Terkadang manusia menjadi sangat plin-plan.
Di hari-hari sebelumnya, kata kasih dan pandangan penuh cinta terlontar begitu saja mengingat namanya. Duduk, minum, makan, bahkan ketika melihat orang yang tak sengaja berpapasan di jalan seolah mengingatkan akan wajahnya, senyumnya. Ketika bersama, kungkungan tangan hangatnya mengisi celah jari, seakan memang begitulah selayaknya diciptakan celah di antara jemari manusia, untuk saling bertautan.
Di lain hari, bertingkah seolah tidak saling mengenal. Bahkan menganggap keberadaannya tidak berada di sekitar. Seperti saat ini.Â
Aku sibuk dengan dunia di mana aku mencoba memisahkan diri, di mana dia tidak akan bisa memasukinya, menggangguku. Tanganku yang sedikit gemetar kumasukkan ke dalam saku hoodie, memainkan koin-koin yang bergumul di sana. Kucoba untuk memejamkan mata, berusaha hanyut menikmati lagu yang sengaja kusetel dengan volume melewati peringatan ponselku.Â
Napas berat lolos dari mulutku ketika kepura-puraanku membuatku merasa bodoh. Suara percakapannya dengan teman di samping kirinya nyatanya lebih merasuki gendang telingaku daripada lagu Korea dengan genre dance yang berisik dari headset yang menyumpal kedua telingaku. Sepertinya aku harus menggumamkan lirik lagu ini yang baru kuhapal tadi pagi.
"We got that power, power
I eumageul tonghae-e
Gachi hanmoksoriro neo-"
"Ra, bus-nya nyampe, ntar-" suara yang sangat mengganggu itu menginterupsi acara menyanyiku karena bus yang kami tunggu sudah tiba.Â
Aku segera bangkit tanpa menghiraukan keberadaannya. Untung saja seorang siswa angkatanku –yang tak kuketahui namanya– duduk di sampingku. Aku tidak berharap sama sekali dia akan kembali duduk di sampingku seperti di halte tadi. Setidaknya mengetahui dia mengambil tempat duduk jauh di belakang sana membuatku aman. Tidak perlu lagi menyumbat telinga dengan lagu keras, aku segera mengganti lagu tadi dengan lagu yang lebih lembut dari album yang sama. Aku pun memejamkan mata menikmati lagu.Â
Dia tadi menyapaku dan itu sangat menggangguku. Aku menjadi sangat tidak sabar menanti kelulusan SMA-ku. Aku ingin pergi jauh darinya. Membenci segala sesuatu tentangnya, nyatanya tidak lah mempan mengingat dia masih berkeliaran di sekitarku. Sekeras apapun aku menghindar, pasti ada saja alasan bagi kami untuk bertatap muka, tentu dengan tidak sengaja. Di koridor, depan papan pengumuman, di perpustakaan atau di halte.Â