Mohon tunggu...
Fiter Antung
Fiter Antung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lebih senang disebut sebagai pemerhati Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mentari Diatas Sudney (Episode 2)

8 Desember 2014   15:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EPISODE DUA

Ternyata 30 menit waktu bersama Elena menjadi mengasyikan. Kami bertukar informasi perihal pekerjaan. Bertanya hal-hal yang ringan tentang diri kami masing-masing. Elena enak diajak ngobrol, nyambung dan (yang terus membayangiku) tersenyum saat pertanyaanku sedikit konyol. Hahh, rasanya ingin berlama-lama ngobrol. 30 menit jelas bukan waktu yang lama, terlalu pendek untuk percakapan yang berharga ini, pikirku.

Elena ternyata seorang waitres, bekerja di restoran lebannesse di George St. Usianya sudah 24 Tahun, salah dugaanku. Dia bekerja casual untuk membiayai kuliahnya di Sydney University, ambil jurusan business. Setiap hari, Elena mengambil waktu part time untuk bekerja di restaurant itu. Gadis mandiri yang sangat percaya diri. Elena sangat terbuka dalam percakapan, padahal kami baru kenal. Namun, aku masih menahan diri untuk tidak bertanya hal-hal yang mungkin bisa membuatnya jengkel. Aku ngga mau melewatkan waktu ini untuk terus mengoceh yang tidak perlu. Aku sangat takjub dengan cara dia membawa diri dan berbincang dengan orang yang baru dikenal. Tetap ramah dan tidak lantas menjadi vulgar. Setiap akan tertawa, ia pasti menutup mulut dengan tangannya. Kulit tangannya putih, ada hiasan tatto india motif bunga yang menyebar disemua jarinya, manis . Sangat cantik, jika dipadukan dengan kulitnya yang cerah. Baju lengan panjang berwarna merah, menambah pesona Elena.

“This Station is..Central”..suara dari corong di dalam kereta menghentikan perbicangan kami.
“oughh..we here!” sahut Elena. “Nice to see you, Dafi !” Elena berdiri dan melambai pelan kearahku.
“Ohh..thanks..see you later ..!” jawabku.

Akupun kemudian berdiri dan melangkah di belakang Elena. Dari belakang Nampak sekali gadis ini berpostur ideal. Tinggi badanya sekitar 167 cm. Dia menggunakan high heels. Kalau kupikir, di Indonesia mungkin dia bisa jadi salah satu bintang sinetron. Hehe..anganku melambung kembali ke tanah air.

Sambil terus berjalan, aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian di kereta tadi. Akh..untung saja aku duduk di kursi di gerbong kereta paling belakang. Mungkin memang rencana tuhan, pikirku. Agghh..terlalu banyak berkhayal. Kurasakan hari ini hariku menjadi sangat special.

“hey, Dule..!” suara keras mengagetkanku. Lamunanku kali ini luntur berantakan. Apalagi dia berteriak tepat disamping telingaku, sambil menepukan tangannya kepundakku. Sedikit terperanjat, aku menoleh kesamping.
“Oh. You, david !” jawabku sekenanya.
“Hmm, you look likes so happy this morning..!” what was going on ?” Tanya david penuh selidik.

Aku hanya tersenyum penuh makna. Biar David makin penasaran. Ya, David rekan sekerjaku di kantor. Dia berasal dari Switzerland dan bertugas di layanan umum, customer service. Kami baru berkenalan dua hari yang lalu. David Swyan, demikian nama yang tertulis di ID cardnya. Pria berkumis tipis dan sudah berkeluarga ini, sangat friendly dan selalu menyapa kepada setiap orang. Tidak seperti kebanyakan orang eropa yang selalu terlihat aneh dan terkadang menjengkelkan, jika menatap orang yang tidak dikenalnya. Berbadan kurus dan berkacamata. Sebenarnya David berusia 29 tahun, namun kelihatan seperti 35 tahun. Kepalanya botak, hanya sedikit rambut yang tumbuh disekeliling kepalanya. David memboyong keluarganya untuk pindah ke Sydney. Dan sudah hampir setahun dia dan isterinya tinggal di Dulwich Hill, suburban yang ada di jalur Bankstown. Mereka belum dikaruniai anak.

