"Peter van Gils, seorang keturunan Belanda tulen yang hidup di Jawa Barat. Usianya 6 tahun, tak tahu banyak tentang kehidupan yang sedang dijalani oleh keluarganya. Bandoengsche atau Bandoeng merupakan kota kelahirannya, saat ini dikenal dengan sebutan kota Bandung. Namun, ayahnya ditugaskan ke tempat lain tak jauh dari Bandoeng sesaat setelah Peter lahir, memboyong keluarganya ke kota itu."
  Dari penggalan paragraf tersebut, Risa Saraswati menggambarkan masa penjajahan Belanda di Indonesia. Nama Bandoeng sebutan dalam bahasa Belanda untuk kota yang sekarang dikenal sebagai Bandung di Jawa Barat, Indonesia. Asal usul nama ini dapat ditelusuri ke zaman kolonial Belanda di Indonesia. Kota Bandung awalnya adalah sebuah desa kecil yang bernama Kampung Bandung. Pada abad ke-17, Belanda mulai mengembangkan daerah tersebut sebagai pusat perdagangan rempah-rempah.
  Pada tahun 1786, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah pos perdagangan di kawasan tersebut yang dikenal sebagai "Bandoeng". Nama ini kemungkinan berasal dari kata dalam bahasa Sunda "bendung" yang mengacu pada bendungan atau saluran air yang digunakan untuk mengairi sawah.Â
Pada tahun 1810, Bandoeng resmi diakui sebagai kota kecil. Selama masa kolonial, kota ini menjadi salah satu pusat penting bagi pemerintahan Hindia Belanda di Jawa Barat. Setelah kemerdekaan Indonesia, penulisan ulang dalam ejaan Indonesia menyebabkan nama kota tersebut berubah menjadi "Bandung". Namun, jejak sejarah dan warisan budaya kolonial masih dapat ditemukan di kota ini hingga saat ini.
  Peter van Gils, tokoh utama yang diceritakan oleh Raisa Saraswati di novel berjudul "Peter", terbit pada tahun 2017 cetakan ke 7, jumlah halaman 176 halaman. Raisa terkenal sebagai penyanyi dan penulis lagu, ia seorang indigo yang mempunyai teman hantu, salah satunya adalah Peter. Raisa tertarik untuk menulis novel dari kisah teman-teman hantunya, dimulai dari Peter. Â
Peter si anak yang pemalas dan begitu manja pada ibunya. Beatrice sesosok ibu yang sangat menyayangi anak semata wayangnya itu, bahkan selalu membela anak nya. Berbeda dengan Albert, sesosok ayah yang kata Peter sangat menakutkan, Albert mendidik Peter sangat keras, hal ini dilakukan agar kelak anaknya menjadi seperti dirinya. Namun fisik dan kepribadian Peter menjadi konflik di keluaga tersebut, ayahnya merasa fisik Peter yang tubuhnya kecil, pendek, dan tidak pintar adalah aib yang memalukan.
  Cover buku ini memang menimbulkan asumsi tentang kisah seram yang melibatkan hantu-hantu atau mahluk astral. Namun, dalam kenyataannya, sebagian dari asumsi tersebut terbukti benar, sementara sebagian lainnya tidak. Meskipun kisahnya melibatkan elemen-elemen supernatural seperti hantu atau mahluk astral, buku ini tidak terlalu menekankan unsur seram. Sebaliknya, menurut saya, buku ini lebih menginspirasi daripada menakut-nakuti.
  Novel ini memang tidak tebal, namun sangat cocok untuk para pembaca yang tidak terlalu suka novel yang tebal, juga sangat cocok untuk melatih membiasakan membaca. Saya menghabiskan membaca novel ini hanya dua hari saja. Dengan novel ini kita juga belajar dari nilai moral yang diusung novel ini, ketika Peter belajar bersama mamanya di taman, ketika itu Peter memetik bunga, mamanya berpesan agar perbuatannya tidak diulangi, memetik bunga sama saja melukai hati mamanya. Ini mengajarkan kita untuk selalu menyayangi dan merawat lingkungan sekitar.
