NILAI ESTETIKA BANGUNAN KUNOÂ
MASJID ASTANA SULTAN HADLIRIN MANTINGAN DI ERA MODERN
Â
Oleh Fita Erlina
Di era modern saat ini, Arsitektur bangunan masjid sangat berbeda dengan bangunan masjid pada zaman dahulu. Bentuk bangunan masjid di Indonesia dibuat dengan keunikan-keunikan tersendiri yang tidak ditemukan di negara lain. Bentuk-bentuk bangunan masjid di setiap daerah nusantara pada zaman dahulu dibangun dengan tidak ada ikatan atau ketentuan baik dari rancangan bangunan maupun  penataan ruangnya. Akan tetapi, bangunan-bangunan masjid kuno di Nusantara hampir semuanya memiliki pengaruh dari kebudayaan Hindu-Budha. Hal tersebut dapat dilihat pada bentuk atap bangunan masjid di Pulau Jawa, yang bentuknya tingkat berundak dan meruncing menyerupai bentuk candi. Seiring dengan  berkembangnya teknologi, bentuk bangunan masjid-masjid di Nusantara mulai menemukan pembaharuannya baik dari segi bangunan interior maupun eksteriornya. Pembaharuan tersebut dipengaruhi oleh budaya timur tengah yang memiliki ciri khas bergaya Islam, misalnya menggunakan warna-warna yang cerah, menggunakan banyak motif seperti mozaik ataupun kaligrafi dan menggunakan siluet garis.
Di tengah banyaknya bangunan-bangunan masjid bergaya Islam yang didirikan, masih ada bangunan masjid-masjid kuno yang berdiri kokoh dan memiliki daya tarik tersendiri hingga di era milenial sekarang ini. Salah satunya adalah bangunan masjid Astana Sultan Hadlirin. Masjid Astana Sultan Hadlirin atau lebih dikenal dengan Masjid Mantingan merupakan bangunan masjid tertua dan mempunyai sejarah sendiri di Indonesia yang merupakan hasil akulturasi antara budaya setempat dengan budaya luar yang dibangun pada era Kesultanan Demak. Masjid ini terletak disebuah desa yang wilayahnya dekat dengan alun-alun Kota Jepara yang hanya berjarak 5 Kilometer yaitu Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Pembangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin diprakarsai oleh Ratu Kalinyamat untuk mengenang suaminya yang telah meninggal, yaitu Sultan Hadlirin. Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan merupakan salah satu masjid yang memiliki ragam hias yang unik, selain itu masjid Mantingan juga termasuk dalam kategori 10 bangunan masjid tertua di Indonesia. Masjid ini dilaporkan didirikan di Kesultanan Demak pada tahun 1559. Masjid ini merupakan masjid tertua yang kedua yang ada di Pulau Jawa setelah Masjid Agung Demak (Gunawan, 2015).Â
Sebelum pembangunan masjid itu terjadi, terdapat konflik yang mengakibatkan terjadinya perang saudara. Konflik tersebut bermula pada saat penyerahan kepemimpinan Jepara kepada Sultan Hadlirin pada tahun 1536. Namun masa kepemimpinannya hanya selama 13 tahun saja karena sultan hadlirin meninggal dunia terbunuh oleh Arya Panangsang. Kabar duka tersebut diterima oleh istri Sultan Hadlirin, yaitu Ratu Retno Kencono saat bertapa, kemudian Ratu Retno Kencono bersedia meninggalkan pertapaan dan pada 959 Hijriah atau tahun 1549 Masehi yang diduga dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal yaitu tanggal 10 April 1549 diutus menjadi penguasa Jepara dengan mendapatkan gelar Nimas Ratu Kalinyamat dengan Candra Sengkala Trus Karya  Tataning Bumi.
 Selama pemerintahan Jepara dipimpin oleh Ratu Kalinyamat, pada saat itu juga Jepara mangalami perkembangan sebagai kota pelabuhan yang penting dan menjadi pusat pusat perdagangan di pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, pada abad ke-16, sebuah industri galangan kapal  dan arsitek kapal dipulau pulau Jawa terkenal hingga ke Asia Tenggara. De Graff (1985:42) mengatakan, Ratu Kalinyamat membangun makam yang begitu megah untuk suaminya yang terbunuh oleh Arya Panangsang dan kelak untuk dirinya sendiri, ia bersumpah jika Ratu Kalinyamat sangat mengnginkan kematian pembunuh suaminya, yaitu Arya Panangsang.Â
Pada umumnya Masjid Kuno terdahulu atapnya dibuat bertingkat dan  meruncing keatas, akan tetapi atap Masjid Mantingan ini berbeda dengan yang lainnya. Yaitu bangunannya berupa rumah Joglo yang memiliki undakan tangga yang tinggi. Sedangkan di era modern ini, banyak sekali bangunan masjid menggunakan arsitektur gaya Islam dengan ciri khas bentuk kubahnya yang beragam. Masjid Mantingan pada saat ini memiliki eksistensi tersendiri karena bangunan yang klasik dan juga memiliki hiasan ornament pada dinding maupun pada tiang-tiang bangunan. Selain itu, Masjid Mantingan juga dikelilingi dengan makam para leluhur. Keberadaan cagar budaya Masjid Astana Sultan Hadlirin di tengah kota Jepara hingga saat ini, menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jepara terutama bagi masyarakat desa Mantingan. Banyak pengunjung yang mendatangi tempat ini untuk berziarah. Sehingga berdampak pada sektor ekonomi warga sekitar, sector ekonomi yang warga sekitar jalani adalah berdagang makanan atau minuman, oleh-oleh khas Jepara atau bahkan souvenir kerajinan yang dibuat dari kayu.