“Oh, my God !” pekikku. Cepat tanganku menutup mulut.
“whaattt ??” are you forgot something ? your wallet ? phone ?” Tanya David, heran melihat diriku yang tiba-tiba berteriak.
Aku baru sadar. Lupa bertanya nomor hape Elena. Duh, betapa bodohnya. Begitu banyak hal yang kutanyakan perihal dirinya, aku malah lupa hal yang sangat penting. Aku lupa bertanya soal nomor telephone. Itu penting. Oh Godness, pasit sangat sulit untuk kembali bertemu Elena. Akupun lupa bertanya nama restaurant tempatnya bekerja. Kuarahkan pandangan ke sekeliling. Elena sudah tidak terlihat. Begitu banyak orang yang lalu-lalang menutup pandanganku. Aku celingak-celinguk tidak karuan. David semakin heran.

“Are you looking for someone ?” Tanya david.
“yea, but she is not here..i don’t know where is she ? I can’t find her…” jawabku.
“your friend ?” Tanya david
“of course !” jawabku sedikit ketus.
“hey, what happened to you, my friend ! I just ask you..its doesn’t matter, does it ? “ Tanya David. Dia semakin heran.
“ohh, sorry david, I didn’t mean it..I’m sorry..really..!!” akh..aku tidak sadar kalau ucapanku justru kurang mengena di hati David. Karena Soal Elena, aku menjadi sangat sensistif. Huh, aneh. Perilaku apa ini. Perasaan yang aneh. Benar-benar aneh.

“Ummm..yea..let’s go..it’s not a special person !” suaraku pelan dan langsung menarik tangan david menuju kearah kantor kami. Kulihat wajah David menunjukkan keheranan. Mulutnya komat-kamit tidak keruan. Aku cuek, sambil terus berharap mungkin bisa bertemu Elena dalam kerumunan orang-orang di stasiun ini.

Sepanjang jalan, mulai dari keluar pintu stasiun hingga menyusuri George St, aku selalu menoleh kekiri dan kekanan. Hahh..Geogre St ini jalan yang sangat panjang. Rasanya mustahil menemukan seorang Elena diantara ribuan manusia yang berjalan cepat menyusuri jalan ini. George st dikenal sebagai china town di Sydney. Banyak toko-toko makanan maupun restaurant, utamanya yang menyediakan menu asia, tersebar dijalan ini. Dan salahnya aku juga lupa bertanya nama restaurant tempat Elena bekerja. Banyak jenis rumah makan ala negeri arab. Aku tidak tau yang mana tempat Ia bekerja. Hah..Aku hanya ingat kalau Elena sering menyediakan kebab bagi pengunjung restaurant. Aghh..rumah makan yang menyediakan kebab di George st jumlahnya ratusan. Apakah aku harus mencari satu – persatu. Mungkin harus kucoba, pikirku semakin menggila.

Langkahku gontai menaiki anak tangga kantorku. David sudah duduk di meja kerjanya. Kami berbeda ruangan. Aku ditempatkan di lantai atas yang juga sekaligus sebagai gudang penyimpanan barang-barang kiriman. Ruangan dilantai dua ini tidak terlalu luas. Ukurannya kurang lebih delapan kali Sembilan meter. Ada empat orang yang bekerja di lantai dua, aku, Hilda Ngo, seorang wanita keturunan chinnesse yang menjadi warga Negara Australia, Lenin Svarktov, seorang Rusia dan juga sudah menjadi warga Negara Australia, serta Jason Healy, asli warga Negara Australia. Meja kerja kami, masing-masing dipisahkan dinding setinggi satu setengah meter, sehingga masih bisa melihat rekan kerja yang lain. Untuk ruangan kerja hanya menggunakan empat meter ruangan, sisanya digunakan untuk tumpukan barang-barang kiriman dari dan ke luar negeri. Ada Stuart, sebagai mandor dan 3 orang anak buahnya yang bertugas mengatur barang-barang tersebut. Tapi mereka tidak selalu berada dilantai atas. Kebanyakan barang sudah ditempatkan di lahan parkir dan siap untuk didistribusikan.

Meja kerjaku terletak di dekat tangga naik dan membelakangi dinding kaca besar. Jika sedang santai, aku sering duduk melamun memandang kearah luar jendela. Karena dari jendela ini bisa leluasa melihat pemandangan diluar. Terkadang sambil menyerup cappuccino panas yang dibuatkan oleh Hilda, aku menikmati music easy listening dan mulai bermimpi tentang kampong halaman. Tentang Umi yang saat ini tinggal sendiri di kampung halaman kami, desa Trutung, tanjung Balai. Ohh, Umi, wanita setengah baya yang sudah kuanggap sebagai ibuku. Ya, aku belum pernah melihat ibu kandungku. Setahuku, ibu kandungku sudah tiada sejak aku dilahirkan. Menurut Umi, demikian aku biasa memanggilnya, saat aku berusia dua hari, ibuku mengalami pendarahan akibat melahirkan dan meninggal dalam perjalanan menuju puskesmas terdekat. Dikampung kami, saat itu tidak ada dokter atau perawat . hanya dukun beranak yang menolong kelahiranku, 25 tahun yang lalu. Beliau tidak sempat diselamatkan, karena jarak untuk mencapai puskesmas dari kampung kami ke kota terdekat harus ditempuh selama 6 jam perjalanan. Itupun jalan yang dilalui adalah jalan milik perusahaan yang masih terbuat dari tanah keras, tanpa aspal dan berliku. Akupun tidak tahu persis garis keturunan kami. Banyak hal yang aku tidak tahu tentang keluargaku. Ayahku, kupanggil Abah, setelah ibu meninggal, tidak pernah punya keinginan untuk menikah lagi. Beliau sudah bersumpah didepan makam ibu, bahwa beliau akan membesarkan aku dan merawatku sesuai kemampuannya. Janji sehidup semati dituntaskan abah setahun yang lalu, beliau meninggal karena paru-paru basah dan komplikasi akut. Mungkin akibat pekerjaan beliau sebagai supir angkutan sayur.

“Dafi, Call for you..!” Hilda memanggilku.
Bergegas aku mengangkat telpon di mejaku. “Yes, Dafi speaking, who is this?”
“Wuy, sombong kau ya wak…!! belagak pula kau..!” suara dari seberang, seakan kukenal.
“Ahh..hehehe..siapa ini wak ?” cengirku, masih belum bisa menebak siapa pemilik suara ini.
“Adoh wak..belum genap seminggu kau di luar negeri, lupo nian kau ama tanah air !” jawabnya.
“hahahahha..Rafiq..kau ini wak?” ya, kukenali suara ini. Rafiq, teman mainku di kampong.
“Iyo laa..apo kabar dindaku?” rafiq menyapaku dengan ungkapan akrab yang biasa kami lontarkan di kampong, terutama buat karib yang memang sangat dekat. Sudah seperti saudara kandung.
“Baik, wak, cak mano kau ? eh..darimana kau tau nomor kantor ku wak?” tanyaku.
“Ha-ha-ha, macam tak kenal aku..kau ini !”..Yanto…Dia yang kasih aku nomor kantormu.” Jawab Rafiq.

Aku dan rafiq terlibat obrolan ringan dan hangat. Rafiq menelpon dari rumahnya langsung di Tanjung Balai. Ya, Ia kini sukses dengan usahanya. Rafiq membuka ternak ayam petelor dan sukses sebagai distributor ke seputar kota Tanjung balai. Ku tahu Ia memang seorang yang gigih bekerja. Semua pekerjaan selalu dicobanya. Mulai dari membuka bengkel motor, walaupun akhirnya tutup, hingga mencoba peruntungan sebagai penampung besi bekas. Karibku yang satu ini memang beda. Kadang aku kurang setuju dengan caranya memperoleh uang. Terkadang hal yang tidak lazim juga ditempuhnya untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi aku tidak pernah mau ikut campur soal itu. Aku yakin rafiq juga tau, namun pura-pura tidak tahu. Semoga suatu saat Ia bisa berubah.

Dari informasi Rafiq, ternyata Yanto berhenti bekerja di perusahaan induk kami. Dia memutuskan pulang kampung dan membuka toko kelontongan. Rafiq tidak menceritakan alasan Yanto kenapa mengundurkan diri. Tapi dari nada bicaranya, ku tahu ada masalah antara Yanto dengan perusahaan. Rafiq juga turut membantu modal awal bagi Yanto untuk membuka toko.
Hahh, baru seminggu aku meninggalkan tanah air, banyak hal besar yang terjadi. Namun ada yang membuat diriku tidak enak. Rafiq mengabarkan perihal Umi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun