Mohon tunggu...
Fita Erlina
Fita Erlina Mohon Tunggu... penulis sajak di https://serpihanfitaerlina.blogspot.com

halo selamat membaca tulisan saya ya... semangat Boleh nih Follow Instagram aku @fit.erl23 dan mampir ke https://serpihanfitaerlina.blogspot.com tengkyuuuuuu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nilai Estetika Masjid Astana Sultan Hadlirin di Mantingan, Jepara yang Diprakarsai oleh Ratu Kalinyamat

23 November 2023   11:38 Diperbarui: 23 November 2023   11:52 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

NILAI ESTETIKA BANGUNAN KUNO 
MASJID ASTANA SULTAN HADLIRIN MANTINGAN DI ERA MODERN

 

Oleh Fita Erlina

Di era modern saat ini, Arsitektur bangunan masjid sangat berbeda dengan bangunan masjid pada zaman dahulu. Bentuk bangunan masjid di Indonesia dibuat dengan keunikan-keunikan tersendiri yang tidak ditemukan di negara lain. Bentuk-bentuk bangunan masjid di setiap daerah nusantara pada zaman dahulu dibangun dengan tidak ada ikatan atau ketentuan baik dari rancangan bangunan maupun  penataan ruangnya. Akan tetapi, bangunan-bangunan masjid kuno di Nusantara hampir semuanya memiliki pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha. Hal tersebut dapat dilihat pada bentuk atap bangunan masjid di Pulau Jawa, yang bentuknya tingkat berundak dan meruncing menyerupai bentuk candi. Seiring dengan  berkembangnya teknologi, bentuk bangunan masjid-masjid di Nusantara mulai menemukan pembaharuannya baik dari segi bangunan interior maupun eksteriornya. Pembaharuan tersebut dipengaruhi oleh budaya timur tengah yang memiliki ciri khas bergaya Islam, misalnya menggunakan warna-warna yang cerah, menggunakan banyak motif seperti mozaik ataupun kaligrafi dan menggunakan siluet garis.

Di tengah banyaknya bangunan-bangunan masjid bergaya Islam yang didirikan, masih ada bangunan masjid-masjid kuno yang berdiri kokoh dan memiliki daya tarik tersendiri hingga di era milenial sekarang ini. Salah satunya adalah bangunan masjid Astana Sultan Hadlirin. Masjid Astana Sultan Hadlirin atau lebih dikenal dengan Masjid Mantingan merupakan bangunan masjid tertua dan mempunyai sejarah sendiri di Indonesia yang merupakan hasil akulturasi antara budaya setempat dengan budaya luar yang dibangun pada era Kesultanan Demak. Masjid ini terletak disebuah desa yang wilayahnya dekat dengan alun-alun Kota Jepara yang hanya berjarak 5 Kilometer yaitu Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Pembangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin diprakarsai oleh Ratu Kalinyamat untuk mengenang suaminya yang telah meninggal, yaitu Sultan Hadlirin. Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan merupakan salah satu masjid yang memiliki ragam hias yang unik, selain itu masjid Mantingan juga termasuk dalam kategori 10 bangunan masjid tertua di Indonesia. Masjid ini dilaporkan didirikan di Kesultanan Demak pada tahun 1559. Masjid ini merupakan masjid tertua yang kedua yang ada di Pulau Jawa setelah Masjid Agung Demak (Gunawan, 2015). 

Sebelum pembangunan masjid itu terjadi, terdapat konflik yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Konflik tersebut bermula pada saat penyerahan kepemimpinan Jepara kepada Sultan Hadlirin pada tahun 1536. Namun masa kepemimpinannya hanya selama 13 tahun saja karena sultan hadlirin meninggal dunia terbunuh oleh Arya Panangsang. Kabar duka tersebut diterima oleh istri Sultan Hadlirin, yaitu Ratu Retno Kencono saat bertapa, kemudian Ratu Retno Kencono bersedia meninggalkan pertapaan dan pada 959 Hijriah atau tahun 1549 Masehi yang diduga dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal yaitu tanggal 10 April 1549 diutus menjadi penguasa Jepara dengan mendapatkan gelar Nimas Ratu Kalinyamat dengan Candra Sengkala Trus Karya  Tataning Bumi.

 Selama pemerintahan Jepara dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, pada saat itu juga Jepara mangalami perkembangan sebagai kota pelabuhan yang penting dan menjadi pusat pusat perdagangan di pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, pada abad ke-16, sebuah industri galangan kapal  dan arsitek kapal dipulau pulau Jawa terkenal hingga ke Asia Tenggara. De Graff (1985:42) mengatakan, Ratu Kalinyamat membangun makam yang begitu megah untuk suaminya yang terbunuh oleh Arya Panangsang dan kelak untuk dirinya sendiri, ia bersumpah jika Ratu Kalinyamat sangat mengnginkan kematian pembunuh suaminya, yaitu Arya Panangsang. 