  Walaupun Peter digambarkan menjadi anak yang banyak kekurangannya, saya mengaguminya. Karena sedikit mirip dengan saya, sebagai anak semata wayang hal yang wajar jika menjadi manja, sebab kasih sayang hanya diberikan oleh satu anak. Seharusnya orang tua tidak terlalu keras mendidik anak, yang terpenting mendidik agar mandiri.Â
Saat memasukki jalannya cerita, saya merasa melihat cerminan saya sendiri. Pada saat Peter pertama masuk sekolah, ia ditemani oleh mamanya, didalam kelas Peter menjadi bahan lelucon teman-temannya karena tak pandai berbahasa Belanda ketika ditanya gurunya. Ini mengingatkan saya waktu SD menjadi bahan guyonan dikelas dan dianggap tak mampu mengerjakan soal yang dianggap mudah, saya pun mengadu ke ibu saya dan akhirnya teman-teman saya dimarahi.
  Kisah hidup Peter yang terungkap hingga halaman 73 sungguh menggugah hati. Meskipun ditolak di sekolah HIS, upaya sang ibu untuk mendidiknya tidak pernah surut. Bahkan ketika guru-guru datang ke rumah untuk mengajarinya, Peter masih menunjukkan sikap nakal yang membuat mereka menolaknya. Namun, kegigihan sang ibu untuk mengajarinya langsung memberikan nuansa penuh inspirasi dalam perjalanan hidup karakter ini.
"Kita lanjutkan, ya!" Beatrice kembali riang. "Kau tahu, bunga ini memang dijuluki bunga kertas. Nama aslinya adalah Bougainvillea. Agar lebih mudah, orang-orang menyebutnya Bougenvil." Saya menyoroti cuplikan tersebut, karena mungkin tak sedikit orang mengetauhi bunga Bougaivillea, biasanya ditanam didepan rumah sebagai hiasan.Â
Ternyata bunga ini memiliki sejarah tersendiri, Tanaman ini pertama kali dijelajahi oleh seorang ahli botani Prancis, Louis Antoine de Bougainville, pada akhir abad ke-18, yang memberikan namanya pada bunga ini. Bougainvillea tumbuh subur di daerah tropis dan subtropis, dengan warna bunga yang mencolok dan daun yang hijau. Mereka sering ditemukan sebagai tanaman hias di taman, pagar, dan dinding karena daya tarik visual yang kuat. Bougainvillea juga sering digunakan dalam lanskap untuk menambah keceriaan dan warna.
 Tak hanya bunga yang saya soroti, ketika disuatu moment ketika Peter  diajak mengunjungi Batavia menghadirkan gambaran menarik tentang perjalanan sejarah kota Jakarta. Kata-kata Papa Peter mencerminkan pandangan yang menarik, membandingkan pembangunan Batavia yang terinspirasi dari Belanda dengan hasil akhir yang tidak seindah kota asalnya.Â
Hal ini memberikan wawasan tentang bagaimana perubahan arsitektur dan budaya telah memengaruhi perkembangan kota-kota di masa lalu, sambil memberikan perspektif baru bagi pembaca tentang warisan kolonial di Indonesia.
  Dengan penuh kepahitan, waktu yang akhirnya tidak bersahabat menghadirkan cobaan baru bagi keluarga Peter saat Nippon masuk merengsek ke Bandoeng. Risa menutup kisah manis tentang si anak nakal kesayangan mama Beatrice dengan kemungkinan tak terduga tentang masa depan Peter, yang diharapkan kelak akan menjadi seorang pemimpin.Â
Dari penutupan kisah Peter melukiskan sejarah tentang, tentara Jepang (Nippon) melancarkan invasi terhadap Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tahun 1942 selama Perang Dunia II. Dengan cepat, pasukan Jepang berhasil mengalahkan tentara Belanda yang kurang siap dan memaksa Belanda untuk menyerah.Â
Pendudukan Jepang di Hindia Belanda berlangsung hingga tahun 1945, yang kemudian diikuti oleh proklamasi kemerdekaan Indonesia. Periode pendudukan Jepang di Indonesia merupakan masa yang penuh penderitaan dan penindasan bagi penduduk setempat, tetapi juga menjadi awal dari gerakan nasionalis yang semakin kuat untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H