Drama itu pun berhasil dituntaskan di Munich. Bayern Munchen yang dikenal dengan mentalnya yang sudah sangat teruji dalam pertandingan-pertandingan besar harus terpuruk dalam kontes adu penalti. Sebuah hal yang tidak lazim mengingat dalam laga tos-tosan ini, Munchen dikenal sebagai jawaranya. Bahkan dari jauh hari Bastian Schweinsteiger telah berujar “Chelsea harus mengalahkan Bayern Munchen dalam 120 menit jika mereka ingin mencium trofi Liga Champions. Jika gagal, Munchen lah yang berpesta” sebuah ucapan yang harus ditelannya mentah-mentah karena dia merupakan salah satu eksekutor yang gagal menceploskan bola ke gawang Peter Cech selain Ivica Olic.
Dan Drogba pun menjadi pahlawan. Golnya di penghujung waktu normal dan keberhasilannya dalam mengeksekusi penalti terakhir membawa Chelsea menjuari Liga Champions pertama semenjak klub ini berdiri di 1905. Tidak ada yang menyangka Drogba yang terbilang uzur dapat menjadi pahlawan. Tidak ada yang menyangka, Di Matteo yang hanya pelatih sementara dengan skuad yang compang camping dapat mempersembahkan piala kemenangan dalam Liga Champions bahkan berujung Double Winners karena sebelumnya juga memenangi piala FA. Bukan Mourinho yang spesial, bukan Scolari yang sudah teruji membawa Brazil merengkuh piala dunia di tahun 2002, bukan Guus Hiddink yang dipuja karena membawa Korsel masuk semifinal piala Dunia pertama kalinya, dan Bukan Anceloti yang sudah membawa Milan merengkuh dua kali duara di ajang liga Champions. Melainkan seorang Di Matteo, seorang yang bukan siapa-siapa yang mampu membawa Chelsea dicatat dalam buku sejarah.
************************************************************************************************************
Dari dua episode ini kita bisa belajar, tidak ada yang tidak mungkin. Sebuah impian memang harus diperoleh dengan perjuangan yang mengakar. Jatuh bangun adalah bumbu dari perjuangan yang justru harus melentikkan semangat kita dalam meraih segala impian kita.
Bravo City, Bravo Chelsea
Fithra Faisal Hastiadi
Dosen di FEUI
Penikmat sepak bola