Fuqaha membagi dunia menjadi dua wilayah politik keagamaan: Dar al-Islam, yang berarti wilayah Islam atau orang Islam, dan Dar al-Harb, yang berarti wilayah perang atau musuh. Dar al-Harb adalah wilayah yang tidak berada di bawah kekuasaan orang Islam, dan Dar al-Islam adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan orang Islam. Di Dar al-Islam, hukum Islam berlaku untuk semua orang, sementara di Dar al-Harb, hukum Islam tidak berlaku. Jika terjadi terus menerus dengan Dar al-Islam, Dar al-Islam menawarkan syarat-syarat untuk menghentikan permusuhan, yaitu menyatakan takluk atau menyerahkan diri. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak beragama Islam dihadapkan pada tiga pilihan: mereka harus masuk agama Islam, mereka harus dibunuh, atau mereka harus tunduk pada pemerintah Islam dengan membayar pajak atau jizyah sebagai bentuk perlindungan. Jihad berhenti jika orang-orang non-Muslim masuk Islam. Jika tidak, mereka menyatakan takluk dan dapat tinggal di wilayah yang dikuasai oleh orang Islam dengan syarat membayar jizyah. Para fuqaha (ahli hukum Islam) membagi wilayah ini menjadi dua bagian: "dar al-Islam" dan "dar al-harb", yang berarti "negeri damai" dan "negeri perang", masing-masing. Pertama, dar al-Islam yang mencakup semua negara yang memiliki hukum Islam atau penduduknya dapat mengembangkan hukum Islam. Termasuk dalam kategori dar al-Islam adalah semua negeri yang semua atau sebagian besar penduduknya adalah Muslim, dan semua negeri yang dikuasai dan diperintah oleh Muslim meskipun sebagian penduduknya tidak terdiri dari Muslim. Selain itu, termasuk dalam kategori dar al-harb adalah semua negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non-Muslim selama kaum Muslimin dapat melahirkan hukum-hukum Islam. Dar al-harb ini terdiri atas negara dan masyarakat di luar dunia Islam. Penduduk negara itu seringkali dinamai mereka yang tidak percaya atau tidak beriman.
Â
Para fukaha bersandar pada firman Allah SWT, "Perangilah mereka hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka." Kata "jizyah" berasal dari kata kerja "jaza", yang merujuk pada jumlah uang yang diberikan kepada penguasa Islam (Dar al-Islam). Orang yang melakukan jizyah disebut sebagai ahl zimmah atau zimmi. Al-Jurjani, seorang ahli bahasa Arab (740-816/1340-1413), berpendapat bahwa zimmah adalah seperti suatu perjanjian. Bagi Ibnu Manzur, seorang ahli bahasa Arab dan qadi yang meninggal di Kairo (630-711/1232-1311), zimmah juga adalah suatu perjanjian, serta keamanan, jaminan, kehormatan, dan hak, karena mereka adalah orang-orang yang kita tagih jizyah untuk/agar memperoleh perlindungan atas jiwa dan harta mereka. yang dibebaskan dari pembayaran jizyah hanya, perempuan, anak-anak, dan orang tua. hanya pria saja yang di tagih jizyah. Imam al-Syarbini (w. 977/1569), ahli fikih Syaii, mengatakan bahwa tujuan pembayaran jizyah adalah untuk membimbing orang non-Islam dan mendorong mereka untuk menjadi Muslim. Mereka yang tidak menganut agama Islam dan menentang pemerintahan Islam disebut harbi, atau musuh asing. Mereka tinggal di daerah Kair, dan tidak ada undang-undang yang menjamin keselamatan mereka. Ahl zimmah tinggal bersama orang Islam di wilayah Islam. Semua orang yang tinggal di Dar al-Islam, tidak peduli apakah mereka Muslim atau tidak, tunduk pada hukum Islam. Dengan kata lain, hukum zimmi sejalan dengan hukum Islam. Imam Syaii berpendapat bahwa kalimat wa hum saghirun di dalam Al-Qur'an menunjukkan bahwa hukum Islam berlaku bagi mereka yang tidak beragama Islam. Oleh karena itu, penerapan ini benar-benar terbatas pada suatu wilayah. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak berlaku bagi orang-orang yang tinggal di luar negara Islam (Dr al-Islm). Pemikiran dan aturan hukum Islam mempengaruhi praktik jihad, jizyah, dan pemisahan wilayah antara Muslim dan non-Muslim di Kesultanan Samudera Pasai. Pada tahun 1323, pendeta Fransiskan Odorigo de Pordenone mengunjungi Samudera Pasai sebelum kedatangan Ibnu Batutah. Ia mengatakan bahwa kerajaan (Pasai) selalu bersemangat dengan kerajaan Lamuri, yang pada saat itu belum beragama Islam. Muhammad Malik al-Zahir, raja saat itu (1297--1326), dan kakeknya, Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346--1383). Kunjungan Ibnu Batutah memicu perang suci. Menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Ahmad adalah seorang yang sangat saleh dan berjihad melawan orang-orang bukan Islam. Karena Samudera Pasai berada di wilayah Islam yang telah menjadi kesultanan, dan kerajaan-kerajaan di sekitarnya berada di wilayah kair, jihad terus berlanjut. Oleh karena itu, penguasa Islam harus mengalahkan dan mengalahkan mereka. Perang tersebut tidak akan berhenti sampai mereka memeluk Islam. Jika tidak, mereka perlu membayar jizyah. Menurut Ibn Batutah, kerajaan-kerajaan di sekitar Samudera Pasai yang membayar jizyah kepada kair meminta perdamaian (sulh). Ini adalah apa yang kita sebut sebagai Dar al-Sulh, atau wilayah damai, yang merupakan pola ketiga selain wilayah Islam dan wilayah kair. Corak ketiga berbicara tentang negara-negara yang "membeli" perdamaian melalui jizyah. Dalam hal ini, Islam membangun hubungan damai dengan pertukaran, atau jizyah, sebagai ganti rugi. Ini adalah keadaan damai yang diperlukan oleh situasi saat ini. Hingga akhir pemerintahan Sultan Samudera Pasai, sumber dari Portugal memberi tahu kami bahwa Raja Samudera Pasai, (jeinal) atau "Zainal Abidin," telah meminta jizyah kepada kaum minoritas. Kami mengira mereka adalah penduduk non-Muslim yang tinggal di wilayah Islam dan membayar jizyah untuk tinggal di sana. Kita juga tahu bahwa dengan jihad, Kesultanan Samudera Pasai menjadi besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H