Kondisi ekstra lain ketika benar-benar tidak mau minta maaf, saya harus pakai nada selembut-lembutnya dan bicara "dek, maafin zidney ya tadi udah teriak-teriak ke adek, boleh ndak dimaafin?". Ketika tangan mereka sudah mau meraih tangan saya, kata kunci selanjutnya "lanjut main yuk!."
That's why aku percaya, hati anak kecil itu punya stock ribuan maaf.
Cerita berlanjut ketika tahun ajaran baru sudah mulai berlangsung, ehmm tepatnya DARI PROSES SELEKSI DONG. Iya, saya udah mumet dari proses seleksi penerimaan peserta didik baru karena sistemnya online dan banyak orang tua yang kurang mengerti. Akhirnya satu per satu tetangga saya memohon untuk anaknya belajar di rumah saya dengan "LES". Persoalan biaya bagi saya urusan kesekian, tapi urusan pemahaman jauh lebih penting. Saya sadar ternyata belajar di kelas adalah PRIVILEGE.
Kalau di kelas, bisa modifikasi RPP kepada siswa tetapi selama online ya sangat terbatas. Sebelumnya saya jabarkan dulu kondisi les, ada satu anak SMA kelas 3, satu anak SMK kelas 1, dua anak kelas 5, satu anak MTS pesantren, satu anak kelas 2, dan satu anak SMP kelas 1. Setiap pagi yang SMA sederajat sudah cukup paham dengan pola pembelajaran e-learning. Sisanya, saya handel seperti belajar kelompok.Â
Persoalannya macam-macam mulai dari anak yang bosan hingga tugasnya yang menumpuk. Menumpuk karena sehari bisa 2-3 tugas harus dikumpulkan dalam jangka waktu tertentu. Kerumitan ini saya rasakan setidaknya jam setengah 8 hingga jam 12, kami bertujuh pusing dengan tugas-tugas online. Dua sumber yang menjadi acuan saya itu google dan buku cetak mereka. Sisanya benar-benar bergantung pada pengetahuan dan kreativitas saya.
Tidak boleh ada pembatasan dalam pendidikan, cukup PSBB aja
Persoalan kuota internet, ya walaupun kami di Jakarta namun profesi orang tua di sekitar sini ya ojek online hingga pedagang. Beban kuota internet yang ditanggung peserta didik bikin saya akhirnya pasang wifi di rumah, tentunya dengan patungan beberapa orang. Persoalan ini bikin pusing nomer dua, karena yang pertama adalah keterbatasan pengetahuan orang tua murid terhadap mata pelajaran sekolah. Guru yang biasanya ada di Sekolah kini harus digantikan dengan peran Orang tua.
Belajar les yang saya lakukan belum bisa menggantikan peran pembelajaran untuk dikatakan pendidikan. Sejujurnya saya lebih banyak membantu menjawab soal ketimbang memberikan pendidikan. Jadi diluar waktu menjawab quiz, saya luangkan untuk mengajarkan satu dua bab yang biasanya dijelaskan di ruang kelas. Tantangan saya adalah kelelahan belajar serta metode pembelajaran dari sekolah yang sama. Misalnya kasus anak sd kelas 2, gurunya hobi sekali memberi soal berhitung terus tetapi yang kelas 5 lebih sering tentang paragraf.
Kejenuhan bisa dibilang menjadi batasan terbesar, tapi jangan berhenti. Proses pendidikan anak harus tetap berjalan walau banyak batasan yang ada.
Saya salut sama banyak kondisi murid yang kesulitan internet di luar sana yang punya alternatif belajar seperti pakai HT atau bahkan guru yang mendatangi muridnya. Semangat ya bu, pak. Melawan keterbatasan dalam pandemi corona ini. Salam dari anak muridmu yang rindu belajar di kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H