Pada umumnya Masjid Kuno terdahulu atapnya dibuat bertingkat dan  meruncing keatas, akan tetapi atap Masjid Mantingan ini berbeda dengan yang lainnya. Yaitu bangunannya berupa rumah Joglo yang memiliki undakan tangga yang tinggi. Sedangkan di era modern ini, banyak sekali bangunan masjid menggunakan arsitektur gaya Islam dengan ciri khas bentuk kubahnya yang beragam. Masjid Mantingan pada saat ini memiliki eksistensi tersendiri karena bangunan yang klasik dan juga memiliki hiasan ornament pada dinding maupun pada tiang-tiang bangunan. Selain itu, Masjid Mantingan juga dikelilingi dengan makam para leluhur. Keberadaan cagar budaya Masjid Astana Sultan Hadlirin di tengah kota Jepara hingga saat ini, menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jepara terutama bagi masyarakat desa Mantingan. Banyak pengunjung yang mendatangi tempat ini untuk berziarah. Sehingga berdampak pada sektor ekonomi warga sekitar, sector ekonomi yang warga sekitar jalani adalah berdagang makanan atau minuman, oleh-oleh khas Jepara atau bahkan souvenir kerajinan yang dibuat dari kayu.

Adanya peninggalan Masjid Astana Sultan Hadlirin di Jepara ini menjadi bukti bahwa pesisir Jepara pernah digunakan sebagai tempat penyebaran Islam yang sangat pesat. Karya tulis ini merupakan kajian dari nilai estetika Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan sebagai bangunan kuno yang masih berdiri dengan mempertahankan nilai seni yang sangat tinggi. Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas tentunya muncul permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan tersebut sebagai berikut: 1) Bentuk bangunan masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan; 2) Perbedaan bentuk bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan dengan bangunan Masjid Modern; 3) Nilai estetika bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan.

1.         Bentuk Bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan 

Pada zaman dahulu, Masjid merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Sehingga terjadilah akulturasi kebudayaan yang dibawa oleh penyebar ajaran agama Islam dengan kebudayaan lama yang dianut ada ditengah masyarakat setempat. Jika dilihat dari satu sisi, keragaman bentuk arsitektur bangunan masjid merupakan salah satu bentuk penggayaan terhadap khasanah arsitektur bergaya Islam. Sehingga, bentuk masjid zaman dahulu secara lambat laun telah mendekatkan masyarakat kepada ajaran Islam. Bentuk pendekatan agama Islam terhadap masyarakat tidak hanya dengan bentuk bangunan masjid saja, akan tetapi dalam bentuk karya fisik lainnya yang diakulturasikan dengan budaya sebelumnya. Akulturasi kebudayaan seperti itu juga terdapat pada salah satu Masjid di daerah Jepara, yaitu Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan.

Menurut Suwarna (2006), Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan  dalam aspek budaya bukan sekedar peninggalan berbentuk benda fisik yang digunakan sebagai tempat diadakan pertemuan, ibadah, dan kegiatan-kegiatan yang lainnya, akan tetapi memiliki peran yang lebih luas. Selain itu, bangunan masjid ini mempunyai makna eksplisit ataupun implisit yang tertuang dalam bentuk-bentuk ragam hias. Ragam hias tersebut diletakkan pada dinding masjid yang mampu memunculkan asumsi-asumsi masyarakat dari wujud menjadi sebuah suatu realitas dalam kehidupan. Oleh karena itu, keberadaan Masjid Mantingan dalam aspek kebudayaan menjadi sesuatu yang menarik untuk dipahami dan dipelajari.

Bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan merupakan hasil dari  akulturasi beberapa kebudayaan yang terlihat pada arsitekturnya. Akulturasi tersebut merupakan berasal dari kebudayaan Jawa, Hindu-Budha dan Tionghoa. Bangunan masjid Mantingan secara keseluruhan memiliki tipologi dengan masjid Jawa kuno pada umumnya. Tipologi tersebut terlihat pada bagian atap berundak , atap dengan soko guru (empat tiang penyangga), adanya serambi depan yang luas dan  gapura masuk berbentuk lengkungan. Selain itu, di dekat bangunan masjid terdapat petilasan candi yang sudah tidak utuh lagi. Candi tersebut dialihkan menjadi gerbang atau gapura pada pintu menuju halaman Masjid dan di area makam juga terdapat candi yang digunakan sebagai gapura.

Terjadinya akulturasi tiga kebudayaan dalam pembangunan Masjid ini dikarenakan perancang bangunannya adalah seorang yang berketurunan dari Tionghoa, yaitu Chi Hui Gwan atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Patih Sungging Badarduwung.  Sedangkan yang mengawasi proses pembangunan masjid adalah Babah Liem Mo Han, yang juga merupakan keturunan China atau Tionghoa. Hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Cina terlihat pada bentuk atap tumpeng dan mustakanya. Bentuk atap tumpeng dan adanya mustaka berasal dari kebudayaan Hindu pada masa kerajaan Majapahit. Akulturasi kebudayaan Cina terdapat pada ornament barongsai yang sudah diubah atau stilisasi. Dalam bangunan masjid, pengaruh kebudayaan Hindu juga terdapat pada bentuk gerbang Candi Bentar. Pada saat ini bentuk gerbang Candi Bentar digunakan sebagai pintu utama masuk kawasan Masjid maupun kawasan pemakaman. 

 

Gambar 1. Candi Bentar di pintu masuk Masjid

 

(Sumber: Dokumentasi  Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi  Fita Erlina 2022)

Gambar 2. Candi Bentar di pintu Masuk area makam

Secara keseluruhan, bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 7 haktare, yang terbagi menjadi tiga area. Area tersebut antara lain area Masjid, area pemakaman dan area mosueum. Area pemakaman terletak dibelakang Masjid atau disebelah barat Masjid. Area makam tersebut terbagi menjadi tiga teras seperti makam-makam kuno lainnya. Pembagian  teras tersebut didasarkan pada kedudukan sosial jenazah yang dimakamkan. Teras pertama, yang terletak paling bawah area  pemakaman bagi masyarakat umum dibatasi dengan Gerebang Candi Bentar. Teras kedua,  yang terletak di tengah merupakan makam dari masyarakat yang sosialnya lebih tinggi yang juga dibatasi dengan Gerbang Candi Bentar. Teras ketiga, teras paling atas atau yang berada didalam cungkup merupakan makam orang-orang yang status sosialnya paling tinggi seperti Ratu Kalinyamat, Sultan Hadlirin, Raden Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar), Patih Sungging Badarduwung dan kerabat Ratu Kalinyamat, yang mana area makam pada teras ketiga tersebut dibatasi dengan Gapura Paduraksa. Pada batu nisan makam bagian dalam cungkup, batu nisannya berbentuk seperti tanda kurung kurawal, disertai ragam hias berupa segi empat pada bagian jirat, bingkai cermin berisi sulur-suluran, palang Yunani dan penampil candi. Motif hias yang menarik lainnya adalah terdapat motif hias berupa lingkaran yang menyerupai sinar matahari atau biasa disebut Surya Majapahit. Selain bangunan masjid dan makam, pada kompleks ini juga terdapat dua pipisan dan gundik yang terdapat pada kaki gapura Paduraksa di halaman ketiga pada kompleks makam.

Bangunan inti Masjid ini mempunyai bentuk persegi Panjang dengan ukuran 22 x 17 meter. Jika dilihat dari depan, masjid ini memiliki 3 bentuk atap yang berbeda. Atap inti bangunan masjid memiliki 3 undakan yang semakin mengecil, atap bangunan sebelah kanan hanya memiliki dua undakan dan atap bangunan serambi masjid berbentuk Joglo. Hasil akulturasi seni arsitektur masa Majapahit dan Tionghoa dapat dilihat pada atap  yang berbentuk tumpeng dan terdapat mustaka. Masjid ini memiliki tangga yang cukup tinggi, yaitu berjumlah 10 anak tangga. Tangga tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian sebelah kanan dan bagian sebelah kiri dengan ukuran lebar yang berbeda. Sedangkan jika dari Jalan raya, pengunjung harus menaiki 26 anak tangga untuk sampai pada halaman masjid.  Bangunan masjid ini jika dilihat dari luar tampak seperti pendopo, karena bentuknya seperti rumah adat Joglo. Hal tersebut menjadi keunikan tersendiri pada Masjid Mantingan dibandingkan dengan bangunan masjid-masjid lain terutama bangunan masjid bergaya Islam. Bentuk atap menggunakan soko guru, bersusun tiga berundak, terdapat serambi dan denah berbentuk segi pada bangunan Masjid Mantingan termasuk pada tipologi masjid Jawa Kuno.

 

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 3. Bangunan Masjid Mantingan dari depan

 

(Sumber: Dokuemntasi Fita Erlina 2022) 
(Sumber: Dokuemntasi Fita Erlina 2022) 

 

Gambar 4. Bentuk atap bangunan utama Masjid Mantingan

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 5. Tangga menuju area Masjid dari Jalan Raya

 

Masjid ini memiliki ciri khas bangunan arsitektur Jawa, yaitu menggunakan banyak tiang penyangga. Jumlah tiang penyangga yang ada yaitu sekitar 65 tiang. Tiang-tiang tersebut berjajar rapi yang terbuat dari Kayu yang sudah dilapisi cat kayu. Selain itu, masjid ini hanya memiliki jendela dua buah berbahan kayu yang terletak di belakang atau diarah kiblat. Bangunan inti masjid memiliki 9 pintu, yaitu 3 pintu dari arah depan, 3 pintu dari samping kanan dan 3 pintu samping kiri. Pintu-pintu tersebut berbentuk persegi panjang dengan memiliki dua daun pintu yang memiliki ukuran tinggi sekitar dua meter yang terbuat dari kayu. Pada samping kanan dan samping kiri terdapat dua lengkungan yang menjadi pintu masuk serambi kanan dan serambi kiri masjid. Lengkungan  tersebut memiliki dua undakan  dan ujung yang mengerucut atau seperti bentuk seperti kurawal.  Sedangkan ruangan bagian serambi kanan digunakan sebagai ruang pawestren, yaitu bagian tempat beribadah bagi jamaah wanita.

 

(Sumber: Dokuemntasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokuemntasi Fita Erlina 2022)

 

Gambar 6. Pintu bagian ruang utama Masjid dari arah depan

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

 

Gambar 7. Serambi Masjid

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

 

Gambar 8. Lengkungan pintu masuk serambi kanan dan kiri

Pada bangunan inti Masjid, terdapat empat buah tiang atau soko guru yang disanggah oleh umpak. Tiang-tiang tersebut menyanggah atap Masjid yang bertingkat tiga dan tingkat paling atas terdapat kemuncak atau mustaka yang terbuat dari terakota. Pada tempat imam sholat, bentuknya lebih menjorok kedalam dengan lengkungan timbul yang tebal dan masing-masing sisinya memiliki dua penyangga. Lantai masjid ini sekarang menggunakan keramik marmer, sedangkan sebelum dipugar lantai Masjid ini terbuat dengan keramik biasa bewarna coklat. Dinding Masjid pada awalnya tersusun dari batu bata merah, namun sekarang sudah dilapisi dengan semen sehingga terlihat lebih rapi dan lebih bersih, walaupun menghilangkan unsur kekunoan bangunan. Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan kenyamanan para peziarah atau jamaah masyarakat setempat. 

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022) 
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022) 

Gambar 9. Suasana di dalam ruang utama Masjid

2. Perbedaan Bentuk Bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan Dengan Bangunan Masjid Modern 

Bentuk bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan dengan bangunan masjid di era modern saat ini memiliki banyak perbedaan, baik dari segi interior maupun dari segi eksterior. Perbedaan tersebut ada karena melihat kebudayaan sekarang dan pada zaman dahulu sangat berbeda, selain itu perkembangan teknologi yang semakin pesat di era modern saat ini juga menjadi pengaruh bentuk bangunan Masjid di era modern. Perbedaan yang terlihat antara Masjid Jawa Kuno terutama Masjid Mantingan dengan masjid modern yaitu, bentuk kubah atau atap masjid, denah masjid, bentuk pintu maupun jendela dan unsur lainnya. Bentuk kubah masjid jawa kuno jaman dahulu berbentuk limas mengerucut berundak, sedangkan kubah masjid di era sekarang berbentuk setengah lingkaran. Kubah masjid pada saat ini merupakan sebagai identitas bahwa bangunan tersebut merupakan tempat peribadatan umat muslim. Keberadaan masjid yang mempunyai kubah berbentuk setengah lingkaran di Indonesia terpengaruh oleh kebudayaan dari timur tengah. Ada beberapa sebutan kubah, yaitu kubah separuh bola (sedikit mengerucut dan permukaannya keluar), kubah berbentuk piring (puncak kubah lebih rendah dan dasar besar) dan kubah bawang (bentuknya hampir menyerupai bawang). 

 

(Sumber: Dokuementasi Fita Erlina 2022) 
(Sumber: Dokuementasi Fita Erlina 2022) 

Gambar 10. Masjid Mantingan

 

(Sumber: https://www.femina.co.id/travel/5-mesjid-megah-di-indonesia di akses pada 24 April 2022) 
(Sumber: https://www.femina.co.id/travel/5-mesjid-megah-di-indonesia di akses pada 24 April 2022) 

Gambar 11. Masjid Al-Akbar, Surabaya

Seiring berjalannya waktu dan teknologi yang semakin berkembang, banyak ditemukan bangunan Masjid yang dibangun tanpa menggunaan kubah. Salah satu masjid di Indonesia yang dibangun tanpa menggunakan kubah yaitu Masjid Al Irsyad di Kota Baru Parahyangan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Masjid Al Irsyad tersebut dirancang oleh Ridwan Kamil yang terinspirasi pada bentuk Ka'bah dan dibangun pada tahun 2009. Perbedaan lain yang terlihat antara masjid kuno dengan masjid modern yaitu banyaknya penggunaan tiang masjid. Masjid pada jaman dahulu banyak menggunakan tiang sebagai penyangga bagian atap, sehingga memberikan kesan sempit. Sedangkan pada bangunan masjid di era modern saat ini, sangat sedikit dalam penggunaan tiang bahkan tidak ada tiang di area jamaah masjid, sehingga memberikan kesan yang luas. Perbedaan berikutnya yaitu ukuran ruangan utama masjid mantingan lebih kecil dibandingkan dengan ukuran serambi masjid, sedangkan masjid di era modern saat ini ukuran ruangan utama lebih luas dibandingkan dengan serambi masjidnya, bahkan ada masjid yang tidak mempunyai serambi. Masjid di era modern pada serambinya terdapat lengkungan, namun pada masjid mantingan tidak ada karena masjid ini menggunakan konsep rumah joglo. Bangunan Masjid mantingan ini tidak terlalu tinggi, namun pada bangunan masjid di era modern  pada umumnya bangunannya tinggi. 

 

(Sumber: https://falsafah.id/masjid-al-irsyad-satya-masjid-tanpa-kubah-danmenara  di akses pada 24 April 2022) 
(Sumber: https://falsafah.id/masjid-al-irsyad-satya-masjid-tanpa-kubah-danmenara  di akses pada 24 April 2022) 

Gambar 12. Masjid Al-Irsyad, Bandung

Perbedaan antar Masjid Mantingan dengan Masjid di era modern juga terletak pada bentuk gapura masuk area Masjid. Jika Masjid Mantingan pada pintu masuknya terdapat semacam candi yang memberikan kesan klasik, maka gerbang masjid di era modern ini dibuat dengan megah dan elegant. Biasanya gerbang masjid di era modern dibuat dengan ukiran atau bahkan dibuatkan Menara disamping kanan dan kirinya yang berukuran besar, tinggi dan diberikan ornament-ornament tertentu. Meskripun terdapat perbedaan antara bangunan Masjid Mantingan dengan Masjid yang dibangun pada era modern, akan tetapi Masjid Mantingan tetap menarik untuk dikunjungi, selain untuk beribadah juga untuk berziarah kepada makam para leluhur penguasa Jepara.

3.     Nilai Estetika Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan 

Bangunan Masjid Astana sultan hadlirin memiliki nilai seni yang tinggi, diantaranya adalah terdapat banyak ornament atau hiasan yang terpajang di dinding masjid atau biasa disebut panel maupun ukiran-ukiran yang ada pada mimbar. Secara keseluruhan, ornament yang ada pada Masjid berjumlah 115 dengan rincian 42 buah berukuran besar dan 73 buah berukuran kecil. Panel-panel tersebut memiliki bentuk geometris yang beragam, diantaranya yaitu bentuk persegi, persegi Panjang, lingkaran, bingkai cermin (oval), dan palang Yunani, serta hiasan ragam tumbuh-tumbuhan, pemandangan, hewan maupun jalinan tali. Panel-panel tersebut terbuat dari batu karang yang dibawa langsung dari Cina yang berbentuk persegi  memiliki panjang sekitar 56-58 cm dan lebar 36-38 cm, sedangkan yang berbentuk lingkaran memiliki diameter sekitar 37-38 cm. Diserambi masjid bangian kanan dan kiri masing-masing terdapat 3 panel yang berukuran berbeda. Menurut sumber yang ada, panel-panel tersebut dibuat oleh Sultan Hadlirin, akan tetapi ada juga sumber lain yang menyatakan bahwa panelpanel tersebut dibuat oleh Patih Sungging Badarduwung yang menjadi ayah angkat serta guru dari Sultan Hadlirin. 

  

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

picture13-655ed4da110fce5e9c0759e2.png
picture13-655ed4da110fce5e9c0759e2.png

Gambar 13. Panel-panel di Area Masjid

 

Unsur estetika di Masjid ini salah satunya adalah adanya ornament atau sering disebut ragam hias. Istilah Ornament berasal dari kata Yunani, yaitu "ornere" yang mempunyai arti menghias, sedangkan untuk hasil karyanya disebut "ornamentum". Ragam hias atau ornament pada umumnya digunakan pada sebuah  benda untuk menambah nilai keindahan benda itu sendiri sehingga mempunyai nilai lebih selain nilai kegunaannya. Ragam hias juga mempunyai istilah lain yaitu dengan sebutan dekoratif, kata dekoratif mempunyai keterkaitan yaitu pada kegiatan atau aktifitas yang berhubungan dengan ragam hias. Di Masjid Mantingan dapat ditemukan berbagai macam ragam hias yang tertata rapi pada bagian dinding, ragam hias tersebut merupakan ukiran Jepara kuno yang memiliki banyak motif. Ragam hias yang ada di Masjid Mantingan tidak hanya untuk memberikan nilai keindahannya saja, akan tetapi juga memberikan ajaran-ajaran kehidupan melalui bentuk-bentuk ragam hiasnya.

AlFuruqi (1991:125-135) menjelaskan bahwa fungsi ragam hias dalam estetika islam ada empat fungsi yaitu: a) mengingatkan kepada tauhid (keimanan); b) menekankan abstraksi atau denaturalisasi dalam memilih dan memakai tema yang akan ditampilkan; c) menutupi atau mengurangi kesan bentuk-bentuk dasar terhadap penikmat; d) dijadikan sebagai ekspresi kebenaran dan kebijakan. Keberadaan ragam hias berupa panel-panel dari batu karang tersebut sangat berbeda dengan masjid di era modern saat ini. Telah diketahui, bahwa bangunan masjid di era modern saat ini sudah menggunakan gaya Islam atau lebih tepatnya gaya timur tengah. Hal tersebut bisa dilihat dari ragam hias Masjid yang menggunakan lukisan kaligrafi yang memiliki banyak warna sehingga memberikan kesan ramai dan elegant. 

