Mohon tunggu...
Fithri Dzakiyyah
Fithri Dzakiyyah Mohon Tunggu... -

Fithri Dzakiyyah Hafizah, aktif dalam beberapa gerakan perdamaian, di antaranya sebagai trainer resmi Peace Generation Indonesia, sekretaris di sebuah organisasi kepemudaan Indonesia, Youth Studies Institute, dan sekretaris di sebuah organisasi Islam, Gerakan Islam Cinta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Allah Mencintaiku?

31 Desember 2016   18:27 Diperbarui: 31 Desember 2016   18:54 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah Aku Mencintai Allah?

Nah, kalau begitu, mengapa tidak kita coba balik saja pertanyaannya menjadi, “Apakah Aku Mencintai Allah?” Karena Allah senantiasa dekat, karena kemana pun kita menghadap, maka di sanalah wajah-Nya, karena Allah lebih dekat dari urat nadi, karena Allah secara Dzati adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Adil. Sungguh bukan Allah yang akan menjauh dari kita, namun kita lah yang menjauhkan diri daripada-Nya. Mengapa? Karena kita melupakan-Nya, karena kita memikirkan diri kita sendiri, karena kita sibuk memperkaya diri, sibuk menyenangkan diri sendiri, dan lupa darimana kita berasal dan kemana kita akan kembali.

Namun, selalai-lalainya kita terhadap Allah, Allah masih saja tidak absen menyayangi kita. Kita masih Ia berikan usia, masih Ia berikan kecukupan, masih Ia berikan sisa kehidupan, masih diberi kesempatan untuk menjejak bumi, juga berinteraksi dengan manusia dan alam. Padahal jika dipikirkan lagi, kita sudah menghianati-Nya begitu dalam, tenggelam dalam narsisme dan egosime. Namun Ia selalu ada, dan masih membiarkan semesta untuk kita tempati, meski kita acuh tak acuh pada-Nya.

Berapa banyak yang mengaku pecinta tapi masih dengan enteng melukai hati manusia lainnya? Berapa banyak yang mengaku pecinta hanya untuk mendapat pengakuan dan menunjukkan keangkuhan? Berapa banyak yang merasa berlaku benar namun masih suka berbuat onar? Berapa banyak yang mengaku pengikut Kanjeng Nabi Muhammad, namun baca al-Qur’an saja belum tamat? Berapa banyak yang merasa banyak bersedekah namun tak absen dari ghibah? Berapa banyak yang mengejar surga namun menjual nama agama dengan bangga? Berapa banyak yang mengaku beramal dengan sukarela namun masih menghitung-hitung pahala? Berapa banyak yang sesungguhnya tulus dan murni mencinta-Nya?

Jadi, apakah aku mencintai Allah?

Ketika kita jatuh cinta pada seseorang, pernahkah kita terus gelisah karena takut ia tidak merasakan hal yang sama dengan kita? Pernahkah kita dibuat tak bisa tidur karena khawatir padanya? Pernahkah kita absen mengecek hp dan melihat update-update statusnya? Pernahkah kita merelakan waktu kita sia-sia demi mampu melihatnya dari kejauhan, atau melihatnya tersenyum, atau mendapat sedikit sapaan darinya? Pernahkah kita relakan uang kita dikorbankan demi sebuah hadiah yang mampu mengesankannya agar dia jatuh hati pada kita? Pernahkah kita berupaya terlihat bersikap semanis dan sebaik mungkin demi dapat bersamanya? PADAHAL, masih belum ada kepastian darinya bahwa ia pun mencintai kita.

Nah, sekarang, pernahkah kita rasakan perasaan semacam itu terhadap Tuhan Yang tiada jemunya menyirami kita dengan cinta kasih, jika ada di antara kita yang mengaku sebagai pecinta?

Adakah kita tak bisa tertidur lelap berhari-hari karena mengingat-Nya? Adakah kita selalu memenuhi seluruh panggilan-Nya untuk menemui-Nya tanpa absen? Adakah kita habiskan waktu untuk senantiasa mengingat dan menyebut-Nya? Adakah kita merelakan seluruh harta demi mendapat ridha-Nya? Adakah kita selalu berusaha untuk memperbaiki diri dan berlaku sebaik mungkin demi diterima oleh-Nya? Adakah kita mencintai-Nya tanpa embel-embel, tanpa ingin mendapat pujian, tanpa ingin supaya dilihat orang? Adakah kita memahami-Nya sebenar-benarnya dengan terus mempelajari tanda-tanda-Nya di semesta? Adakah kita benar-benar memuja-Nya dari kedalaman hati, ataukah kita hanya narsis sendiri?

Jadi, apakah aku mencintai Allah?

[1] Potongan syair ini dikutip dari Buku Haidar Bagir, Mereguk Cinta Rumi (Jakarta: Mizan, 2016), hal. 132, 280.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun