Mohon tunggu...
Zulfitrah Hasim
Zulfitrah Hasim Mohon Tunggu... Belajar Menulis -

(Institut Tinta Manuru)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemberantasan Korupsi Jalan tak Berpenghujung

19 Oktober 2017   21:45 Diperbarui: 19 Oktober 2017   21:54 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Fhoto: baltyra.com

Kejahatan Korupsi merupakan kejahatan yang tidak ada habisnya diperbincangkan pada seluruh negara, kejahatan korupsi selalu hadir pada setiap persoalan negara-negara di dunia,  apalagi negara yang mempraktekkan Kekuasaan yang Absolut sudah pasti akan melahirkan kekuasaan yang korup, Lort Action mengungkapkan Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely Artinya Korupsi muncul Apabila terjadi Penyalahgunaan Kekuasaan, terlebih bila kekuasaan besifat Absolut atau Mutlak.

Belajar pada Absolutisme Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh presiden seharto dan Kroninya-kroninya, negara di kelola dengan mengunakan tangan Besi, Absolutisme yang di praktekkan oleh Soeharto tersebut berakibat pada  terbentuknya Tatanan pemerintahan yang syarat dengan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sehingga keruntuhan Rezim Orde Baru pada peristiwa Reformasi pada Tahun 1998 salah satu tuntutan Reformasi yaitu Penegakan Supremasi Hukum (Pemberantasan KKN). Begitu akutnya penyakit korupsi di Era Orde Baru tersebut sehingga pada tahun 2004 lembaga Anti korupsi dunia Transparency International (TI) menempatkan mantan Presiden Soeharto sebagai diktator terkorup di dunia dengan total perkiraan korupsi sebesar 15-25 miliar dolar AS.

Bersamaan dengan Lengsernya Rezim Soeharto dari Tampuk kekuasaanya maka tuntutan rakyat tentang penegakan Supremasi hukum ditindak lanjuti dalam Sidang Umum MPR Tahun 1998, sebagai lembaga tertinggi Negara Saat itu MPR kemudian Menetapkan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelegaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, TAP MPR ini salah Satu Poin pentingnya adalah Upaya Pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas kepada siapa pun Juga baik Pejabat negara,  Mantan Pejabat Negara Keluarga dan Kroninya Maupun Pihak Swasta/Konglomerat termasuk Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan Asas Praduga Tak Bersalah dan Hak Asasi Manusia. Namun pada akhirny Mantan Presiden Soeharto tidak pernah di adili sampai beliau wafat pada tahun 2008.

Setelah Reformasi Korupsi jalan Terus

Setelah bergulirnya Reformasi tidak serta merta berakhirnya Prilaku Korupsi, menindaklanjuti Amanat Reformasi yang merujuk pada Tap MPR NoTAP MPR No. XI/MPR/1998 maka pada sidang Umum MPR Tahun 2001 Majelis Permusyawratan Rakyat RI Menetapkan lagi TAP MPR No. VIII/MPR/2001 Tahun  2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Rekomendasi Arah Kebijakan tersebut salah satunya yaitu membentuk undang-undang beserta peraturan pelaksananya untuk membantu percepatan dan evektifitas pelaksanaan pemberantasan dan Pencegahan Korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi,  perlindungan Saksi dan Korban, Kejahatan Terorganisir, Kebebasan Mendapatkan Informasi, Etika Pemerintahan, Kejahatan Pencucian Uang dan Ombuchman Serta perlu Segera membentuk Undang-Undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan Kolusi dan/atau Nepotisme yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana Korupsi.  

Berdasarkan Tap MPR No. TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tersebut maka pada tahun 2002 di bawah pimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri di dirikanlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pendirian KPK ini kerena institusi kejaksaan dan kepolisian saat itu tidak terlalu evektif melakukan pemberantasan korupsi sehingga dibutuhkan lembaga Independen untuk melakukan pemberantasan Korupsi, KPK sesuai dengan pembentukannya diberi kewenangan untuk melakukan, Koodinasi Pencegahan,  Supervisi, Penindakan berupa Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang KPK.

Kinerja KPK sejak didirikan sampai dengan tahun 2017 berhasil menuntut 670 Orang yang melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Profesi/Jabatan diantaranya: Anggota DPR dan DRD 134 orang, Kepala Lembaga/Kementerian 25 Orang,  Duta Besar 4 Orang, Komisioner 7 Orang, Gubernur 18 Orang, Wali Kota/Bupati 60 Orang, Pejabat Eselon I/II/III 155 Orang, Hakim 15 Orang, Swasta 170 Orang, Lainnya 82 Orang. (ACCH: Anti Corupttion Clering House).

Keberhasilan KPK tersebut adalah perstasi dan kemajuan Pemberantasan Korupsi di indonesia tetapi ada beberapa Skandal Mega Korupsi yang sampai saat ini tidak pernah usut tuntas yaitu indikasi tindak pidana korupsi penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada era Presiden Megawati Soekrno Putri yang terindikasi merugikan negara senilai Rp 4,58 triliun, Indikasi Tindak Pidana Korupsi penyelewengan dana talangan (bail out) Century yang terindikasi merugikan negara sebesar Rp 6,7 triliun pada Era Presiden SBY.

Tidak selesainya penanganan dua kasus tersebut oleh KPK maka diskursus wacana Publik tentang Pemberantasan Korupsi KPK sering dituding melakukan tebang pilih karena dua kasus tersebut terindikasi melibatkan Mantan-mantan petinggi negara sehingga KPK tidak berani mengusut hingga tuntas.

Butuh Strategi anti korupsi yang tepat

Rumusan Strategi anti korupsi seyogyanya berfokus pada sistem yang korup bukan (hanya) pada manusia yang korup dengan kata lain kita jangan hendaknya berpikir memgenai korupsi dari sisi manusia tidak bermoral yang melanggar hukum dan menghianati kepercayaan yang diberikan kepadanya meski ini memang benar,  tapi kita harus berpikir mengenai sistem yang mudah di hinggapi bermacam-macam kegiatan melanggar hukum. Korupsi dapat berkurang bila ada pemisahan kekuasaan ada kontrol dan perimbangan, ketebukaan, sistem peradilan yang baik.

Korupsi mudah berkembang bila banyak peraturan yang tumpah tindih dan rumit dan bila wewenang pejabat besar dan tidak dapat di kontrol hal tersebut berlaku bagi sektor pemerintah maupun sektor swasta.

Mengutip Rumus Anti Korupsi yang di rumuskan Oleh Robet Klitgaard, (C=M+D-A) Coruption (C) Korupsi sama dengan [Monopoly Power] (M) [Kekuasaan Monopoly] Plus [Discrection by Officials) (D) [Wewenang Pejabat] Minim Accountability (A) [Akuntabilitas]. Jika seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapat barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu maka kemungkinan besar akan kita temukan korupsi di situ, ini berlaku bagi sektor swasta dan sektor pemerintah, bagi negara miskin dan negara kaya, bagi negara Totaliter maupun negara Demokrasi oleh Karena itu, ada hal yang perlu perhatikan ketika merumuskan strategi anti korupsi,  karena Korupsi adalah kejahatan kalkulasi maka orang cenderung melakukan korupsi jika resikonya rendah, sanksi ringan, dan hasilnya besar dan hasil yang diperoleh akan lebih besar lagi bila kekuasaan monopoli bertambah besar olehnya itu Strategi anti-korupsi hendaknya menggali cara-cara untuk mengurangi kekuasaan monopoli, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan meningkatkan keterbukaan.

Refrensi :

  1. Tindak Pidana Korupsi
  2. Klitkigaard Robet & Dkk : Penuntutan Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah,  Yayasan Obor 2005.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun