They’re authentic, by comparing to the modern life, Setulang still keeping their traditional living” Demikian sebagian kekaguman yang diungkapkan seorang turis Amerika, saat kami berkunjung ke Tana Olen’, Desa Setulang. Salah satu ‘surga’ dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Malinau, Propinsi Kalimantan Utara.
Boleh dikata, Desa Setulang merupakan bagian dari pengembangan wisata Kabupaten Malinau berbasis ekonomi lokal dan pelestarian lingkungan. Kearifan dan budaya masyarakat setempat menjadi ketertarikan yang mendasari Haya, seorang turis berkewarganegaraan Amerika secara khusus menyambangi Kabupaten Malinau, untuk melihat langsung kehidupan masyarakat Suku Dayak Kenya.
Aura eksotis segera menyebar sesaat ketika kami memasuki wilayah Desa Setulang dengan penanda Gerbang ‘Selamat Datang’ yang menampilkan ukiran khas suku Dayak Kenya Uma’ Lung. Berhenti sejenak di depan pintu masuk tersebut, Haya, mulai menghamburkan runtutan jepretan kamera pocket yang memang disiapkannya untuk mengabadikan berbagai momen selama berkeliling di Setulang. Langkahnya kadang terhenti sekedar mengeluarkan kekaguman betapa uniknya ukiran yang terpahat pada batangan kayu Ulin di Gerbang tersebut. Padahal matahari cukup terik bersinar, namun tidak mengurangi semangatnya berpose cantik membelakangi gerbang. “Don’t forget to show that carving, I’m loving its so much with the details” pesan Haya pada saya setiap jepretan kamera yang terarah kepadanya. Kali ini saya adalah guide yang juga bertindak sekaligus sebagai photographerdan pengarah gaya. Tak apalah, bayarannya juga sepadan, saya membatin. Hehe..
Setulang memang dikenal sebagai desa wisata. Pemerintah Kabupaten Malinau menetapknya menjadi salah satu destinasi tourism untuk pelestarian lingkungan dan penguatan budaya serta upaya meningkatkan pendapatan asli daerah. Konsep ekowisata menjadi trademark yang dibangun agar terjadi peningkatan kunjungan ke desa ini setiap tahunnya. Bersinergi dengan masyarakat setempat, Pemerintah Daerah mengelaborasi prinsip-prinsip pengembangan ekowisata kedalam berbagai suguhan kesenian tradisional dan kearifan lokal. Satu prinsip ekowisata diantaranya adalah konservasi dengan penetapan daerah perlindungan dan pelestarian hutan. Konservasi kawasan Hutan Tana’ Olen menjadi wilayah yang sangat prestisius membawa nama Kabupaten Malinau mendunia. Selain pernah menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2003, Desa Setulang juga menjadi salah satu finalis World Water Contest yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang pada Maret 2003. Kontes ini memilih desa-desa di seantero dunia yang memiliki kegiatan berwawasan lingkungan dan berjuang dalam mengelola sumber daya airnya (Desa Setulang).
Setelah berunding tentang waktu keberangkatan dan kegiatan yang akan kami lakukan selama di Setulang, sayapun bergegas menyiapkan kendaraan dan perlengkapan sekedarnya untuk satu hari mengintari Desa wisata tersebut. Awalnya saya mewanti-wanti bahwa perjalanan cukup melelahkan dan harus melewati kondisi jalur yang menantang. Tetapi ternyata saya salah. Beberapa bulan yang lalu, akses menuju setulang memang belum memadai untuk kendaraan biasa (no 4wd), namun sekarang, luar biasa, jalan mulus beraspal hitam menjadi bagian promosi yang membanggakan untuk disampaikan kepada wisatawan yang akan berkunjung. Haya sendiripun memuji bahwa kondisi jalan seperti yang kami lewati jauh lebih baik keadaannya dibanding dengan beberapa lokasi didaerah lain, bahkan Ia mengkomparasikannya dengan daerah wisata di India dan Afrika. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Malinau membangun fasilitas jalan menjadi pointpenting untuk menarik para tourism berkunjung ke Malinau. And I’m proud to be inhabitant.
Percakapan menarik dengan guyonan ala-ala Amerika menjadi flashing canda yang menghibur kami selama perjalanan menuju Setulang. Banyak terlontar jokes segar hingga waktu sejam berkendara tidak terasa. Sayapun akhirnya mengetahui berbagai hal tentang Haya. Seorang budayawan yang bekerja menjadi guru di salah satu perguruan tinggi di New York, Amerika Serikat. Ia terlahir sebagai orang Polandia, namun karena mengikuti orang tua yang bermigrasi ke Amerika, Haya kemudian memiliki status kewarganegaraan sebagai penghuni negeri Paman Sam, dengan Accent sebagai Poland yang masih kental terasa. Tubuhnya terlihat bugar dan kuat, even she’s 65 years old. Dia sangat menjaga pola makan dan gaya hidup sehat. Tidak merokok dan menghindari minuman beralkohol. Seringkali nasehat bijak terlontar darinya untuk sedikit mengingatkan saya arti pentingnya hidup sehat. Pun sebagai western people, dia sangat respectdan mengerti budaya ketimuran. One more chance, I’m so proud to be Indonesian.
Mengemas sebuah produk destinasi dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat memang membutuhkan konsistensi dan komitmen semua pihak. Keterlibatan dan kreasi merupakan faktor penting agar wujud partnership dan collaborative developing on tourism mengarah kepada keberhasilan memunculkan Desa Setulang menjadi pilihan utama berwisata, khususnya di wilayah Propinsi Kalimantan Utara. Arah itu sudah dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Malinau bersama dengan masyarakat Setulang. Saya rasakan sendiri ketika berbagai event budaya disuguhkan di desa tersebut. Masyarakat setempat terbiasa dengan kedatangan turis-turis asing. Mereka senantiasa menyapa dan tersenyum. Efeknya juga dirasakan oleh Haya. Ia memuji kesederhanaan dan keramahan warga Setulang. Menurutnya, bagian penting dari hadirnya Setulang sebagai desa wisata merupakan alternative dari berbagai bentuk pariwisata konvensional. Banyak orang berduit yang berwisata dengan gaya hedonis, namun banyak juga orang-orang yang ingin kembali merasakan harmonisasi alam dan manusia. Dan Setulang menyuguhkan hal tersebut.
Saya mengutip penjelasan pada situs online Wikipedia tentang rumusan ekowisata yang pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain pada tahun 1987. Hector mengemukakan bahwa ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan, rumusan yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain tersebut belumlah cukup untuk menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap hanyalah penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa.
Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, yang menyatakan bahwa ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”. Penjelasan ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Hector Ceballos-Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam bebas atau terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap keaslian dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.
Sekira pukul 10 pagi kami tiba di Desa Setulang. Kendaraan saya parkir diseberang Balai Adat ‘Adjang Lidem’. Posisinya terpisahkan oleh lapangan bola yang menjadi pusat desa Setulang. Dari kejauhan, bangunan Balai Adat terlihat kokoh berdiri dengan arsitektur khas Suku Dayak Kenya. Jelas sekali bangunan ini menggambarkan betapa budaya masyarakat setempat sangat tinggi dan bersahaja. Ukiran-ukiran khas memenuhi setiap dinding dan tiang bangunan. Unsur kayu mendominasi Balai Adat tersebut. Ditemani oleh seorang bapak, kami diperkenankan masuk dan mengambil beberapa foto di dalamnya. Decak kagum selanjutnya mewarnai setiap perkataan Haya. Typical engraving dalam bangunan Balai Adat seakan bercerita tentang kehidupan dan betapa eloknya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Sesekali kami singgah dirumah-rumah penduduk yang oleh Haya sungguh otentik menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak sesungguhnya. Bentuk rumah panggung yang menjadi ciri khas masyarakat Kalimantan dengan hiasan berupa sa’ung dan tameng berukir nampak menempel di dinding ruang tamu kebanyakan rumah warga. Jelas sekali Haya sangat menikmati. “I don’t know how to say, but their so amazing. I won’t wasting my times and thank you to lets me know this wonderful village and its inhabitant as well” Ucap Haya sembari masuk kedalam rumah hingga ke dapur.
Saya dan sang pemilik rumah hanya tersenyum lucu memperhatikan setiap geraknya. Tidak hanya itu, Haya bahkan membeli beberapa tas gendong dari rotan yang sudah tua. Menurutnya justru yang tua dan terkesan usang yang memiliki nilai tinggi dan sangat eksotis. Entahlah. Jika ditelaah lebih lanjut, memang beberapa barang yang dibelinya langsung dengan pemilik (yang sebenarnya tidak untuk dijual) memiliki keunikan tersendiri. Bagi Haya soal harga bukan hal yang mesti diperdebatkan. “Ini bukan berbisnis, tapi saya sangat menghargai karya masyarakat disini yang justru tak ternilai dengan uang” Haya menegaskan prinsipnya. One more thing I’ve learnt too.
Oya, hal yang paling diinginkan oleh Haya adalah bersalaman dan bertemu dengan wanita Suku Dayak Kenya Uma’ Lung yang masih mempertahankan tradisi memelihara telinga panjang serta tattoo ditubuh. Sepanjang kami berkendara, Ia selalu berceloteh dan mengingatkan saya untuk bisa mempertemukannya dengan wanita tersebut. Seperti mendapat durian runtuh, Haya excited ketika kami mendatangi sebuah rumah yang penghuninya adalah seorang wanita paru baya dengan tampilan seperti yang dicari oleh Haya selama ini. Lagi-lagi pujian dan ungkapan sukacita disampaikannya. Apresiasi ditampakan Haya dengan mencium tangan wanita tersebut seraya mengucapkan terima kasih sudah berkenan mempersilakannya untuk bisa berbincang. Mamak, demikian Haya memanggilnya (saya juga terlupa menanyakan nama nenek tersebut). Tatoo menghiasi sebagian lengan dan kakinya. Warna tato Mamak masih kuat bertahan dalam usia yang relative uzur, 79 tahun. Sejak umur belasan tahun Mamak sudah menjalankan tradisi ini.
Saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai beberapa makna yang terkandung dalam gambar tato yang menghiasi tubuh baik pria maupun wanita Dayak dahulu kala. Sepertinya motif tato Mamak menggambarkan alam dan manusia. Dalam hal motif, tato tradisional suku dayak kalimantan penuh dengan simbol serta filosofi. Mitologi Dayak dalam sketsa menampilkan sosok-sosok mahluk hidup dengan bentuk abstrak. Penempatan suatu motif di suatu bagian tubuh, juga memiliki makna tersendiri. Bagi orang Dayak, tato lebih dari sekadar gaya hidup. Tato di tubuh bisa menjelaskan beberapa hal, antara lain bagian dari tradisi religi, status sosial, penghargaan terhadap kemampuan, ahli pengobatan, atau menandakan seseorang yang sering mengembara.
Tato Dayak Kalimantan pada zaman dulu dibuat dengan memanfaatkan sumber daya sekitar. Jelaga dari lampu pelita atau arang periuk serta kuali, dipergunakan sebagai pewarnanya. Bahan bahan tersebut kemudian dikumpulkan serta dicampurkan dengan gula dan diaduk sampai sedemikian rupa. Dengan menggunakan duri dari pohon jeruk yang ukurannya cukup panjang dan tingkat ketajamannya memadai, dipergunakan sebagai alat untuk merajah. Duri tersebut bisa digunakan langsung atau dijepitkan ke setangkai kayu untuk pegangan sehingga menyerupai palu dalam penggunaanya. Dengan cara Duri pohon jeruk itu dicelupkan pada “tinta” berbahan jelaga dan gula, oleh pentato kemudian dengan menusukkan duri ke kulit sesuai motif yang diinginkan. Bahkan jika motifnya terlalu rumit, proses perajahan bisa memakan waktu seharian. Bekas tusukan duri jeruk tersebut bisa berakibat pada pembengkakan dan mengeluarkan darah lebih parahnya bisa menyebabkan demam 1 sampai 2 hari. Seiring perkembangan jaman, pembuatan tato tradisional sudah menggunakan jarum.
Bahan yang semula jelaga juga mulai berubah seiring tersedianya berbagai alternatif tinta sebagai bahan warna tato, yang terdiri atas dua bentuk: batu arang dan cair. Jika berupa batu arang, sebelum dipergunakan harus terlebih dahulu digosok kemudian dicampur air. Gambar tato tradisional hanya memiliki satu warna, yakni hitam kebiru-biruan dengan wujud yang khas buatan tangan. Sedangkan tato zaman modern sudah jauh lebih rapi dan warna-warni berkat peralatan mesin dan tintanya.
Lain halnya dengan tradisi memanjangkan telinga oleh para wanitanya. Sepengetahuan saya, pada awalnya, budaya telinga panjang tidak hanya dilakukan oleh wanita saja, tetepi pria juga memanjangkan telinganya. Dan hanya kaum bangsawan suku dayak yang boleh memanjangkan telinga. Telinga panjang ini juga menunjukkan status sosial. Tak hanya itu saja, telinga panjang ini juga menunjukkan umur pemakainya, karena tiap satu tahun jumlah anting-antingnya bertambah satu.
Referensi tentang tradisi ini memang tidak begitu banyak. Penjelasan saya kepada Haya pun sebatas pengetahuan yang saya miliki ditambah keterangan dari beberapa tetua yang sempat kami ajak berbincang di Lamin panjang, Desa Setulang. Memang tidak cukup menjelaskan keseluruhan informasi yang dibutuhkan oleh Haya sebagai turis, namun cukup membantu menyampaikan bagaimana nilai-nilai luhur yang masih terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Perjalanan satu hari mengintari Desa wisata Setulang kami akhiri dengan berfoto bersama dan mencoba panganan ringan yang disajikan salah seorang penduduk setempat. Krupuk dari bahan olahan singkong yang renyah. Saya membeli beberapa lembar untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh keluarga di rumah. Kesedihan nampak diwajah Haya ketika kami berpamitan pulang. Baginya tidak cukup hanya sehari ‘menikmati’ eloknya Desa Setulang. “I feel I’m Dayak now. Setulang has taught me the real honesty life”. I’ll tell to the world how Setulang is”Ungkapan Haya atas pengalamannya mengunjungi Desa Setulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H