Adanya peninggalan Masjid Astana Sultan Hadlirin di Jepara ini menjadi bukti bahwa pesisir Jepara pernah digunakan sebagai tempat penyebaran Islam yang sangat pesat. Karya tulis ini merupakan kajian dari nilai estetika Masjid Astana Sultan Hadlirin atau Masjid Mantingan sebagai bangunan kuno yang masih berdiri dengan mempertahankan nilai seni yang sangat tinggi. Berdasarkan pada pemikiran sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas tentunya muncul permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan tersebut sebagai berikut: 1) Bentuk bangunan masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan; 2) Perbedaan bentuk bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan dengan bangunan Masjid Modern; 3) Nilai estetika bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan.
1. Â Â Â Â Bentuk Bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, MantinganÂ
Pada zaman dahulu, Masjid merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam. Sehingga terjadilah akulturasi kebudayaan yang dibawa oleh penyebar ajaran agama Islam dengan kebudayaan lama yang dianut ada ditengah masyarakat setempat. Jika dilihat dari satu sisi, keragaman bentuk arsitektur bangunan masjid merupakan salah satu bentuk penggayaan terhadap khasanah arsitektur bergaya Islam. Sehingga, bentuk masjid zaman dahulu secara lambat laun telah mendekatkan masyarakat kepada ajaran Islam. Bentuk pendekatan agama Islam terhadap masyarakat tidak hanya dengan bentuk bangunan masjid saja, akan tetapi dalam bentuk karya fisik lainnya yang diakulturasikan dengan budaya sebelumnya. Akulturasi kebudayaan seperti itu juga terdapat pada salah satu Masjid di daerah Jepara, yaitu Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan.
Menurut Suwarna (2006), Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan  dalam aspek budaya bukan sekedar peninggalan berbentuk benda fisik yang digunakan sebagai tempat diadakan pertemuan, ibadah, dan kegiatan-kegiatan yang lainnya, akan tetapi memiliki peran yang lebih luas. Selain itu, bangunan masjid ini mempunyai makna eksplisit ataupun implisit yang tertuang dalam bentuk-bentuk ragam hias. Ragam hias tersebut diletakkan pada dinding masjid yang mampu memunculkan asumsi-asumsi masyarakat dari wujud menjadi sebuah suatu realitas dalam kehidupan. Oleh karena itu, keberadaan Masjid Mantingan dalam aspek kebudayaan menjadi sesuatu yang menarik untuk dipahami dan dipelajari.
Bangunan Masjid Astana Sultan Hadlirin, Mantingan merupakan hasil dari  akulturasi beberapa kebudayaan yang terlihat pada arsitekturnya. Akulturasi tersebut merupakan berasal dari kebudayaan Jawa, Hindu-Budha dan Tionghoa. Bangunan masjid Mantingan secara keseluruhan memiliki tipologi dengan masjid Jawa kuno pada umumnya. Tipologi tersebut terlihat pada bagian atap berundak , atap dengan soko guru (empat tiang penyangga), adanya serambi depan yang luas dan  gapura masuk berbentuk lengkungan. Selain itu, di dekat bangunan masjid terdapat petilasan candi yang sudah tidak utuh lagi. Candi tersebut dialihkan menjadi gerbang atau gapura pada pintu menuju halaman Masjid dan di area makam juga terdapat candi yang digunakan sebagai gapura.
Terjadinya akulturasi tiga kebudayaan dalam pembangunan Masjid ini dikarenakan perancang bangunannya adalah seorang yang berketurunan dari Tionghoa, yaitu Chi Hui Gwan atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Patih Sungging Badarduwung. Â Sedangkan yang mengawasi proses pembangunan masjid adalah Babah Liem Mo Han, yang juga merupakan keturunan China atau Tionghoa. Hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Cina terlihat pada bentuk atap tumpeng dan mustakanya. Bentuk atap tumpeng dan adanya mustaka berasal dari kebudayaan Hindu pada masa kerajaan Majapahit. Akulturasi kebudayaan Cina terdapat pada ornament barongsai yang sudah diubah atau stilisasi. Dalam bangunan masjid, pengaruh kebudayaan Hindu juga terdapat pada bentuk gerbang Candi Bentar. Pada saat ini bentuk gerbang Candi Bentar digunakan sebagai pintu utama masuk kawasan Masjid maupun kawasan pemakaman.Â
Â
Gambar 1. Candi Bentar di pintu masuk Masjid
Â