Secara historis, umat Islam tidak dapat dipisahkan dari masalah khilfah/ kepemimpinan. Hal ini bukan hanya disebabkan karena kepemimpinan itu merupakan suatu kehormatan besar, tetapi juga memegang peranan penting dalam dakwah Islam. Kenyataan ini juga terbukti, di mana kepemimpinan tidak hanya aktual pada tataran praktisnya, tetapi juga senantiasa aktual dalam wacana intelektual muslim sepanjang sejarah. Namun demikian, yang perlu diingat ialah Alquran dan hadis sebagai sumber otoritatif  ajaran Islam tidak memberikan sistem kepemimpinan dan ketatanegaraan yang cocok untuk umat Islam, kecuali hanya memberikan prinsip-prinsip universal, mengenai masalah kepemimpinan. Atas dasar prinsip-prinsip universal inilah, para cendikiawan muslim dan para ulama, merumuskan sistem kepemimpinan Islam.
Kontroversi ini menimbulkan berbagai aliran pemikiran yaitu: pertama, aliran tradisionalis yang mengatakan bahwa dasar dan sistem pemerintahan sudah diatur lengkap dalam Alquran; kedua, aliran sekuler yang mengatakan bahwa Islam  hanyalah agama spritual yang tidak memiliki hubungan dengan pemerintahan khususnya politik; dan ketiga, aliran reformis yang mengatakan bahwa Islam  hanyalah memberikan ajaran sebatas nilai-nilai moral dalam praktek politik dan penyelenggaraan negara.
Khalifah dalam Al-Qur'an merupakan pembahasan tentang salah satu kedudukan manusia di bumi. Kedudukan yang dimaksud di sini adalah konsep yang menunjukkan hubungan manusia dengan Allah swt. dan dengan lingkunannya. Ada banyak ayat di Al-Qur'an yang membahas tentang khalifah. Misalnya Q.S. Hud ayat 61, Q.S. Adz-Zariyat ayat 56, dan Q.S. Fatir ayat 39.
Kedudukan manusia sebagai khal fah dapat dipahami dari klausa pertama Q.S. Fir (35): 39 yang artinya "Dialah yang menjadikan kamu sebagai khal fahkhal fah di bumi". Di dalam ayat ini Allah swt. secara terang menjelaskan bahwa Dialah yang menganugerahkan kedudukan manusia sebagai khal fah . Dengan demikian tergambar adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kata khalifah dapat diartikan sebagai "menggantikan yang lain " dapat diartikan "melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya". Kekhal fah an tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidak mampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggatikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H