidak menanggung beban siapa pun kecuali dirinya sendiri. Apalagi calon pemimpin negara yang akan menanggung kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia. Harus nulis buku. Setelah itu dibuat semacam seminar bedah buku. Semua rakyat boleh bertanya ini itu pada penulis. Lagi-lagi jawabnya tanpa teks. Harus menjawab dari isi pikiran sendiri.

Bukannya apa-apa sih. Kan presiden itu diamanahi oleh konstitusi untuk mencerdaskan bangsa. Lah, bagaimana bangsa bisa cerdas kalau pemimpinnya gak cerdas?

Aku sangat bersyukur ketika tahu Pak Prabowo Subianto, salah satu calon presiden di pilpres 2019 ternyata sudah punya 4 buku karyanya sendiri. Aku sudah baca buku yang berjudul Paradoks Indonesia. Dengan membaca buku itu, aku jadi tahu gagasan apa yang ia bawa untuk Indonesia ini ketika ia terpilih jadi presiden nanti.

Dengan tulisan berat itu, aku yakin Pak Prabowo gila membaca. Dan benar saja, ternyata buku di rumahnya seabrek. Saat diwawancarai TV One di rumahnya, Pak Prabowo menunjukkan ruang bacanya. MasyaAllah banyak banget bukunya. Saking banyaknya buku koleksi milik Pak Prabowo, sampai-sampai beliau harus menumpuk buku di meja dan bilang harus beli rak lagi. Itu taman surga bagiku.

Ini berita baik bagi pemilih. Satu calon pemimpin kita ternyata suka baca dan sudah memiliki karya tulis sendiri.

Dan kini aku menunggu karya tulis calon presiden satunya lagi untuk dibaca gagasannya.

****

Surabaya, 27 November 2018
Fitrah Ilhami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun