Jika saya berargumen, bahwa budaya merupakan asimilasi berbagai unsur kehidupan yang berlandaskan pada kekuatan adat dan bersendikan pada tatanan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang, maka cukup bijak kalau kemudian sayapun berasumsi bahwa menggali kembali salah satu warisan genetis nenek moyang masyarakat Indonesia, yaitu gotong royong, adalah upaya cerdas melestarikan budaya bangsa. Sudah sejak lama gotong royong menjadi common identity bangsa ini
. Keunikan Indonesia, salah satunya dikenal oleh dunia karena gotong-royong. Malinau, Kabupaten disebelah utara pulau Kalimantan, mengusung budaya gotong-royong dalam bentuk program unggulan, yang dimanifestasikan pada jargon RT BERSIH, dengan dua tujuan kualitatif, yaitu mewujudkan lingkungan masyarakat yang Rapi – Tertib – Bersih – Indah – Harmonis, serta melegitimasi lembaga RT (Rukun Tetangga)  sebagai ‘the extension’ dari Pemerintah Daerah, agar setiap individu masyarakat benar-benar memiliki andil serta merasakan hasil dalam setiap gerak pembangunan.
Desain budaya gotong royong yang terkonstruksi dalam program bulan bhakti RT BERSIH, menjadi gagasan humanis untuk menghidupkan kembali dasar filosofis bangsa Indonesia. Semangat kebersamaan telah sejak lama hadir di tengah-tengah masyarakat. Gotong royong tidak mengenal rasisme.Â
Batasan pada sistem agama, suku, maupun golongan, menjadi baur dalam lintasan budaya. Untuk menjebatasi relasi dalam kemajemukan, saya meyakini bahwa budaya gotong royong menjadi perekat sosial paling efektif. Artifisial term RT BERSIH, oleh Pemerintah Kabupaten Malinau, tentu memiliki makna yang jauh lebih mendalam. Tidak hanya berkisar dalam lingkup kelembagaan, namun merasuk pada sisi psikologis masyarakat Malinau, untuk mengangkat Budaya Gotong Royong sebagai kearifan lokal serta budaya yang mengakar di Bumi Intimung.
Pada sudut humanisme, peran RT (Rukun Tetangga) sebagai lembaga kemasyarakatan adalah host penggerak masyarakat untuk aktif berperan mencermati, bertindak dan acuh terhadap lingkungan sekitar. RT adalah agen pembaharu yang (harus) memiliki kapabilitas unggul hingga mampu bertindak, setidaknya, berdedikasi dan selaras dengan jalur pembangunan Pemerintah Daerah.Â
RT Menjadi ujung tombak gerakan membangun pemerintahan desa. Dan tentulah tidak berlebihan, saya mengangkat dua jempol keatas untuk kegiatan pemilihan RT Serentak yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Malinau, sebagai refresentasi atas  ‘legitimasi’ warga untuk memilih Ketua RT, yang dipandang mampu menyandang tugas sebagai agen pembangunan pada lingkup komunitas masyarakat setempat.
Saya meyakini, bahwa arah Pemerintah Kabupaten Malinau untuk menyelenggarakan pemilihan RT Serentak bukan sekedar berujung pada predikat awarded oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI), tetapi jauh melampaui asa dan keinginan masyarakat Malinau untuk bersanding bersama daerah lain mewujudkan masyarakat yang berbudaya serta beradab.Â
Ganjaran MURI kepada Kepala Daerah Malinau, Dr. Yansen TP, bukan hanya sekedar berhenti pada prosesi awarding ceremony belaka, sejatinya, menjadi ‘cemeti’ untuk merangsang bergulirnya roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan pada komunitas RT. Penghargaan oleh MURI kepada Bupati adalah lambang kesuksesan masyarakat Malinau agar bereaksi positif untuk totally bersemangat dan bekerjasama membangun Bumi Malinau yang INTIMUNG.
Di sisi religius, program RT BERSIH dapat menjadi ‘dogma’ spiritualitas warga Malinau. Lembaga agama memiliki kekuatan  merangkul warga untuk ‘bekerja’ ataupun ‘melayani’ atas nama Tuhan. Peran para pemimpin umat sangat stategis dan sentral untuk mengkondisikan masyarakat Malinau membangun budaya gotong royong menjadi ‘kebutuhan spiritualis’. Entitas dogma tersebut tentu mendekripsikan lingkungan yang rapi tertib bersih indah serta harmonis. Sedangkan esensi yang muncul akhirnya mewujudkan Malinau yang sehat dan asri.
Di Indonesia dikenal beberapa istilah yang menggambarkan budaya gotong-royong masyarakat setempat. Di Bangkalan-Madura, Jawa Timur, ada istilah Song-Oshong Lambung, merupakan istilah kerja sama yang ada di lingkungan masyarakat Madura, termasuk pekerjaan bertani garam. Umumnya petani di Madura bekerjasama pada saat mengumpulkan garam yang nantinya akan membentuk bukit-bukit garam berwarna putih di seluruh areal pembuatan.Â
Ada juga istilah Mapalus dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Mapalus merupakan bentuk kerjasama masyarakat yang saling menolong secara aktif dalam mencapai tujuan bersama, misalnya bekerjasama membantu tetangga pindah rumah dengan mengangkat rumah tersebut ke daerah yang baru. Hampir di setiap wilayah di Indonesia, terdapat istilah-istilah yang membumi untuk menaikan ‘adrenalin’ keperdulian terhadap lingkungan sekitar. Istilah tersebut cukup efektif dan justru ikonik untuk daerah mereka masing-masing. Apalagi, pernah ada ‘Kabinet Gotong Royong’ bentukan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarno Putri, yang seakan mentasbihkan bahwa benar adanya, gotong royong adalah budaya luhur bangsa Indonesia.
Di Malinau, terdapat beberapa istilah yang menggambarkan kerjasama oleh warga. Diantaranya ada sebutan Feruyung (Lundaye), Tenguyun (Tidung) dan Senguyun (Kenyah) serta beberapa sebutan lain dalam masing-masing bahasa lokal masyarakat di Malinau. Istilah-istilah tersebut utamanya merupakan wujud budaya kerja bersama-sama yang dilakukan warga, biasanya dalam hal bercocok tanam hingga memanen hasil pertanian. Hingga saat ini, budaya tersebut masih tumbuh kuat dalam keseharian masyarakat Malinau.Â
Saya merasakan ada euforia positif yang dielaborasi warga Malinau kedalam konsep ‘Feruyung’ (atau sejenisnya, dalam bahasa lokal lainnya) untuk membangunkan semangat warga bergotong royong membersihkan dan menjaga keasrian lingkungan dalam komunitas Rukun Tetangga mereka. Mungkin sedikit bersaran, bahwa menghidupkan semangat ‘berat sama dipikul ringan sama dijinjing’ kedalam kegiatan ‘Jum’at Bersih’ atau dengan sebutan apapun dan pada hari kapanpun, relevansinya cukup kuat untuk memberikan ruang ‘silaturahmi’ antar warga sambil berbenah dilingkungan sekitar.
Belakang ini, saya sendiri merasakan hadirnya budaya gotong royong dalam implikasi Feruyung-Tenguyun-Senguyun, yang mampu menyatukan warga dari berbagai kelas dan kelompok, menjadi satu kesatuan sosial dan komunitas yang dinamis. Warga menjadi perduli pada kebersihan dan keasrian lingkungan rumah dan tetangga sekitar. Ajakan untuk bersih-bersih dan mempercantik lingkungan rumah dengan tanaman, cukup santer digaungkan oleh para pengurus RT.
Kepedulian untuk saling mengingatkan dan menghimbau kepada tetangga seperti menjadi kebiasaan yang berbuah manis, mengikis sikap individualisme. Bukan hal yang sulit, karena sesungguhnya masyarakat Indonesia dan khususnya warga Malinau adalah masyarakat yang telah memiliki akar budaya gotong royong ini sejak dulu. Dan pada saat yang tepat, pencanangan Bulan Bhakti RT Bersih digaungkan di Malinau. Tidak ada resistensi, bahkan sebaliknya, antusiasme masyarakat menjadi viral. Jika ada perdapat bahwa budaya gotong royong mengalami pergeseran makna, maka Malinau menjadi paradoks dan antitesis anggapan tersebut. Budaya luhur gotong royong hadir membumi di Malinau dan RT BERSIH adalah signify dari manifestasi budaya Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H