Setiawan (2021:57) mengatakan bahwa ragam hias yang terdapat diarea masjid maupun di area makam terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu motif flora, fauna dan geometris. Pertama, ragam hias yang bercorak flora, berbentuk  tumbuhan sulur-suluran atau tumbuhan yang menjalar dan ada pula yang berbentuk bunga teratai. Ragam hias bercorak flora tersebut mendapatkan pengaruh dari dua kebudayaan yaitu kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Tionghoa, hal tersebut terlihat dari bentuk motifnya yang dominan menggunakan, sulur-suluran (tanaman merambat, batu karang, dan motif bunga lotus atau teratai). Kedua, ragam hias yang bercorak geometris atau sering disebut motif selimpetan (bersilangan). Ketiga, adalah ragam hias yang bercorak fauna atau binatang yang disamarkan (stilisasi) atau diselitir. Dilakukannya penyamaran (stilisasi) sebagai bentuk akulturasi antara kepercayaan Hindu dan ajaran Islam  yang melarang memvisualisasikan mahkluk hidup. Sehingga adanya larangan tersebut, para seniman terdahulu  melakukan penyamaran (stilisasi) sebagai bentuk alternatif untuk keinginannya mengambarkan mahkluk hidup. 

Selain ornament yang terdapat pada dinding, didalam bangunan ini juga mempunyai mimbar yang menampakkan kekunoannya. Mimbar tersebut terbuat dari bahan kayu yang memiliki ukuran lebar kurang dari satu meter dan tingginya sekitar dua meter. Pada ujung mimbar bagian atas dibuat lengkungan seperti kubah yang memiliki 6 sisi dengan ujung yang mengerucut. Kubah tersebut berwarna merah, sedangkan tubuh mimbarnya berwarna hijau tua. Pada bagian mimbat tertentu, diberikan ornament ukiran yang berbentuk elung-elungan, motif kerawang dan palang Yunani yang diberikan warna emas pada bidangnya. 

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 14. Mimbar di Masjid Mantingan

 

Anonim (2002) mengatakan, terdapat panel diatas mihrab berjumlah tiga buah panel yang memiliki bentuk dan ukuran berbeda. Panel tersebut memberikan tanda mengenai waktu pembangunan masjid. Salah satu panel yang berada diatas mihrab paling bawah yang berbentuk persegi panjang berisikan prasasti atau sengkalan yang berisi tulisan huruf Jawa. Sengkalan adalah candrasengkala atau simbolisasi angka tahun, istilah ini berasal dari dua kata Jawa Kuno yaitu candra yang berarti pernyataan dan sengkala yang berarti angka tahun. Tulisan yang ada pada prasasti tersebut berbunyi Rupa Brahmana Warna Sari, yang secara rinci kata Rupa mewakili angka 1, Brahmana  mewakili angka 8, Warna mewakili angka 4 dan Sari mewakili angka 1. Sehingga sengkalan tersebut bertuliskan angka 1481  Saka (tahun Jawa) atau 1559 Masehi. 

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 15. Panel di atas mihrab berisikan prasasti

  Salah satu motif fauna yaitu berbentuk hewan kuda, yang mana memiliki nilai ajaran hidup bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan semua yang manusia punya di dunia ini  tidak akan dibawa mati, karena pada akhirnya kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa hati-hati dalam berperilaku dikapanpun dan dimanapun. Selain motif hewan kuda ada juga motif hewan phoenix yang memiliki beberapa ajaran bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan harus mampu dan menerima kehendak Tuhan sang pencipta alam semesta dan manusia juga harus bisa menghindari dari sifat sombong atas apa yang dimiliki selama hidup di dunia.  Sedangkan motif merak memiliki nilai simbolis bahwa seseorang akan mudah menemukan kebahagiaan jika seseorang mampu memiliki hidup yang seimbang dengan lingkungan sekitarnya, baik sesame manusia maupun dengan alam semesta. Kesimbangan tersebut hanya tercapai melalui sikap-sikap yang selaras dengan alam, yaitu selalu menjaga kelestarian alam dan tidak merusak alam. Sedangkan motif hewan kera memberikan pesan bahwa manusia telah mlewati tahapan laku putih atau pemurnian diri, sehingga dapat bertransformasi dari sifat-sifat hewan menjadi seseorang yang memiliki sifat-sifat manusia seutuhnya. Punden berundak dijadikan sebagai peringatan kepada manusia agar benar-benar memahami delapan sifat yang harus dimiliki ketika menjadi pemimpin yaitu "mahambeg mring warih, samirana, candra, surya, samodra, wukir lan dahana". 

Makna simbolis tumbuhan teratai adalah mempunyai ajaran kepada manusia agar selalu trimo ing pandum atau selalu menerima takdir kehidupannya, baik sesuatu yang diinginkan maupun sesuatu yang tidak diinginkan.  Tumbuhan teratai dalam kebudayaan China maupun dalam ajaran agama Budha dikaitkan dengan hal yang suci, damai, subur, dan tata krama dalam berperilaku. Nilai simbolis burung merak yaitu mengajarkan bahwa mahluk hidup akan mudah mendapatkan kebahagiaan jika mereka saling menjaga dan merawat atara satu dengan yang lainnya. Nilai simbolis Kera mengingatkan bahwa manusia itu melewati tahapan-tahapan untuk menjadi manusia sempurna, yang mampu bertransformasi dari sifat hewaniah dalam diri seseorang.  

Motif letter "W" atau motif seperti kelelawar terdiri dari ukiran abstrak lung-lungan. Motif letter "W" oleh warga setempat ada yang menyebutnya sebagai motif garuda, karena bentuknya seperti burung garuda yang sedang membentangkan kedua sayapnya. Ornamen-ornamen dengan motif letter "W" terletak di bagian serambi masjid, ruangan inti masjid dan di atas mihrab. Motif letter "W" memiliki ajaran agar tetap stabil, kokoh dan seimbang dalam menjalani kehidupan.

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 16. Panel Motif letter "W" atau motif Garuda

Dikutip dari Irsyada (2019:41-42)  pada Masjid Mantingan banyak ukiran yang bermotif floral, baik untuk motif utama atau hanya untuk motif pelengkap saja. Motif floral berbentuk elung-elungan dan adakalanya membentuk penyamaran motif hewan (stilisasi). Motif floral tersebut berbetuk pandan, bunga kamboja, sulur-suluran, candi bentar, awan dan gambar pendopo dengan lima gunung. Dalam kehidupan masyarakat setempat, Candi Bentar merupakan istilah pintu gerbang berbentuk gapura yang banyak ditemui pada bangunan pendopo, masjid, candi dan bangunan lainnya. Pada panel yang berbentuk landscape  seperti pada gambar berikut, sang pencipta karya ini sepertinya ingin menggambarkan sebuah keindahan pemandangan yang disekitarnya terdapat pendopo, tanaman asri dan dikelilingi oleh beberapa gunung. 

 (Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

picture17-655ed5db12d50f40605aa792.png
picture17-655ed5db12d50f40605aa792.png

Gambar 17. Panel Motif Floral

Selain motif yang sudah disebutkan sebelumnya, panel-panel tersebut juga terdapat motif geometris atau bentuk medallion. Irsyada (2018:101) menyatakan bahwa gaya seni ornamen Islam dengan gaya seni ornament di Indonesia sangat berbeda. Motif geometris Islam dibuat dengan mempertimbangkan nilai matematis-rasional, sedangkan gaya seni ornament di Indonesia muncul karena adanya pengaruh dari karya tenun maupun anyaman oleh masyarakat Indonesia.

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 18. Motif Geometris (motif medallion)

Di ruang utama dan di serambi sebelah kanan terdapat lampu gantung atau lampu hias yang memberikan kesan klasik. Lampu tersebut tampak memiliki usia yang sudah lama, hal tersebut dikarenakan pada bagian tertentu sudah berkarat dan sudah usang. Bentuk lampu gantung Pada bagian serambi masjid sebelah kanan berbentuk seperti bunga, memiliki 6 kelopak berukuran sama berwarna putih yang melengkung ketas dan memiliki inti sari atau kucup di bagian tengah berukuran lebih besar dari ukuran kelopak yang menghadap kebawah dan juga berwarna putih. Sedangkan di ruang utama masjid juga terdapat lampu gantung yang berwarna putih, namun bentuknya lebih rumit dibandingkan dengan bentuk lampu gantung diserambi masjid bagian  kanan. Pada bagian ruang utama, kelopak bunga pada kampu semua  menghadap kebawah yang berjumlah 5 buah. 

 

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022) 
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022) 

Gambar 19. Lampu Gantung di area serambi masjid (Bagian kiri) dan Lampu

Gantung di area utama/dalam Masjid (Bagian kanan)

 Di serambi Masjid bagian depan, terdapat dua buah bedug yang diletakkan diujug kiri dan diujung kanan serambi. Penyangga bedug yang terbuat dari kayu tersebut dihiasi dengan ukiran bermotif elung-elungan khas Jepara.  Bedug tersebut tampak terbuat dari bahan kayu Jati.  

 

(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)
(Sumber: Dokumentasi Fita Erlina 2022)

Gambar 20. Bedug diserambi Masjid sebelah selatan

        Kesimpulan 

Masjid mantingan menggunakan akulturasi budaya Hindu-Budha, Jawa dan Cina baik dari segi bangunan maupun dari segi ragam hiasnya. Terjadinya akulturasi tersebut dikarenakan kebudayaan yang dibawa oleh tokoh-tokoh penting dari negara asalnya pada pemerintahan Ratu Kalinyamat pada saat itu, selain itu pekerja bangunan juga banyak yang berasala dari Tiongkok, Cina. Bangunan masjid mantingan maupun makam sudah beberapa kali mengalami pemugaran, yaitu sekitar tahun 1977/1978 dan di tahun 2015. Padaa tahun 1977/1978 pemugaran dilakukan oleh Bidang Permeseuman dan Kepurbalakaan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, sedangkan di tahun 2015, dilakukan pemugaran komplek  makam lebih tepatnya Cungkup Makam Ratu Kalinyamat oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya  Jawa Tengah. Walaupun sudah beberapa kali mengalami pemugaran dan menghilangkan beberapa unsur kekuonaannya, akan tetapi bangunan Masjid ini tetap menjadi daya Tarik pengunjung.

Bentuk bangunan Masjid Mantingan mempunyai tipologi bangunan Masjid Jawa Kuno, hal tersebut terdapat pada bentuk eatap yang menggunakan soko guru, atap tersusun tiga, terdapat serambi kiri, serambi depan, serambi kanan dan bangunan yang mempunyai denah segi empat.  Bangunan Masjid yang Nampak seperti bangunan rumah biasa, ini menjadi keunikan tersendiri dibandingkan bangunan Masjid di era modern. Selain itu, yang menjadi ciri khas dari Masjid Mantingan ini adalah hiasan panel-panel yang berjajar di dinding Masjid yang mana tidak semua Masjid kuno bahkan Masjid Modern mempunyai konsep seperti Masjid Mantingan ini.

Ragam hias yang terdapat di Masjid Mantingan ini memenuhi kebutuhan estetis bangunan dan memberikan ajaran mengenai kehidupan. Nilai esetetis yang terdapat pada ukirukiran baik di Ragam hias berupa panel-panel disekitaran bangunan masjid tidak hanya sekedar sebagai hiasan saja, akan tetapi juga mempunyai nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik oleh masyarakat setempat khususnya dan para pengunjung. Karena nilai ajaran pada saat kepemimpinan Ratu Kalinyamat berhasil tersampaikan kepada masyarakat berkat komunikasi antar pemimpin dan masyarakat yang terjalin harmonis. Selain itu, nilai ajaran kehidupan yang ada di panel-panel Masjid tersebut digunakan sebagai strategi penyebaran agama Islam melalui karya-karya panel tersebut. Selain itu, ragam hias berupa panel-panel yang terbuat dari batu putih ini menjadi cikal bakal berkembangnya seni ukir di Kota Jepara. Ragam hias yang ada di Masjid Mantingan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu corak flora (tumbuhan), corak fauna (hewan) dan corak geometris.

 

 

Daftar Pustaka

 

Al Qurtuby, Sumanto. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa. Jakarta: Inspeal Ahimsakaria Press, 2003, Hlm. 177.

Agustina, Deta Upia. 2020. "Corak Dan Perkembangan Arsitektur Masjid Tua Di Bengkulu (Masjid Al-Ikhlas Dan Masjid Syuhada). Skripsi, untuk mendapatkan Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum), di Program Studi Sejarah , Fakultas Ushuluddin Adab Dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Bengkulu. 

Gunawan. 2015. "Ragam Hias Pada Interior Arsitektur Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan, Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara". Journal of Arts Education.  

Soenarto. 2002. Jepara Surga Industri Mebel Ukir. Surya Semarang: Pemerintah Kabupaten Jepara Kantor Informasi dan Komunikasi.

De Graaf, TH. G. TH. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti.

Handinoto; Hartono, Samuel. Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16 . (Dimensi Teknik Arsitektur, 2007). 35 (1).

Anonim. 1989. Laporan Pengolahan Data Masjid dan Makam Mantingan. Prambanan: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. 

Anonim. 2002. Laporan Studi pengembangan Masjid Mantingan Jepara.

Prambanan: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. 

Priyanto, Hadi, dkk. 2013. Mozaik Seni Ukir Jepara. Jepara: Lembaga  Pelestarian Seni Ukir, Batik dan Tenun Jepara Pemerintah Kabupaten Jepara.

Pampang, Mubarok Adi. 2016. Pengembangan Kompleks Masjid-Makam Mantingan Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Vol.10, No. 2, 2016, hlm. 55-67.

Altman, Irwin. 1980. Environmental and Culture. New York: Plenum Press. 

Al-Faruqi, Isma'il, dan Lois Lamya Al-Faruqi. 2001. Atlas Budaya Islam:

              Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan.           

Toekio, Soegeng M. 1987. Mengenal Ragam Hias Indonesia. Bandung: Angkasa

Setiawan, Imam. 2021. "Ragam Hias Arsitektur Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan, Jepara, Jawa Tengah". Skripsi. Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjanah dalam Program Strata Satu (S-1). Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab Dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (Uin) Sunan Ampel Surabaya

Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun